Jatuh Cinta Pada Cara Islam Menilai Kecantikan Wanita

on
Jumat, 28 Maret 2014
Kakak kandung saya adalah seorang pemilik sebuah salon yang juga dilengkapi dengan sebuah took kosmetik plus accesoris-accesoris khas wanita. Nggak besar memang, tapi cukuplah sebagai tempat saya mengamati beberapa hal cukup membuat saya kemudian merenung.

Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika ada seorang pengunjung salon – seorang wanita – yang hendak me-rebonding rambutnya yang bergelombang.  Saat itu hari libur dan saya sedang ada di salon, jadi bisa mengamati kejadian ini. Selama proses rebonding berlangsung, si wanita beberapa kali menerima telepon. Kalo nggak salah dari salah satu keluarganya. Yang jelas dia lalu cerita ke kakak saya bahwa anaknya di rumah nangis terus – cari ibunya.  Dan saya jadi cukup tercengang ketika si mbak bercerita bahwa anaknya itu masih balita.

“Lha gimana lagi, Mbak… demi penampilan kok, biar tetep cantik meskipun udah punya anak!” seloroh Mbaknya ketika kakak saya bilang kasian anaknya.

Selain itu, si Mbak juga sempet cerita kalo kepalanya sangat pusing setiap menjalani proses rebonding seperti saat itu. Yang sudah tau seperti apa proses rebonding, pasti juga tau kenapa si mbak bisa pusing. Selain rambut yang ‘ditarik-tarik’ dengan alat pelurus yang panasa itu, obat pelurusnya sendiri pun punya bau yang tidak sedap.

“Pokoknya kalo nggak demi penampilan nggak bakal mau mbak aku rebonding gini, tersiksa!” kata si mbak lagi.

Oh, jadi intinya semua itu demi penampilan, batin saya.

Pada lain waktu, ada customer lain yang datang mengeluhkan kulit wajahnya yang rusak cukup parah. Ternyata beliaunya memang sempet ‘coba-coba’ pake’ bedak pemutih yang konon memang berbahaya.

“Lha gimana lagi, Mbak… pengen putih biar kaya’ orang-orang kebanyakan…” jawab beliau saat kakak saya bertanya kok berani ambil resiko pake’ kosmetik berbahay itu. Ah, lagi-lagi ‘demi penampilan’.

Saya pun tergelitik. Apa iya demi mempercantik diri, seorang wanita harus se-berkorban itu?! Apa iya demi penampilan, seorang wanita bahkan seringkali harus mengesampingkan berbagai ketidaknyamanan dan resiko yang menyertainya?! Bukankah nggak sekali-dua kali kita mendengar berita tentang dampak fatal yang dialami oleh seorang wanita yang melakukan operasi plastic atau suntik silicon – misalnya.

Saya pun merenung. Mencoba mengembalikan hal tersebut pada sebuah system hakiki yang seharusnya kita pegang teguh dalam hidup – yaitu Islam. Seperti apa sebenarnya Islam memandang persoalan ini? Saya pun teringat pada sebuah hadist yang sudah sangat populer.

Dari Abu Hurairah  ia berkata, Rasulullah  bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbutan kalian.” (HR. Muslim)

Dari hadist tersebut, jelas sekali tergambar bahwa Allah – Dzat yang Maha patut menilai apapun – tidak menilai berdasarkan rupa kita, tapi hati dan perbuatan. Nah, lalu bagaimana dengan kita selama ini? Ah, malu sekali rasanya menyadari bahwa kita (khususnya saya sendiri) jauh lebih sering focus untuk memepercantik fisik yang bukan merupakan ‘pokok perhatian’ Allah dibandingkan mempercantik hati dan perilaku. Kalo begitu, demi apa itu semua? Mari bertanya pada hati kita masing-masing.

Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang tentang kecantikan dan penampilan seorang wanita? Ada nggak sih patokan dan tuntunannya biar kita nggak bingung saat ingin menjadi cantik? Tentu saja ada! Kalo untuk patokan dalam berpenampilan, Insya Allah kita semua sudah sangat paham tentang konsep aurat wanita yang wajib dijaga dengan berjilbab.

