Gadis Desa Yang Sempat Mencicipi Pahitnya Sekularisme

on
Selasa, 05 Agustus 2014
"Muslim di Indonesia harus banyak-banyak bersyukur lah pokoknya..."

Kalimat itu terucap dari bibir sahabat saya beberapa hari lalu, saat kami tengah silaturahim ke rumah seorang guru SMP kami. Nama sahabat saya itu Utami. Gadis yang di mata saya nggak pernah terlihat berubah seperti sejak pertama kali saya melihatnya di kelas 1B SMP Negeri 1 Pecangaan. Dia tetep gadis yang kalem, anggun, rendah hati, tidak neko-neko. Padahal jalan hidupnya tentu saja telah membentuknya menjadi Utami dengan inner luar biasa -- yang pada beberapa orang seringkali juga turut merubah 'tampilan' luarnya. Jujur saya sering dibuat minder sama dia mengingat pengalaman hidupnya yang blas nggak sebanding sama saya. Tapi ya itu, karna dia tetep Utami yang dulu - yang rendah hati - membuat saya akhirnya tetep merasa nyaman ada di dekat dia.
 
Indri-Utami-Saya

Kami saling mengenal saat sama-sama belum 'mengenal' jilbab. Saat dia masih berangkat sekolah dengan mengayuh sepeda ontel, saat saya masih seorang rosa yang 'nakal' (sekarang juga masih 'agak' nakal sih :p). Alhamdulillah Allah kembali menautkan kami setelah beberapa tahun sempat loss contact. Dan, Alhamdulillah kami kembali bertemu saat kita punya banyak hal 'sejalan' untuk diperbincangkan. Ya, bagi saya perjalanan Utami luar biasa. Sudah lebih dari pantas rasanya untuk dijadikan sebuah buku.

Utami an teman-teman Indonesianya
(Saat dia wisuda) 

Dari seorang gadis desa yang nyambi bekerja tiap pulang sekolah saat SMP dulu, takdir yang diretasnya melalui usaha tak kenal menyerah dan doa, mengantarkannya menjejakkan langkah di negeri indah yang pernah ditaklukkan oleh Muhammad Al-Fatih -- Turki. Saat dia masih di sana, beberapa kali saya minta dikirimi foto saat salju tengah turun. Meminta dia bercerita tentang kehidupannya di sana, juga bertanya tentang nukilan-nukilan sejarah penaklukan Konstantinopel. Tapi justru baru kemarin saya dibuat tercengang saat tau bahwa Utami ternyata pernah mencicipi 'kejamnya' sekularisme di negeri itu. Saya pernah dengar bahwa Turki merupakan negara yang pernah menerapkan sistem sekularisme. Saya pernah membaca kisah para muslimah di sana dalam salah satu artikel di majalah khusus muslimah beberapa tahun lalu. Tapi saya mengira sistem itu sudah berlalu jauh sejak bertahun-tahun lalu. Duh, betapa kupernya saya :((

Lebih tercengang lagi saat Utami bercerita tentang liku terjal dua tahun awal dia hidup di sana. Dia mempertahankan jilbabnya dengan cara yang bikin saya merinding sekaligus ingin menangis membayangkannya: memakai wig! Pakai jilbab, lalu dilapisi dengan wig, leher ditutup dengan syal. Bayangkan! Bayangkan betapa menyiksa pakaian seperti itu saat musim panas tiba. Tapi dia bertahan dua tahun. Demi apa? Apa motivasinya? Ah ya, saya lupa menanyakannya langsung tentang itu kemarin. Tapi saya yakin alasannya adalah perkara luar biasa yang tak ada di dunia: surga. Belum lagi ceritanya tentang 'aksi' sholat diam-diam. Jam praktikum dan kuliahnya nggak jarang menerjang waktu sholat. Dan dia harus pintar-pintar memutar otak untuk mencari 'celah' agar tak harus meninggalkan tiang agamanya itu. Salah satu cara yang dia tempuh adalah dengan meminta ijin ke 'belakang'. Lalu dia harus berlari sekuat tenaga karna tempat sholat ada di gedung yang berbeda dengan tempat praktikumnya. Masya Allah...

 "Muslim di Indonesia harus banyak-banyak bersyukur lah pokoknya...", ucapnya.

Betapa tidak? Kita nggak pernah perlu khawatir kesulitan menemukan tempat sholat bahkan saat perjalanan - kemanapun di Indonesia ini. Musholla dan Masjid tersebar di mana-mana. Nggak perlu ada rasa khawatir bahkan jika harus sholat di tepi jalan atau lapangan, karna nggak akan ada orang yang menghardik. Tapi seberapa sering kita 'mengentengkannya'?! Nggak ada satupun larangan berjilbab di sini. Tapi seberapa sering kita beralibi demi menunda menunaikan kewajiban kita sebagai muslimah itu?! Ah, betapa saya malu mendengar cerita Utami di atas. Sedang saya di sini sering sekali menggerutu saat harus tinggal berdekatan rumah dengan kakak ipar laki-laki. Ia seringkali masuk ke rumah tanpa pernah bisa diduga, yang artinya mengharuskan saya memakai jilbab hanya kecuali saat di kamar.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi. Tapi lebih pada refleksi diri saya sendiri. Saya tau soal jilbab itu berkaitan dengan hidayah (meski saya yakin hidayah itu bukan hanya perkara menunggunya datang). Seberapa besar syukur kita atas banyak sekali kemudahan yang Allah berikan untuk menjalankan setiap perintah-Nya? Mari jawab di hati kita masing-masing :)). Mari ingat juga saudara-saudara kita di Gaza, agar syukur itu semakin menggelembung dalam hati. Lalu sempatkan gumamkan doa untuk mereka, saudara-saudara seiman kita yang tengah tertatih menjaga kehormatan mereka sebagai Muslim.

6 komentar on "Gadis Desa Yang Sempat Mencicipi Pahitnya Sekularisme"
  1. di Turki ga boleh pake jilbab ya, ca? aku kurang tahu soal ini. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu, mbak... Kalo skrg alhamdulillah larangan berjilbab sudah dicabut kok :))

      Hapus
  2. Bukannya Turki itu negara Islam ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan mbak... Cuma Turki mmg erat sekali kaitannya sama Islam, krn pernah ditaklukkan oleh Al Fatih...
      Cm mmg sempet memberlakukan sistem sekularisme.

      Hapus
  3. sedih banget baca nya ya Allah
    semoga Allah memudahkan jalan saudara2 kita untuk istiqomah

    BalasHapus
  4. Iya mbak, aku jg miris waktu denger ceritanya...
    Aamiin :')

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)

Signature

Signature