Ini Untukmu

on
Kamis, 28 Juni 2012
Untuk kamu yang aku sebut sahabat, saudara, belahan jiwa, atau entah apa....
Untuk kamu yang pernah mengisi hari-hariku dengan berbagai cerita, tangis pun tawa...
Untuk kamu yang baru saja melewati moment pengulngan hari lahir... aku ingin sekali membuat tuulisan ini: sekedar tulisan biasa, sekedar ngkapan sederhana...

Terimakasih atas semua cerita yang turut kamu untai menjadi bagian dari sejarah tak terlupa dalam hidupku
Cerita awal kebesamaan kita, menyusuri jalan-jalan setapak desa Bulu Lor
Menjadi panitia Ramadhan di kampus yang hasilnya amat tidak karuan tapi cukup ampuh mempersatukan kita
Mengayun langkah antara Paragon menuju Gramedia yang ternyata saat itu belum buka, lalu melanjtkan menuju DP
Menikmati syahdunya perjalanan menuju UNTID di Magelang, lalu melewati 2 hari kerbesamaan penuh kepolosan disana
Bergelut dengan menggigitnya hawa Bandungan dalam acara AKDA
Mengompresku saat demam menyerang

Dan entah bagaimana harus kutulis semua cerita kita... terlalu banyak, dan aku tak mampu

Terimakasih tak terhingga atas semuanya... Tak terkecuali...
Termasuk untuk pemberian tak ternilai dengan harga ini:

 Sebuah benda yang membuatkuu selalu merasa hampa jika ada di suatu tempat dalam waktu lebih dari sehari tanpanya...
Sebuah benda yang meski belum seberapa aku membacanya, memahaminya apalagi mengamalkannya, tapi ingin selalu dan selalu aku baca meski hanya satu ayat tiap harinya...
Sebuah benda yang aku pikir fisiknya amat mencerminkan kita berdua: sampulnya coklat (aku), dalemnya ungu (kamu)

Terimakasih untk semuanya...
Semoga Allah selalu menjagamu dari keburukan, dan memudahkanmu menuju kebaikan....

Dari yang amat merindukanmu,
Rosa


Kalau Saja Aku Tahu

on
Senin, 25 Juni 2012

Kalau saja aku tahu akan semenyesakkan ini ketika tak tahu apa yang sedang kamu lakukan disana, aku pasti akan memilih untuk tak pernah mengetahuinya sedikitpun dari awal.

Kalau saja aku tahu akan semenyiksa ini menunggu kabar darimu dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku, aku pasti akan memilih untuk tak pernah peduli dengan apapun keadaanmu sejak kita mulai berteman dulu.

Kalau saja aku tahu akan setidak-nyenyak ini tidur dengan wajahmu terbayang di angan, aku pasti akan memilih untuk tak pernah merekam lekuk wajahmu dan menyimpannya dalam memori otakku saat pertemuan-pertemuan singkat kita terjadi tempo hari.

Kalau saja aku tahu akan seresah ini ketika mengetahui badanmu sedang lelah dan payah dengan setumpuk aktivitasmu, aku pasti akan memilih untuk tak sudi menjadi tempat mengeluhmu setiap waktu.

Kalau saja aku tahu bahwa dengan perlahan kamu mampu sedikit demi sedikit mengoyak pertahanan hatiku yang selama ini aku jaga dengan baik untuk seseorang yang bahkan aku belum tahu siapa dan dimana namun aku yakin ada, aku pasti akan memilih untuk lebih tegas terhadap diriku sendiri yang seringkali terlampau yakin telah mempunyai benteng seteguh baja.

Ya, kalau saja aku tahu semua itu. Tapi bukankah hidup menjadi tak seindah ini jika segalanya sudah kita ketahui? Dan bukankah semuanya sudah menjadi bubur? Daripada bersusah payah kembali menjadikannya sebagai nasi, mengapa tak kutambahkan saja kecap, kuah, ayam serta krupuk agar menjadi bubur ayam yang lezat?! Jadi, kini biarlah semua ini tetap tinggal disini, didalam hatiku.

Tapi maaf, aku merasa harus menghentikan pertumbuhannya agar tak terlalu subur dan rindang, sementara lahan yang tersedia belum terlalu memadai untuknya. Maaf, karna keputusan ini yang akhirnya harus aku ambil, meski amat sulit bagiku, tapi entah bagimu.