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu & isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah utk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. & Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Lalu bagaimana dengan banyak sekali muslimah sekrang ini yang berjilbab tapi dengan memodifikasinya menjadi rupa-rupa gaya? Kita khusnudzon saja dengan niat baik mereka untuk menjaga aurat, dan mendoakan semoga tujuan utama kita berjilbab tetap lurus hanya mengharap ridho Allah. Aamiin. Kalo ada orang yang nyinyir menggugat perintah berjilbab dan menganggapnya sebagai salah satu bentuk pengekangan terhadap wanita, mereka tentu saja sangat keliru. Dengan perintah berjilbab, Islam secara tersirat justru memerintahkan ‘dunia’ untuk lebih fokus memperhatikan potensi yang seorang wanita miliki dibanding fisik. Tidak seperti paham materialisme yang sangat mengagungkan keindahan fisik. Betapa banyak sekarang ini kita jumpai jenis-jenis pekerjaan yang memasang syarat-syarat soal fisik – dan sungguh, itulah bentuk pengekangan terhadap hak wanita yang sebenarnya.

Lalu bagaimana dengan kecantikan wajah? Kita tentunya sudah pernah mendengar berbagai kajian atau tulisan yang menerangkan tentang khasiat wudhu, qiyamul lail, serta dzikir yang diantaranya dapat membuat wajah senantiasa memancarkan aura kecantikan yang seringkali kita sebut sebagai inner beauty. Bukankah sering kita menjumpai seorang muslimah yang penampilannya amat sederhana tapi amat menyenangkan wajahnya dipandang?!

Bahkan, soal patokan memilih wanita untuk dijadikan pasangan hidup pun Islam tak lupa memberi rambu-rambunya.

“Wanita itu dinikahi karena 4 perkara. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, engkau akan bahagia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lihatlah betapa indahnya Islam dalam menilai kecantikan seorang wanita. Coba bayangkan jika hadist tersebut bunyinya justru memerintahkan laki-laki untuk memilih karna kecantikannya… pastilah wanita-wanita yang tidak terlalu cantik seperti saya akan minder dan putus asa dalam menanti jodoh :)

Ya, maka inilah Islam… yang tolok ukurnya dalam menilai kecantikan wanita bagaikan oase ditengah gurun sahara paham materialisme dan kapitalisme yang semakin mengakar di benak banyak orang.

Dan inilah hadist teramat indah yang saya rasa pas untuk menutup tulisan saya kali ini.

“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)



“Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway I Love Islam

#KotakMimpi4: Nonton Konser Kahitna

on
Rabu, 26 Maret 2014
Ini mungkin impian yang nggak penting banget ya. Tapi namanya juga mimpi, nggak harus selalu penting kan, yah?! Dan impian yang nggak penting itu, salah satunya adalah bisa nonton konser Kahitna langsung suatu saat.

FYI, saya udah ngefans sama Kahitna (terutama sama Bang Hedi Yunus) sejak kelas 3 SD loh! Haha

Heran deh kenapa beliaunya belom nikah-nikah juga sampe sekarang. Semoga sih gosip-gosip miring itu nggak benar :(

So, karna sampe sekarang sepertinya belom ada celah bagi impian saya ini, jadi saya nonton konser mereka dari Youtube dulu aja deh, ya. Hihi #nyesek

Kesiapan Mental Menjadi Seorang Ibu

on
Selasa, 25 Maret 2014
Beberapa hari setelah anak dari salah satu sepupu saya lahir, saya menanyakan kabarnya pada Ayahnya – si sepupu saya itu – karna belum sempat menengok langsung lagi.

“Gimana Dedek bayi? Udah mulai ngASI, kan?”

“Nggak Mbak, nggak mau si dedeknya. Lagipula airnya dikit banget!”, jawab sepupu saya. Oh ya, dia memang adik sepupu saya, tapi usianya jauh lebih tua dari saya.

Saya tertegun mendengar jawabannya. Terlebih ketika di melanjutkan dengan cerita bahwa si Dedek diberi SuFor. Oke, mungkin saya akan terkesan sok tua sekali bicara soal ini. dengan status saya yang masih single, tahu apa saya soal ASI, merawat bayi, dll? Mungkin akan ada yang berpikir seperti itu – terutama orang-orang di sekitar saya. Tapi saya nggak peduli. Saya ingin tetap mengungkapkan apa yang ada di kepala saya, di sini.

