Meraba Jejak Surga

on
Selasa, 15 April 2014
Hari sabtu kemarin saya dapet ‘pelajaran’ lagi – yang bikin saya lumayan lama termenung. Jadi, saat saya meminta tolong Ibu untuk memegangkan sebentar HP saya – Ibu menjatuhkannya, dan bikin HP saya ‘terluka’ cukup parah. Jelas lah Ibu sama sekali nggak sengaja. FYI, HP saya itu baru saya beli tepat seminggu sebelumnya.

Lalu gimana ekspresi saya? Fiuuhhh… jangan ditanya – antara pengen nangis, nyesel, pengen marah – campur aduk jadi satu. Iya, saya memang bukan (belum) masuk dalam golongan anak berbakti dengan kesabaran seluas samudra. Tapi Alhamdlillah saya masih sepenuhnya sadar kalo saya sedang berhadapan dengan Ibu. Seperti biasa saya memilih untuk sekuat tenaga mengunci mulut beberapa saat selama hati saya masih bergejolak – daripada saya mengucapkan kata-kata yang akhirnya bikin hati Ibu luka. Yah, walaupun saya tau kalo diamnya saya pun merupakan hukuman tersendiri bagi Ibu.

Masih terbayang jelas penyesalan, rasa bersalah dan ketakutan yang membayang jelas di manik mata Ibu saat itu. Tapi apa? Toh saya tetap dengan keegoisan saya – diam. Lalu saya termenung. Allah… Cuma HP dan saya sudah tega sekali ‘menghukum’ Ibu seperti itu? Berapa kali saya merusak sesuatu, dan Ibu dengan kesabaran entah seluas apa lebih memilih membuat saya merasa bahwa semua baik-baik saja? Ya, detik itu juga saya tau betapa tipis kasih saya pada wanita yang bertaruh nyawa untuk membuat saya ada di dunia. Dan Alhamdulillah kesadaran itu mampu merobohkan keegoisan saya seketika.

Ahh, nggak pernah ada habisnya memang kalo kita membicarakan soal betapa luas kasih sayang orang tua – sekaligus betapa berat mempersembahkan bakti terbaik untuk mereka. Saya masih sering heran melihat seorang ibu (termasuk ibu saya sendiri) yang seperti punya kekuatan Maha untuk seketika itu mengabulkan apa yang diminta oleh anaknya – sekuat yang ia mampu. Saya tau ibu lelah luar biasa – tapi lelahnya seketika terabaikan ketika keluhan lelah saya sampai di telinganya. Memijit tanpa sedikitpun keluh hingga saya bilang cukup. Allah… entah bagaimana saya membalas.

Padahal, bukankah balasan jika kita berbakti pada mereka adalah surga? Dan tidakkah balasan sehebat itu harusnya menjadikannya ringan bagi kita untuk mengusahakannya? Sayangnya tidak L. Sayangnya Allah membuat surga dikelilingi oleh hal-hal yang tak disenangi nafsu manusia.  Sholat, misalnya. Apakah sholat ringan? Enggak, ia sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Ya, nggak terkecuali soal bakti ini.
Ketika Allah seperti menakdirkan kasih tak bertepi sebagai bagian dari fitrah ibu pada umumnya, sepertinya tidak begitu dengan anak. Dan hal itu membuat perbedaan curahan kasih yang seringkali bagai bumi-langit.

Saat ini kami juga tengah diuji dengan sakitnya Mbah saya yang tinggal satu-satunya – ibunya Bapak, yang tinggal serumah dengan kami. Beliau sepertinya sudah masuk pada fase ‘kembali’ menjadi anak-anak. Ya, dan saya semakin sadar… sungguh, meraba jejak surga di telapak kaki mereka adalah perkara pelik. Siapa bilang merawat orang sepuh sama beratnya dengan merawat balita? Tidak, jauh lebih berat merawat sepuh. Ini bukan kata saya, tapi kata orang-orang yang sudah pernah mengalami merawat orang sepuh juga balita.
Ada sebuah ungkapan lama yang pernah saya dengar dari Ibu saya. Kalo orang tua kaya anak jadi raja, tapi kalo anak yang kaya orang tua jadi babu. Tidak, Bu… tidak… semoga saya tidak termasuk yang seperti itu. Tapi toh kenyataan di lapangan sering seperti itu. Kalo orang tua kaya, anak petentang-petenteng bawa mobil bagus, dll… tapi kalo anak yang kaya, ibunya di rumah ‘ditugaskan’ ngurus anaknya, dll. Allahu Robb…

Saya tau dengan pasti bahwa di sepanjang munajat malamnya, Ibu tak henti merapal pinta terbaik bagi kami bertiga. Munajat yang sering terbawa menjadi potongan-potongan gumaman ketika tengah berbincang ringan dengan kami, “Mugo-mugo Gusti Allah maringi sing paling sae kanggo anakku kabeh…”, sedang  saya? Seringkali merasa cukup mendoakan mereka dengan sepenggal kalimat, “Rabbighfirli waliwalidaiya…”

Entahlah, Bu… entah bagaimana kami bisa membalas kebaikanmu…

**Lalu apalagi yang harus saya khawatirkan di dunia ini, jika saya tau persis bahwa tiap langkah saya ‘dikawal’ doa dari beliau yang pada telapak kakinya-lah jejak surga bagi saya tergambar dengan amat jelas? Sungguh, sama sekali tidak ada.
4 komentar on "Meraba Jejak Surga"
  1. Dulu waktu zaman SMP gue sering bertengkar sama Ibu cuman gara-gara masalah sepele. Malahan, gue hampir ditusuk pisau.
    Tapi masa-masa itu sudah hilang, sekarang gue adalah anak kesayangan ibu gue. Hahahaha, lucu juga ya denger anak cowok sebagai anak kesayangan. Tapi gapapa lah.

    BalasHapus
  2. @Gredy... gakpapa dong... menurutku liat cowok deket sama ibunya tu malah nyenengin :)

    BalasHapus
  3. Ah, diamnya kita itu bagiku lebih baik daripada melukainya dengan kata-kata kasar, mbak. :))

    BalasHapus
  4. @Mbak Hilda... Iya Mbak, saya juga gitu mikirnya :)

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)

Signature

Signature