Aku Pernah Menangis Karena...

on
Senin, 05 Maret 2012
Aku pernah menangis karena kamu yang tak jua mengerti atas keputusanku. Yang tak juga percaya bahwa ini tak hanya berat untukmu, melainkan juga untukku.
Aku pernah menangis karena sebuah kesadaran atas perbedaan. Perbedaan yang sama – sama membangunkan kita pada sebuah kedewasaan bahwa bersatu, adalah sebuah ketidakmungkinan.
“Perbedaan ini seharusnya tidak menjadi penghalang untuk kita!” itu katamu.
“Perbedaan ini adalah hal utama yang membuatku mampu mengambil keputusan se – menyakitkan ini!” itu jawabanku.
Bersatu denganmu adalah salah satu episode yang amat aku inginkan untuk ada dalam lembaran sejarah hidupku. Duduk bersama menikmati senja, saling menggenggam tangan menguatkan saat badai menerpa, lalu tersenyum memaklumi kala pikun telah menjadi karib kita. Tapi kamu harus tahu… bahwa aku memiliki impian yang jauh lebih aku inginkan dari itu semua. Tersenyum sambil bercengkrama di atas dipan – dipan, menikmati aliran sungai yang airnya lebih lembut dari susu serta lebih manis dari madu. Dan itu tak mungkin aku dapatkan jika aku tetap memilihmu sebagai pelengkap separuh hidupku.
“Lalu siapa yang salah?” tanyamu disatu senja pada pantai cinta yang menjadi tempat favorit kita.
Aku terdiam. Karna aku tahu, kamu tak butuh jawaban. Jika memang harus ada yang di salahkan, biarkan aku yang menjadi tumbal. Aku yang membukakan pintu ketika kamu mulai mengetuk – ngetuk pintu ketertarikan. Aku yang terlampau meremehkan benih keakraban yang kian hari kian memabukkan. Aku yang telah membiarkan semua harap tumbuh dan merekah bersama jalin rasa yang kian mengakar menyatukan hati kita. Aku yang pernah teramat naif   mengharapkan kamu akan bersedia berkompromi untuk menghapus semua perbedaan. Ya, mungkin memang aku yang paling patut untuk disalahkan…
“Apa memang tak lagi ada jalan?” tanyamu kemudian.
Aku menggeleng lemah, jengah. Jerih mengingat ibu dan ayahku yang amat terluka ketika asal – usulmu aku sebutkan. Payah menjelaskan bahwa tak akan ada kesepakatan yang aku iya – kan dengan tetap membiarkan perbedaan ini tetap ada.
Senja itu, kamu lalu berjalan mendekati ombak yang ramah menerjang. Aku lalu mengikutimu, berdiri terpaku tepat di belakangmu. Diam – diam, aku mengusap ujung mataku yang basah, entah oleh apa. Gundah ini sungguh amat menyiksa, ketika harus melihatmu yang pernah selalu menjadi penjaga nyala api semangatku, kini justru tampak begitu tertatih menerima semua keputusanku.
Terkadang aku tak percaya. Lalu terus bertanya, benarkah sebegitu cintanya hingga tampak amat sulit untuk menerima bahwa kita tak akan pernah berlabuh pada satu dermaga?! Kemudian kembali bertanya, murnikah semua rasa yang kamu persembahkan, karna terlalu banyak yang mengatakan bahwa tak mungkin tanpa tendensi lain atas cinta yang kamu pautkan.
Entahlah. Aku bahkan tak pernah benar – benar berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang memenuhi angan. Yang aku tahu, bahwa di luar perbedaan yang membentang, pribadimu sempurna untuk terus ku kenang.
Tiba – tiba kamu membalikkan badan, hingga wajah kita tepat berhadapan.
“Lalu bagaimana?” tanyamu.
“Kita cukupkan!” jawabku, sembari sekuat tenaga memejam mata, menahan bulir – bulir air yang mendesak – desak ingin segera keluar.
Kamu mengangguk – angguk samar. “Tuhan memang satu, kita yang tak sama…” begitu katamu, mengutip kata – kata dari sebuah lagu sembari menepuk – nepukkan tangan pada bahuku, seolah ingin selalu menguatkan.
Aku tersedu. Memandangmu yang segera berlalu menjauh dariku, dari pantai cinta tempat favorit kita. Memandang punggung bidangmu, yang pernah aku harapkan menjadi penyangga seluruh sisa hidupku di dunia. Hingga tak lagi nampak siluetmu di penghujung senja, aku masih dengan sedu sedan yang tak pernah ingin aku tunjukkan.
Dan hari ini, akhirnya aku tahu. Bahwa cinta memang tak pernah salah. Kita – lah yang terkadang amat ceroboh lalu menempatkannya pada tempat yang salah, yang dari kejauhan tampak begitu indah.
2 komentar on "Aku Pernah Menangis Karena..."
  1. cinta memang tak pernah salah :)


    mengaharukan :)

    BalasHapus
  2. @Muthofa M Thoha... terimakasih atas kunjungannya di blog amatiran saya :)

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)

Signature

Signature