Jujur seperti ada rasa sedih mendengar jawaban sepupu saya tadi. Tidak perlu saya paparkan detail, pasti sudah banyak sekali yang tahu – bahkan jauh lebih tahu dari saya – soal keutamaan ASI bagi anak dibanding Sufor. Ah, jelas sekali soal ini. mana ada ciptaan manusia yang mampu menandingi ciptaan Sang Pencipta Manusia?!

Semakin sedih saat mengingat bahwa istri dari sepupu saya itu sepenuhnya di rumah – alias nggak kerja di luar rumah. Ya Allah… beberapa kali saya mendengar cerita dan membaca kisah para ibu yang mati-matian tetap berusaha memberikan ASI eksklusif di tengah kesibukan mereka yang luar biasa di luar rumah. Juga kakak ipar saya sendiri yang amat pilu ketika akhirnya ia tidak berhasil melakukan hal tersebut karna manajemen waktu pemerahan ASI yang gagal ia kelola. Lalu ini? Dia ada di rumah dan ‘ikhlas’ melihat anaknya terlelap karna jasa dot?!

Kalau sepupu saya bilang si Dedek bayi nggak mau menyusu ibunya, dan ASI si Ibu nggak sedikit sekali, bukankah hal tersebut bisa dicari sebab dan jalan keluarnya?? Si Dedek nggak mau mungkin karna posisi menyusuinya yang masih kurang tepat. Dan bukankah produksi ASI bisa meningkat seiring semakin seringnya ASI dikenyot oleh si bayi?! Bagaimana mungkin ASI bisa keluar banyak jika si bayi tidak berusaha dirangsang untuk terus mengenyot. Kurang lebih seperti itu yang saya tahu. Revisi saya jika ada yang salah.

Ah ya, ada satu hal lagi yang hendak saya ceritakan. Jadi, sepupu ipar saya melahirkan sekitar jam delapan malam, di rumah Bidan desa – tidak jauh dari rumah saya. Paginya, sekitar jam delapan lebih saya sempat menengok mereka – ibu dan bayinya – yang ternyata belum dibawa pulang. Seperti biasa, saya selalu excited tiap lihat bayi – tidak bisa menahan hasrat untuk menggendong dan menciumnya walau sebentar. Dan eh… betapa saya heran dan kaget saat si ibunya tiba-tiba bercerita bahwa dirinya malah belum sama sekali menggendong, ah, sekedar mendekap dan menciumnya pun belum katanya – sejak semalam setelah si bayi lahir. Bilang saya berlebihan. Tapi sungguh saya kaget. Eh, heran. Bagaimana bisa? Dalam benak saya, saat seorang wanita melahirkan, bahkan itu anak pertama, hatinya pasti sudah disesaki rasa rindu ingin segera mendekap dan mencium buah hatinya secara langsung. Tapi ini? Entahlah.

Kalau saya boleh jujur – dan lagi-lagi sok tahu – saya memang seperti tidak melihat binar kebahagiaan yang luar biasa dari sorot matanya. Seperti… emmm, biasa saja, datar. Apa karna dia masih ‘terlalu’ muda untuk jadi ibu? Ah ya, saya lupa bilang kalau usia sepupu ipar saya itu jauh lebih muda dari saya.

Dari beberapa potongan cerita di atas, menurut saya salah satu penyebabnya adalah kurangnya ilmu. Ya, sungguh cerita tentang sepupu saya ini hanya satu dari sekian banyak cerita serupa di sekitar saya. Dan saya prihatin sekali melihat amat rendahnya kemauan belajar seorang calon ibu di sekitar saya. Nggak cuma soal ASI, MPASI, dll seputar perawatan saat buah hati masih bayi, tapi lebih jauh lagi – soal cara mendidik, membentuk karakter, dll.

Dan hal tersebut, menurut ke-soktauan saya ini membuat banyak sekali wanita yang menjadi ibu tanpa dibarengi kesiapan mental sebagai seorang ibu yang perannya vital sekali bagi anak. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Lahirnya generasi fotocopy! Fotocopy dari generasi-generasi sebelumnya, yang cenderung tidak mengalami banyak perbaikan. Yaiyalah, kan mereka di didik dengan system yang sudah turun-menurun – yang juga diterima bapak-ibunya dulu.

