Pagi ini
aku terbangun dengan senyum tersungging tipis di bibirku. Hujan lagi, amat
menyenangkan. Tidak deras, tidak juga sekedar rintik. Saat beranjak bangun dari
tempat tidur, aku mendapati senyummu mengembang begitu tulusnya terbingkai
manis di tembok kamarku. Ah, aku berharap senyum itu tetap ada padamu.
Sebenarnya
aku ingin kamu ada disini bersamaku pagi ini. Seperti biasa mendengarkanku
berceloteh tentang kejadian semalam yang amat membahagiakan. “Aku
akan menjadi telinga terbaikmu, kapanpun” itu kan yang selalu kamu
bilang?! Ah, untuk pertama kalinya kamu ingkar. Tak apa, aku memaafkan.
Kalau
pun kamu harus pergi untuk sebongkah cita seperti yang kamu bilang, kamu harus
tahu aku amat ikhlas melepas. Tapi sayangnya aku menangkap kelebat dusta tergambar
di bola matamu. Apa kamu lupa, aku memahamimu jauh lebih dalam melebihi kamu
mengenal dirimu sendiri. Maka, ketika aku tersenyum pagi ini, tetap ada untai
tanya yang amat menggangguku. “Ada apa denganmu hingga pergi menjadi sebuah
pilihan yang tak boleh di tawar?”
“Kunyuk…!!!”
seruku menyebut nama panggilan sayang diantara kita saat melihat siluetmu
berjalan mendekat ke arah tempat duduk favorit kita di taman kota.
“Ada apa
sih Nyuk ngajak ketemu sore – sore gini?? Aku capek tau’!!” ucapmu dengan ekspresi
‘pura - pura’ sebel.
“Nggak
ikhlas yaa????” rajukku manja seperti biasa. Kamu tak menjawab. Hanya
tersenyum, lalu mengacak – acak rambutku seperti biasa. Kamu memang tak
menaggapi dengan suara, tapi sorot matamu dengan jelas mengatakan, “Nggak mungkin
aku nggak ikhlas!”
“Kunyuk….
Aku seneng!!!” pekikku sembari meremas jari – jari tanganmu. Keningmu tampak
berkerut. Kamu pasti heran karna jarang sekali aku terlihat sebahagia senja
ini.
“Aku mau
dilamar Nyuk!!! 3 hari lagi orang tuanya mau dating ke rumah….” Seketika, tanpa
peduli kamu belum mempersilakan aku bercerita, kata demi kata penuh bahagia
telah tumpah ruah ke telingamu.
Ah, kamu
pikir aku tidak tahu perubahan air mukamu senja itu?? bahkan ketika kamu
tertawa lebar dan kembali mengacak – acak rambut panjangmu, seolah hendak
mengisyaratkan bahwa kamu turut berbahagia untukku. Harusnya kamu sadar, serapi
apapun kamu menyembunyikan warna hatimu atasku, bagiku semua itu seterang
matahari di siang hari.
Jangan
kamu kira hanya kamu yang terluka. Aku justru telah terluka jauh sebelum kamu
merasakannya. Aku terluka, bahkan sejak pertama kali aku menyadari kebohonganmu
atas persahabatan kita. Aku terluka, karna aku takut melihatmu akan terluka.
Aku terluka, karna aku tahu persis bahwa suatu hari aku lah yang justru
membuatmu terluka.
Dan
setelah akhirnya kamu memutuskan pergi meninggakan aku yang merasa pincang
tanpamu, aku hanya berharap satu. Semoga kamu tahu… aku mengagumi segalamu.
Tapi aku merasa takkan mampu mengubah perspektif perasaanku atasmu.
Ya,
akhirnya hari ini mataku terbuka, dan bersedia menginsafi aneka macam pendapat
orang yang meragukan kemurnian persahabatan kita.
***