Ya… atas semua kejelasan yang tak pernah berani kamu berikan, atas semua pertanyaan dalam diam yang tak pernah mampu kamu raba apalagi memberikannya jawaban, aku memilih mundur perlahan, menutup semua rangakain cerita kita, lalu menghapus segala sesuatu yang kurasa perlu aku hapus. Jangan khawatir, kali ini aku akan berusaha sendiri tanpa merepotkanmu. Dan jangan pula khawatir, aku akan baik-baik saja disini. Jadi tak perlu lagi kamu bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?”.


Rosa, 24 Juni 2012

True Story: Jihan

on
Kamis, 14 Juni 2012
Namanya Juhan Awwaliyatus Sholihah, biasa dipanggil Jihan. Ia gadis kecil umuur 7 tahun yang amat cerdas dan pintar menggambar. Kehadirannya ditunggu berpuluh tahun di tengah rumah tangga Ayah Ibunya. Hingga setelah berbagai doa dan ikhtiar, akhirnya Allah mengijinkan Jihan hadir di rahim ibunya di usia diatas 40 tahun.

Layaknya seorang anak yang kehadirannya ditunggu amat lama, Jihan memang cenderung dimanja oleh orang tuanya. Ia amat dekat dengan ayahnya, bahkan jauh lebih dekat jika dibanding dengan Ibunya. Hal pertama yang selalu Jihan lakukan saat pulang sekolah adalah menelfon ayahnya. "Papah, aku udah pulang sekolah. Papah lagi apa? Jangan sore-sore ya pulangnya, adek kangen...". Ya, begitulah... hingga Jihan tak pernah bisa tidur nyenyak tanpa terlebih dahulu melihat ayahnya.

Hingga sebulan lalu, sepenggal cerita sebagai awalan atas cerita-cerita mengharukan tentang Jihan bermula. saat ayahnya, atas saran saudara-saudara, pergi ke rumah sakit untuk check up karna saudara-saudara sedikit merasa khawatir dan ganjil melihat melihat kondisi beliau yang semakin hari terus semakin kurus dan tampak 'layu'. Ah, benar saja... Skenario Allah memang sering tak terduga. Bahkan sakit yang secara logika tidak mungkin tidak terasa pun tak jarang baru terdeteksi saat sudah fatal menjajah tubuh. Ayah Jihan divonis ada tumor di ginjal yang sudah menjalar dan sudah merusaka paru-paru serta jantungnya. Jalan keluar menuurut dokter: cuci darah!

Namun beliau menolak. Bukan karna tak ada biaya, mereka keluarga berkecukupan. Entahlah apa alasannya, yang jelas ia memilih pengobatan alternatif. Ah, tapi siapa pula yang bisa memundurkan ajal barang sedetik. Hanya selang tiga minggu dari vonis dokter, Izrail menjemputnya, hanya selang 3 hari usai mengajak Jihan jalan-jalan ke jogja. Innalillahi Wa inna ilaihi Raji'un...

Tentang beliau yang sudah pergi, tentu kita hanya bisa mengikhlaskan serta mendoakan semoga dilapangkan alam kuburnya. Tapi Jihan? Ah, ia masih terlampau kecil untuk bisa memahami perpisahan serumit ini. Perpisahan yang tak pernah memberi kepastian waktu tentang pertemuan kembali.

Disamping jasad ayahnya Jihan termenung, sembari tak henti bergumam, "Aku sayang Papah, Papahku baik..."
Pada tantenya, Jihan mengeluh, "Papah meninggal karna adek nakal ya pasti? sekarang adek nggak nakal lagi..."

Jihan pun menangis di pangkuan ibunya, mengungkapkan betapa perih hatinya melihat 'ayahnya' di injak-injak di dalam tanah, dengan gaya bicara yang polos khas anak kecil. Bahkan beberapa setelah pemakaman, Jihan lari ke makam ayahnya yang jaraknya tak jauh dari rumahnya, membawakan payung karna merasa kasian jika ayahnya kepanasan serta sendirian. Ah, Jihan...

Weekend kemarin, di hari ke-10 kepergian ayahnya, aku beserta kakak-kakakku berkunjung ke 'rumah duka' itu. Dan Jihan, sejak pagi hingga malam saat kami datang, dengan nada bicara yang seolah menahan sesuatu yang amat bergejolak di dadanya, terus memohon pada ibunya, lalu pada kakakku agar bersedia 'menelfonkan' Papahnya karna ia amat rindu. Ya Allah, bagaimana kami harus menjelaskan...