Ya, begitulah ocehan sok tahu saya kali ini. saya sangat paham mengubah paradigma tentang dua paragraph terakhir di atas tidak mudah – sangat tidak mudah bahkan. Ini menyangkut banyak sekali hal. Tapi apa boleh buat, saya belum bisa berbuat apa-apa. Jadi, saya nulis saja di blog ini, semoga ada manfaatnya – sekecil apapun itu. Aamiin.

BELAJAR DARI ANAK-ANAK

on
Senin, 24 Maret 2014
Kita tuh ya, menurut saya, kadang terlalu angkuh untuk mau mengambil pelajaran dari hal-hal yang menurut kacamata kita 'level'-nya jauh di bawah kita. Iya nggak, sih? Padahal kan harusnya kita bisa belajar tentang kebaikan dari manapun - nggak peduli siapa si pemberi pelajaran, kalo memang baik ya kenapa nggak kita ambil?

Nah, dari sekian banyak hal yang sering nggak kita sadari membawa banyak sekali hikmah tuh menurut saya anak-anak. Hmm, nggak tau kenapa saya lagi lumayan seneng 'bersentuhan' dengan hal-hal yang ada hubungannya sama anak-anak beberapa bulan terakhir ini.

Januari lalu, saat kota saya (dan mungkin juga kota kalian) tak henti-henti diguyur hujan, telinga saya lumayan risih mendengar keluhan orang-orang di sekitar saya. Ngeluhin apalagi kalo nggak ngeluhin hujan? Katanya jadi males berangkat kerja lah, berangkat kerja jadi ribet lah, mau kemana-mana susah lah, bajir lah, dan masih banyaaakk lagi. Duh, Gusti... dikasih kemarau panjang ngeluh, dikasih hujan ngeluh juga! Maka, reflek tangan saya mengetik sebuah status:

"Waktu kecil pengen bisa hujan2 sampe maksa2, rela dimarahin ibu. Trus kenapa sekarang harus ngeluh karna tiap pagi harus hujan2??:)" (21 Januari 2014)

Alhamdulillahnya saya suka hujan. Saya hampir nggak pernah merasa keberatan harus hujan-hujan tiap berangkat dan pulang kerja. Yah, meskipun untuk beberapa alasan, saya tetep pake jas hujan sih -_-
Di status tersebut salah satu dosen saya di FE-Unissula - Pak Jafar - komen. Bapak dosen yang satu ini tuh salah satu dosen gahol dan yang paling punya kedekatan emosional sama kami mahasiswanya. Beliau bilang:

"sebab waktu kecil kita bisa hujan-hujanan sambil telanjang tanpa malu.. sekarang?"

Ahihi... saya sempet ngikik waktu pertama kali baca. Pertamanya nggak mudeng sih apa maksudnya. Tapi lalu saya renungkan beberapa saat. Iya juga ya, sekarang harus pake jas hujan karna nggak mau baju basah, mengganggu penampilan, dll. Sedang kalo anak kecil? Mana peduli mereka sama penampilan? Emm, ada satu lagi komen temen saya yang bikin geli. Dia bilang gini:

"Karna klo sampe kantor basah kuyub mb. Sebenere ga ngeluh si, cm minta dikasi terang dlu pas lagi jalan."

Tuh kan, lagi-lagi soal penampilan?! haha. Tapi kalimat  "...Sebenere ga ngeluh si, cm minta dikasi terang dlu pas lagi jalan" itu yang bikin geli. Yaelah, Mbak... emang hujan siapa yang buat coba? Enak banget mintanya :D

Lalu, saat hati saya sedang disesaki sampah-sampah perasaan yang bikin nyesek, saya baca salah satu tulisan Mbak Syam di rumah mataharinya. Tapi sayangnya saya lupa tulisan mana tepatnya yang saya baca saat itu. Yang jelas, apa yang saya baca saat itu kemudian saya sarikan menjadi sebuah status berikut ini:

"Kadang, jiwa kekanakan kita butuhkan dalam keseharian. Agar kita tak ragu untuk segera bangkit setelah jatuh, tak ragu memaafkan teman setelah bertengkar, tak ragu kembali tersenyum ceria setelah menangis tersedu, dan tak ragu untuk yakin bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja." (10 Februari 2014)

Nggak tau kenapa dada saya yang tadinya sesak oleh banyak sampah tadi jadi jauh lebih lega setelah baca tulisan Mbak Syam, dan lalu menuliskan inti hikmahnya menjadi status tersebut. Ya, saya meresapi sekali status saya tersebut, meskipun memang saya sadar belum bisa sepenuhnya seperti itu. Dan yang paling bikin saya sadar adalah komentar dari Mbak kandung saya yang JLEB banget.

