Sahabat Kecil

on
Rabu, 28 Agustus 2013


Nama lengkapnya Nindhi Puspita Sari, panggilannya Nindhi. Kami berteman sejak SMP. Takdir Allah telah membuat kami bertemu bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah SMP favorit di daerah kami, saat baru hendak mendaftar.

Ya, singkat cerita akhirnya kami bersahabat, ditunjang dengan rumah yang searah hingga memungkinkan kami pulang dan pergi bersama naik bus. Persahabatan, seperti juga ikatan hubungan yang lain, selalu punya cobaan juga kemungkinan-kemungkinan untuk terurai ikatannya dan bubar. Nah, disinilah menariknya. Kami bersahabat sejak SMP, dan seingat saya belum pernah kami bertengkar, lalu diem-dieman, atau masalah-masalah kecil khas persahabatn ABG yang lain. Saya nggak Cuma punya 1 sahabat, tapi hanya sama Nindhi ini saya melaluinya hampir tanpa riak.


Saat lulus SMA, pilihan sekolah kami berbeda. Bahkan sekolah yang kami pilih ada di kabupaten yang berbeda. Tapi Alhamdulillah silaturahim masih tetap terjaga. Meski ketemu nggak pasti sebulan sekali, sms-an pun nggak intens, tapi nggak tau kenapa kalau ketemu trus ngobrol, rasanya nggak pernah ada jarak yang terbentuk atas terbatasnya intensitas komunikasi kami. Dan nggak Cuma sama nindhinya, keluarganya pun sudah seperti keluarga saya.

Padahal kalau dipikir-pikir kami itu punya karakter yang bagai langit dan bumi loh! Hampir nggak punya kesamaan. Saya yang culun, dia yang modis abis. Saya yang lebih sering memilih lingkungan pertemanan dikalangan anak-anak ‘baik’ dan nggak neko-neko, dan dia yang kalangan pergaulannya anak-anak ‘gaul’. Saya yang menghadapi segala sesuatu penuh pertimbangan, kekhawatiran, dll, dan dia yang menghadapi segala sesuatu tanpa beban, benar-benar seperti air mengalir saja.

Ya, inilah yang membuat dia benar-benar beda dengan tipe rata-rata teman saya (bahkan saya sendiri). Nindhi bukan tipe orang yang suka berlebai-lebai dalam perasaan, terutama kesedihan. Sebulan lalu, dia harus menerima kenyataan bahwa ‘orang terdekatnya’ selama kurang lebih 6 tahun terakhir ini tutup usia. Ah, jangankan nindhi yang sebegitu dekat dan ikut serta total menemani saat-saat terakhirnya, saya yang sama sekali nggak dekat saja rasanya nyeri. Terlepas dari kenyataan bahwa saya nggak pernah simpatik (apalagi membenarkan) ‘kedekatan’ mereka selama ini, saya amat tahu bahwa kehilangan orang terdekat apalagi konon juga tersayang, pasti menyakitkan. Tapi apa pernah nindhi terlihat menangis tersedu-sedu, nggak mau makan, mengurung diri, mata sembab, wajah kusut, hidup nggak bergairah… setau saya nggak pernah.

“Jujur sampe sekarang aku masih selalu nangis tiap menjelang tidur, tapi kalo di depan Bapak, Ibu, Astri ato kamu… ya nggak lah, kamu kan tau aku nggak biasa menunjukkan kesedihan di depan orang!” begitu katanya saat kami menghabiskan hari minggu kemarin bersama.

Ya, ditengah musim galau dan menjamurnya kaum alay belakangan ini, saya bahagia masih punya teman yang sama sekali nggak termasuk di dalamnya J
Kadang ada perasaan takut sih… ada yang bilang (entah siapa, lupa!) kalau sesuatu yang tanpa riak justru kadang malah langsung luluh lantak karna sekali terjangan ombak. Ah, tapi saya sih khusnudzon saja, semoga Allah berkenan membantu kami menjaga silaturahim ini tetap baik.

NB: salah satu doa terpenting saya untuk nindhi adalah, semoga ia segera bisa hidup hemat!

Hikmah Kemarin Sore

on
Jumat, 02 Agustus 2013
"Semesta memberikan apa yang kita pikirkan"

Saya tidak tau darimana quote itu berasal. Yang jelas, menurut saya quote itu pasti terinspirasi hadist yang intinya "Allah sesuai persangkaan hamba-Nya".

Saya percaya. Sangat percaya dengan hadist itu. Saya sudah pernah membuktikannya, dan kemarin sore saya kembali membuktikannya, Alhamdulillah :)

Jadi ceritanya, waktu pulang kerja, keluar dari kantor dengan pikiran yang semrawut oleh satu dan lain hal. Biasanya, sebelum men-starter motor saya selalu mengucap Bismillah, doa serta sholawat, seperti pesan Bapak Ibu selama ini. Nah, sore itu saya melewatkannya dengan "sengaja". Di pikiran saya, "Nanti sajalah sambil jalan". Lalu sedetik kemudian muncul lagi pikiran, "Saya nggak doa dulu, nanti kalo ada apa-apa baru deh nyesel".

Tidak lama kemudian saya berangkat. Dan belum sampai 5 meter saya memacu motor dari tempat parkir, tiba-tiba... "Brakkkk!!!". Saya menyrempet orang dari arah berlawanan. Allah...
Tapi Alhamdulillah sekali, saya nggak papa, begitu juga dengan si korban.

Saya tau hal tersebut terjadi karna sebab utama saya kurang hati-hati. Tapi saya juga yakin, bahwa pikiran negatif saya beberapa saat sebelumnya juga turut "mengundang" peristiwa itu terjadi. Wallahu a'lam Bishawab...

Tapi saya bersyukur, amat bersyukur karna Allah masih berkenan 'menyentil' saya dengan pelajaran-pelajaran kecil. Apa Jadinya kalau Allah sudah tak berkenan dan membiarkan hati saya membatu tak menyadari tiap kesalahan? Naudzubillah...

Allah... maafkan untuk hati yang semakin sering lalai mengingat-Mu...
Maafkan untuk beberapa perkaraku yang luput aku mintakan pertolongan pada-Mu...

Signature

Signature