Hingga sesaat kemudian, saat Andien (keponakanku: 5 tahun) berhasil mengalihkan perhatian Jihan mulai teralih pada buku gambar, kakakku iseng membuka-buka buku pelajaran yang ada di tas sekolah Jihan, yang sejak tadi tergeletak di depan kami. Dan seketika, air mata kakakku menganak sungai. Ia menemukan tulisan khas anak kecil kelas satu SD, di buku itu.
Dan seperti inilah bunyinya:
"Hari Rabu, papahku sayang meninggal dunia. Aku sedih...
Ini salahku Papah, maafkan aku... Selamat tinggal
papahku sayang meninggal dunia..."

Ya Allah, semoga Engkau mengganti kasih sayang papanya dengan kasih sayang yang jauh lebih baik untuk Jihan... Semoga Engkau senantiasa merangkulnya dengan kasih sayang-MU langsung di setiap hari-harinya...

Akhirnya Aku Mengerti

on
Selasa, 12 Juni 2012
Waktu maih kuliah dulu, seriiiiiiiing banget liat ada seminar-seminaar bertema "Wirausaha", bahkan beberapa kali sempet jadi peserta dan sempet nimbrung jadi panitia juga. Emm, jujur ya.... saat itu aku belum bener-bener paham dan ngerti kenapa mereka-mereka itu sangat tidak menganjurkan kita menjadi pekerja (karyawan), dan amat semangat mengkampanyekan anjuran berwirausaha. "Kalo wirausaha itu kan serba nggak pasti, penuh spekulasi. Kalo jadi karyawan lebih pasti, sebulan dapet sekian dan bisa langsung di anggarkan untuk keperluan-keperluan", pikir otak bermental 'karyawan'-ku saat itu.

Dan hari ini, setelah satu bulan lebih melepaskan gelar kebesaran sebagai mahasiswa dan keluar dari hiruk pikuk dunia kampus, lalu hujrah menuju dunia kerja yang amat jauh lebih hiruk pikuk, akhirnya aku mengerti...

Ya... akhirnya aku mengerti alasan mereka para 'juru kampanye' be enterpreneur, setelah beberapa saat merasakan menjadi 'karyawan'. Bekerja di suatu perusahaan, sebesar apapun perusahaan tersebut, tetap saja kita itu sekedar 'bawahan'. Menurut salah satu sahabat, "Jarang sekali ada atasan yang benar-benar mengakui keberadaan kita dalam perputaran roda bisnisnya". Yah, saya rasa itu benar. Sebagai karyawan kita sudah dihargai dengan gaji sekian rupiah atas segala daya dan upaya kita untuk perusahaan tersebut, jadi mending nggak usah lah terlalu berharap dapet penghargaan-penghargaan 'non-materiil' yang bisa-bisa bikin kecewa. (meskipun pasti tetap ada perusahaan yang amat menghargai karyawan).
Dan akhirnya aku juga mengerti mengapa kakak perempuanku begitu keras hati berprinsip "tidak akan mau jadi bawahan orang" (baca: karyawan).

Saat aku menulis ini, aku sedang tidak berniat mengeluhkan perusahaan tempat aku bekerja. Aku juga tidak menganggap perusahaan tempat aku bekerja tidak menghargai karyawannya, sama sekali bukan. Ini semata-mata salah satu bentuk kegalauan 'karyawan baru' yang masih dalam tahap penyesuaian diri. Jujur aja, sebagai anak bontot yang selama ini suka 'berlagak bos' dirumah, menjadi karyawan yang harus sedia setiap saat jika pimpinan atau senior di kantor menyerukan perintah untuk dilaksanakan adalah hal yang amat butuh kompromi bagi hati dan egoku. "Hemm, aku kan bawahan ya...", batinku.

Tapi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menikmati setiap proses ini dengan sebaik mungkin, sambil terus menyusun mimpi dan do'a: agar Allah memampukan aku untuk menjadi seorang wirausaha suatu saat.

Jadi semakin mengerti juga kenapa Rasulullah amat menganjurkan kita berdagang (menjadi wirausaha). Bahkan di salah satu hadist beliau mengatakan bahwa 9 dari 10 pintu rizki adalah dengan berdagang, bukan?!
Jadi inget juga kata-kata seorang sahabat sekaligus guru, "Kenapa jadi seorang wirausaha punya derajat yang lebih di mata Rasulullah? Mungkin karna dengan jadi pengusaha yang penghasilannya serba tidak pasti, maka kita akan semakin MENDAHSYATKAN doa dan munajat kita pada Allah"

Ya.... Akhirnya aku mengerti :)

Menjadi Kian Utuh, Dan berharap Semakin Utuh...

on
Rabu, 06 Juni 2012
Dulu, aku hanya melihat pemandangan itu dari balik jendela bus kota yang aku naiki. Sekawanan orang dengan wajah kuyu berbondong - bondong keluar dari balik gerbang tinggi, dan tertulis sebuah nama 'kerajaan bisnis' di depannya. Ya, bahkan sampai beberapa bulan lalu aku masih melakukannya.