"ok, setuju, berarti mulai skrg g ad lg kata "titeni"... he..he.." (ok, setuju, berarti mulai sekarang nggak ada lagi kata "awas ya!)

Ahihihi... sumpah, JLEB!!! Iya, pasalnya Mbak saya tau banget kalo saya itu kadang suka kurang legowo sama perlakuan nggak menyenangkan dari orang. Jadi kalo ada sikap orang yang menurut saya nyakitin, pasti langsung bilang 'Titeni ya!' (Awas ya!). Dan saya tau itu sifat yang buruk sekali. Saat itu saya berjanji diam-diam untuk sedikit demi sedikit menghilangkan sifat buruk tersebut. Semoga bisa, dan pasti bisa :)

"Artikel ini diikutkan dalam Giveaway Blogger Dengan Dua Status di BlogCamp"

Tentang Prinsip

on
Minggu, 23 Maret 2014

"Jangan terlalu kaku sama diri sendiri, Cha.. Jangan sakiti dirimu sendiri"

Begitu kata seorang teman saat saya menceritakan beberapa hal yang agak mengganggu hati saya akhir-akhir ini. Yah, begitulah... Dia mengganggap ada beberapa prinsip saya yang cenderung akan 'menyiksa' diri saya sendiri.

Hei, saya justru merasa tengah melindungi diri dari rasa sakit yang tidak perlu ada dengan beberapa prinsip tersebut :)

Lantas, apa teman saya salah? Tentu saja tidak. Saya yang salah karna tak mampu membuat dia turut memahami apa yang ada dalam kepala saya. Saya juga yang salah, karna lagi-lagi saya lupa. Saya lupa bahwa tidak semua keresahan harus dibagi pada manusia, yang terbatas sekali pemahamannya.

Karna Kita Hidup Dalam Realita

on
Jumat, 21 Maret 2014
Saya akan mengawali tulisan saya kali ini dengan sepenggal ‘kisah hidup’ kakak saya.
Kakak laki-laki saya – sebut saja Mas Acunx, dan kakak ipar saya – Mbak Lily, tadinya bekerja dalam satu kantor – di Purworejo. Garis takdir akhirnya mengatakan bahwa mereka berjodoh, lalu menikah dengan tenggat waktu yang tidak begitu lama dari saat pertama kali kenal. Tapi seperti kebanyakan lembaga lain, kebijakan kantor mengatakan mereka harus ‘dipisah’ jika menikah dengan teman satu kantor. Maka, Mas Acunx akhirnya dipindah ke cabang lain yang ada di Purwokerto – tepat saat Mbak Lily tengah hamil tua.

Ehm, mari saya sederhanakan. Jadi, Mas Acunx asli Jepara. Mbak Lily asli Pati. Mereka bertemu di Purworejo, lalu menikah. Setelah menikah Mas Acunx dipindah ke Purwokerto. Jadilah Mbak Lily harus hidup ‘sebatang kara’ di Purworejo. Jauh dari suami, pun dari keluarga. Sementara Mas Acunx pulang seminggu sekali ke Purworejo. See? Sampai sini saja rasanya saya sesak jika membayangkan.

Kini mereka telah dikaruniai seorang jagoan kecil berumur 18 bulan bernama Danish Maula Arfian. Dan situasi kadang menjadi cukup pelik rasanya bagi Mbak Lily. Jika sewaktu-waktu Danish kurang sehat atau rewel, belum lagi saat badan sendiri rasanya kurang fit, tentu kehadiran suami secara fisik amat dibutuhkan. Apalagi, belum lama ini asisten rumah tangga yang biasa ‘momong’ Danish berhenti mendadak karna sakit cukup serius. 

