Dua minggu yang lalu, untuk ke-tiga kalinya saya berkesempatan silaturahim ke rumah sahabat saya sejak kuliah. Seorang sahabat yang selalu berhasil bikin saya selalu merasa sebagai orang ‘kurang gizi’ saat bersamanya. Haha.
Nama desa teman saya ini adalah Tedunan, kecamatan Kedung. Secara teritori, dsa Tedunan ini ada di wilayah Kabupaten Demak. Tapi dilihat dari letak geografis, jauuuhh lebih dekat dengan Jepara. Setau saya – menurut cerita teman saya tadi – masyarakat di desanya jauh lebih bergantung ke Jepara dalam memenuhi hidup sehari-harinya. Contoh. Pasar. Contoh lain, angkutan umum. Mereka penduduk Tedunan kalo mau pergi-pergi pake kendaraan umum, ya lewatnya Jepara. Nggak ada angkutan umum dari wilayah Demak yang menghubungkan langsung dengan desa tersebut.
Intinya, Desa Tedunan ini ada di wilayah Demak, tapi sepertinya sering ‘lupa’ diperhatikan oleh pemerintahan Demak. Mereka 'bergantung' banyak pada Jepara, tapi tentu nggak pernah masuk sebagai salah satu yang akan diperhatikan oleh Jepara.
Kemarin, teman saya itu mengeluh. 'Bahkan untuk sekedar ngeprint dan fotocopy saja aku harus nyebrang jembatan ke Jepara...', ucapnya.
Ah ya, saya pernah merasakan itu beberapa tahun lalu. Emm, maksudnya merasakan kesulitan nyari tempat ngeprint dan fotocopy-nya - bukan nyebrangnya. hehe. Alhamdulillah desa saya sudah mengalami banyak sekali kemajuan. Hal-hal seperti itu tentu jadi semakin dirasakan oleh teman saya, selain tingkat kebutuhan dia pada fasilitas semacam itu meningkat, juga karna dia sekarang sudah 'terbiasa' hidup di kota dengan fasilitas lengkap.
Kemarin dia juga mengeluh lagi. Yang ini sangat saya pahami, karna memang sangat memprihatinkan di mata saya. Soal air. Ya, daerah ini sangat memprihatinkan soal ketersediaan air bersihnya. Air yang sehat punya tiga kriteria, kan, ya? Tidak berwana, tidak berasa dan tidak berbau. Tapi setahu saya, air di daerah itu nggak ada yang nggak berwarna. Keruh. Yang membuat hati saya sangat miris adalah ketika melihat tetangga-tetangga teman saya dengan 'asyiknya' mencuci baju dan alat-alat masak di air 'kubangan' sekitar rumah mereka. Emm, bentuknya memang menyerupai kali kecil - tapi airnya nggak mengalir, dan ahhh... keruh sekali. Menurut teman saya, nggak semua orang di desanya sudah punya kamar mandi. Masih banyak yang benar-benar menggantungkan hidupnya pada 'kali kecil' tersebut.
Sepulangnya saya dari menginap di rumah teman saya itu, saat melihat air bening di kamar mandi rumah, hati saya seketika seperti di siram es. Nyeeessss. Aahh, betapa saya hampir selalu lupa mensyukuri nikmat air bersih yang selalu bisa saya nikmati secara cuma-cuma. Saya tau masih banyak daerah di negara ini yang kekurangan air bersih. Tapi saya baru benar-benar sadar betapa 'sekedar' air pun harus disyukuri saat melihat dengan mata kepala sendiri keprihatinan seperti di desa Tedunan itu.
Tapi segala keprihatinan atas daerahnya tersebut, justru bikin saya semakin bangga sama temen saya itu. Karna dia sedang berjalan menembus batas-batas 'kewajaran' masyarakat desanya -- terutama dalam hal pendidikan. FYI, teman saya ini sedang melanjutkan studinya di UGM -- ngambil program profesi akuntansi sekaligus S2. Nah, maka dari itu saya berkali-kali bilang sama dia setiap dia ngeluh.
"Yakinlah, berbagai keterbatasan itu justru akan bisa kamu ceritakan pada anak-cucumu untuk memotivasi mereka nanti. Itu juga akan menjadi sisi dramatis buat hidupmu saat nanti kamu sudah sukses. Siapa tau nanti kamu sampe bikin biografi, jadi kan bisa kayak Dahlan Iskan, Jokowi, dll. Dahlan Iskan dengan sepatunya, Isty dengan kekurangan air bersihnya. Hehe"