Maka, sore tadi seruak haru berhamburan memenuhi rongga-rongga dadaku.Ketika menyadari bahwa sejak beberapa hari lalu aku telah menjadi bagian dari mereka. Berjalan bersama para pejuang hidup yang mencari nafkah untuk dirinya sendiri, pun untuk keluarga.

Subhanallah Wal Hamdulillah... entah harus bagaimana aku bersyukur dengan sebaik-baik syukur atas segala kesempatan yang di berikan oleh Sang Maha Menggenggam hidupku. Atas kesempatan mengamalkan ilmu serta kesempatan menjadi manusia yang lebih punya arti di dunia.

Pikiranku kemudian terlempar pada Ramadhan tahun lalu. Mencoba kembali me-review helai doa yang aku angkasakan di setiap sujudku. Ah, mungkin tak terhitung jumlahnya. Tapi aku sangat ingat, ada 2 helai yang menjadi 'Headline' di tiap permohonanku. Dan satu diantaranya telah sempurna tergelar hari ini: Sudah bekerja di Ramadhan tahun berikutnya (tahun ini). **Ah, semoga Allah menyampaikan umurku untuk kembali mencecap nikmatnya bulan itu.

Ya, aku bersyukur... teramat bersyukur karna Allah telah mengijinkanku untuk menjadi manusia yang kian utuh. Manusia yang bisa menghidupi dirinya dengan hasil jerih payahnya sendiri, serta manusia yang punya daya yang lebih besar untuk memberikan kemanfaatan pada sesama. Sedang untuk satu lagi headline do'a yang 'belum' mewujud nyata, aku akan terus melangitkannya agar Allah berkenan meng-ACC.

Dan inilah aku hari ini, Rosa yang kian utuh dengan peran dunia sebagai Akunting di sebuah perusahaan, dan berharap akan di ijinkan Allah menjadi Rosa yang semakin utuh dengan peran dunia akhirat sebagai Istri bagi lelaki Sholih serta Ibu bagi anak-anak Sholih :)

Bersama lelah yang terasa amat nikmat,

Rosa

Kamu Itu...

on
Selasa, 05 Juni 2012
Kamu itu...
pandai sekali membuatku selalu merasa membutuhkanmu
menjadi teman debat yang handal bagi karakter hobi ngeyelku
menjadi guru humor yang amat mengasyikkan bagiku yang kadang terlalu kaku memandang hidup
menjadi penyeimbang bagi hidupku yang terlampau banyak aturan

Kamu itu...
kadang terasa amat nyata menempati sejengkal ruang dalam hari-hariku
tapi tak jarang pula membuatku ragu apakah kamu benar ada atau hanya halusinasiku semata

Kamu itu...
entah apa dan bagaimana aku membuat deskripsi terbaik tentangmu
membuatku kadang tak habis pikir pada diriku sendiri
membuatku tak berhenti bertanya apa lebihnya dirimu hingga mampu membuat pertahananku melonggar

Kamu itu...
ah, entahlah.... aku tak tau...
yang jelas, kamu itu... sekali waktu membuatku berharap suatu saat akan mewujud nyata dalam bentuk fana yang sempurna, tak lagi bayang semata....
Ya, kamu itu orang yang berhasil membuatku berharap seperti itu setelah entah kapan terakhir aku punya haarapan itu sebelumnya....

Rosa, bersama percik rindu yang syahdu

5 Juni 2012

Cerita Dari Bus Kota

on
Senin, 04 Juni 2012
Sejak SD hingga kini udah SE, aku tetap menjadikan transportasi umum sebagai teman setia, partner kerja, pendukung setiap kegiatan, dan penyambung kaki ditengah segala keterbatasan. Jika ada yang bertanya apa aku benar-benar nyaman dengan mengandalkan transportasi umum setiap waktu? Tentu saja jawabnya  tidak selalu. Ada kalanya jengah dengan berbagai tingkah polah orang dengan berbagai macam watak saat ada di dalam bus kota ato angkutan desa.