Ah, kalau Mbak Lily ditanya, jika boleh memilih tentu saja mungkin ia akan memilih memiliki keluarga ‘ideal’. Tinggal satu atap dengan suami, dekat dengan keluarga, bisa mengasuh Danish sendiri sepenuhnya, dll. Tapi apa? Inilah hidup. Sayangnya kita tengah hidup dalam realita yang seringkali tak selalu sesuai dengan apa yang kita rancang, angan-angankan, serta impikan. Hidup selalu punya misterinya sendiri. Kita juga tidak tengah hidup dalam cerita novel yang jika saat ini kita tengah sampai pada bagian yang amat menyesakkan, maka beberapa lembar berikutnya kita pasti sampai pada bagian yang amat melegakan. Tidak. Realita seringkali mempertemukan kita dengan serangkaian hal-hal menyesakkan yang silih berganti, bahkan terkadang saling tumpang tindih.

Tapi beruntungnya, kita diberi dua senjata yang akan bisa membuat dada kita tetap lapang ditengah situasi semenyesakkan apapun. Apalagi kalau bukan sabar dan syukur. Dua kata yang sederhana sekali dikatakan, namun pelik sekali untuk diaplikasikan.

Ya, dari keluarga kakak saya, saya belajar banyak. Bahwa hidup saya esok – yang sudah saya rancang dengan begitu manisnya, tentu saja sangat mungkin untuk tak berjalan sama persis seperti itu. Punya suami sholih, kaya raya, pengertian, anak-anak yang sehat, pintar dan berbakti, dll… siapa yang tidak mau?

Tapi apa hal tersebut tidak mungkin? Tentu saja mungkin! Apa yang tidak mungkin jika Allah menghendaki hal tersebut terjadi? Saya pun mengenal orang yang kehidupannya tampak mat sempurna di mata kebanyakan manusia. Iri? Sebagai manusia manusiawi rasa itu terkadang ada. Tapi lantas apa? Iri toh tidak serta merta membuat hidup kita menjelma menjadi seperti yang kita inginkan. Oh ya, tapi iri tak selalu negative bukan? Boleh iri, tapi transformasikan menjadi iri positif yang memacu kita untuk memperbaiki ikhtiar-ikhtiar kita.

Jadi, saya akan tetap bermimpi, berdoa, lalu meyakini sepenuh hati – karna saya percaya bahwa Tuhan saya sesuai dengan yang saya sangkakan. Tapi saya juga tidak boleh lupa, bahwa tetap ada Dzat yang Maha Menentukan segala sesuatunya. Bukankah apa yang kita kira baik, belum tentu benar-benar baik untuk kita? Dan bukankah kita tidak bisa dikatakan beriman jika kita belum diuji?

Ya, karna iman setengahnya adalah sabar, setengahnya lagi adalah syukur. Bersabar saat kondisi jauh dari yang diangankan, lalu bersyukur atas apapun yang ada di hadapan. Maka, semoga dada kita akan menjadi lapang. Aamiin

Bagaimana Hidup Setelah Mati?

on
Senin, 17 Maret 2014


“Bagaimana hidup kita setelah mati, Ma?” tanya Andien pada Mamanya kemarin sore, tiba-tiba.
Entah apa pasal, tubuhnya menggigil – berkeringat dingin.

“Kalo sudah mati ya kita nunggu kiamat, Dek… trus nanti hidup lagi untuk penentuan kita masuk surge apa neraka…” jawab mamanya - sebisanya.

“Trus kita bisa ke sini lagi, Ma? Adek pengen ke sini lagi…”

“Lho, ya nggak bisa, Dek… makanya adek rajin sholat, biar masuk surga. Kalo di surga, jauh lebih enak daripada disini!”

Andien terdiam. Seperti merenung. Lalu menggigil lagi, seperti amat ketakutan.

-oOo-

Andien baru menjelang 7 tahun. Layaknya anak-anak dia memang belum sepenuhnya punya kesadaran beribadah – masih harus dipaksa. Entah apa pasal dia tiba-tiba bertanya hal seperti itu. Yang pasti, kita harusnya belajar. Seberapa sering kita mengingat mati? Dan seberapa takut kita membayangkan kehidupan setelah kematian?

Semoga Allah menuntun Andien menjadi wanita sholihah penyejuk hati kami.

Signature

Signature