Tapi haruskah aku mengeluh lalu menjadikan setiap perjalananku dengan transportasi umum sebagai siksaan?? Ah, sepertinya terlalu bodoh. Maka, aku mencoba mencari hal-hal kecil yang bisa aku dapat dari setiap perjalananku. Belajar mengamati berbagai karakter orang, belajar bertenggang rasa saat bus sedang amat berdesakan, belajar menjaga diri dengan sebaik-baiknya dari ulah jahil yang tak jarang mengintai, serta banyak belajar belajar lainnya.

Pagi tadi, dalam perjalananku dari rumah menuju kota tempatku menjemput rizki, aku bertemu seorang Bapak yang sudah cukup tua di antar kota bus kota Semarang-Jepara. Nah, pertemuanku dengan Bapak inilah yang akan menjadi inti dari tulisanku kali ini. Eits, tapi sebelum masuk ke inti... rasanya aku perlu mengatakan, bahwa tentu saja aku tidak ramah pada semua orang yang aku temi di bus kota. Ada kalanya aku memasang tampang paling angkuhku, tao sesekali wajah paling galakku, tapi tentu saja pernah juga memasangwajah selembut peri. haha :D

Nah, singkat cerita... setelah beberapa saat berbasa-basi (tentu saja si Bapak yang memulai percakapan) Bapak itu akhirnya curcol.Emm, oh ya.. wajah si bapak memang keliatan "ngenes" gitu.. makanya aku melapangkan dada buat dengerin curcolnya. Dan isi curcolnya adalah: Intinya, beliau merasa sebagai seorang lelaki yang amat malang. Anaknya 2 masih kecil-kecil, sedangkan istrinya pergi ke Arab (TKW) 4 tahun lalu, dan hingga kini tidak pulang, dan tidak pul ada kabar berita. menurut yang diketahui si Bapak, istrinya 'kecanthol' orang lan disana. Dan ujung-ujungnya,  yang membuatku akhirnya mulai jengah dan kehilangan rasa simpatik pada si Bapak adalah ketika ia mulai berkicau tentang akhlak wanita sekarang yang kebanyakan sudah rusak, gila harta alias matre, dll.

Saat itu, ingin sekali rasanya aku mendebat Bapat itu, tapi aku tahan semampu yang aku bisa, hingga akhirnya aku memilih untuk pindah bangku :D

Karna tidak bisa mengatakan pada si Bapak itu, maka aku memilih untuk menuangkannya disini. Okee... mungkin apa yang Bapak itu katakan tidak semuanya salah, tapi si Bapak juga sepertinya tidak sadar bahwa ia punya kesalahan teramat besar! Jika istrinya ke Arab lalu tidak pulang karna kecanthol orang lain, siapa yang ppaling bersalah?? menurutku adalah si Bapak!! Tidak sadarkah ia bahwa ia adalah imam dan pemimpin utama bagi istrinya?? Lupakah ia bahwa ia adalah orang yang pertama kali harus bertanggungjawab atas keamanan serta kesejahteraan istrinya?? Tidak taukah ia bahwa seharusnya ia-lah yang harus menjaga kehormatana dan harga diri istrinya?? Lalu kenapa ia tetap mengijinkan istrinya pergi ke Arab waktu itu???!!! bukankah sudah teramat banyak cerita tentang berbagai macam pelanggaran norma, hak asasi serta berbagai macam pelecehan selama ini?! Kenapa amat tegaia membiarkan wanita yang katanya ia cintai untuk pergi kesana, sementara keadaan disana sudah amat terang membayang?! Jika karna alasan keterpaksaan ekonomi yang harus membuat istrinya pergi kesana saat itu, tidak malukah ia sebagai lelaki?? Buukankah harusnya dia yang punya tanggung jawab untuk itu, dan mencari jalan keluar bahkan hingga ujung dunia?!! Lalu kenapa saat sekarang istrinya 'kenapa-kenapa' di negeri orang, ia justru amat ringan menyalahkan, seolah tanpa pernah sadar bahwa ia pun turut bersalah dalam urusan ini?!

Yah, begitulah.. terkadang orang memang amat lebih mudah menyalahkan dibanding introspeksi dan mnecari kesalahan diri sendiri. intinya, aku nggak terima jika hanya wanita yang di persalahakan, meskipun aku juga sama sekali tidak membenarkan segala macam kekeliruan si wanita di seberang sana.

Bersama atmosfer yang masih terasa amat asing,

Rosa

Signature

Signature