Tentang Mubadzir

on
Jumat, 31 Agustus 2018
credit: Pixabay.com

Soal mubadzir, sebenernya tau tentang teorinya sih kayaknya udah sejak masih pakai seragam putih-merah ya. Tapi gimana aplikasinya?

Gak usah deh ngobrolin soal betapa mubadzirnya tas yang lebih dari 3, koleksi jilbab yang hampir tiap bulan pasti nambah, dll. Terlalu berat rasanya untuk mengakui bahwa yang seperti itu juga namanya mubadzir. Hehe.

Jadi yang saat ini mau saya obrolin adalah tentang mubadzir yang paling umum. Yaitu, mubadzir dalam hal makanan.

Jujur saja saat masih tinggal bersama orangtua dulu, saya termasuk orang yang gak pernah sedikitpun merasa bersalah jika harus membuang nasi. Hampir setiap makan saya gak habis, dan simpel -- buang aja. Mungkin salah satu alasannya adalah karna di rumah ada peliharaan ayam. Jadi menurut saya gak masalah buang nasi, kan dalam rangka kasih makan ayam 😂

Tapi sudut pandang saya itu berubah banyak sekali setelah kenal mas suami. Mas suami itu anti banget buang makanan. Bisa jadi itu salah satu sebab badannya yang subur 😆 Soale kalo di rumah, belio seksi menghabiskan 😅

Dulu waktu belum ada apa-apa antara kami, saya sempat dibikin ge er gara-gara ini. Waktu lagi makan bareng pas jam istirahat kantor (kami sekantor, dan makannya gak cuma berdua -- rame-rame sama yang lain), kebetulan saya gak habis makannya. Eeehh, belio dengan gagah berani meminta ijin pada saya untuk menghabiskan sisa makanan saya, padahal saat itu belum ada apa-apa di antara kami 😂 Saat itu belio mengutarakan serentetan penjelasan dan ajakan tentang jangan memubadzirkan makanan.

Jujur aja saya kadang suudzon sama beliau. Ah, bilang aja emang doyan dan pengen makan. Gak usah deh pake alasan mubadzir segala! 😂 *istri durjana*

Tapi pandangan saya berbalik. Ketika suatu hari kami makan berdua (pas udah nikah nih), lalu orang di meja sebelah kami meninggalkan makanannya begitu saja, padahal masih lebih dari separuh porsi.

Melihat itu, mas suami berkaca-kaca. Lalu bergumam, "mereka mungkin gak tau, di luar sana banyaaakkk sekali yang untuk makan nasi aja harus mengais-ngais di tempat sampah dulu"

Huhu, langsung meleleh hati saya 😭 Berasa ditampar banget. Iyaaa yaa, kita tu sering enteeeeng banget buang-buang makanan. Sedangkan di luar sana, banyaaakk sekali yang mau makan aja susah banget.

Yuk teman-teman, kita bareng-bareng berusaha untuk menghindari kemubadziran.

Agar Tak Lagi Berat Untuk Berqurban

on
Selasa, 21 Agustus 2018
sumber: Pixabay.com

Pernah denger gak teman kita bilang, "Tahun ini aku qurban perasaan", diiringi gelak tawa? Padahal dari segi ekonomi, dia bukan dari kalangan yang kekurangan.

Atau jangan-jangan kita sendiri pun pernah seperti itu? Kalau saya, jujur saja pernah.

Dulu ya, saat kesadaran tentang ibadah qurban belum sampai ke hati, mengeluarkan uang segitu untuk beli kambing, kemudian dibagi-bagi kok rasanya gak kebayang banget. Selalu merasa gak mampu ngumpulin uang untuk berqurban.

Lalu kemudian saya bertemu sebuah tulisan, yang sayangnya saya lupa siapa penulisnya dan dimana membacanya.

Maka, ijinkan saya menuliskannya ulang di sini.

Jika kita merasa berat ketika hendak berqurban, maka kita ingat.

Risalah pertama tentang ibadah qurban dimulai dari kisah Nabi Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Allah melalui mimpi untuk menyembelih anaknya, Ismail a.s.

Sedangkan Ismail, merupakan putra tersayang yang sekian lama dimohonkan Nabi Ibrahim pada Allah melalui doa-doa.

Kira-kira, seberapa berat bagi Ibrahim untuk melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail? Tentu beratnya tiada tanding tiada banding.

Maka, jika hari ini kita selalu merasa berat saat hendak berqurban, gak masalah. Karna sejak awal risalah ini turun pun, memang melalui perintah yang sangat berat.

Iya, rasa berat itu wajar. Nabi Ibrahim pun merasakan. Tapi apakah Nabi Ibrahim lantas berhenti, lantak tak menghiraukan perintah Tuhannya? Tidak.

Nabi Ibrahim tetap melaksanakan, setelah diyakinkan oleh putranya sendiri, Ismail.

"Dan Ibrahim berkata: sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu samapi (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku seseungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya (nyatalah kesabaran keduanya) dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, seseungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS Ash-Shafaat: 99-111)
Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/11623-pelajaran-dari-kisah-nabi-ibrahim-menyembelih-ismail.html
Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/11623-pelajaran-dari-kisah-nabi-ibrahim-menyembelih-ismail.html

Apa yang membuat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail berlapang-dada untuk melaksanakan perintah yang sangat berat itu? Tak lain, karna mereka mengharap Ridha Allah.

Maka hari ini, jika kita masih merasa berat untuk berqurban, penawarnya cukup satu. Mari mengharap ridha Allah. Bukankah itu saja sudah lebih dari cukup dibanding dunia seisinya? 😊

Semoga Allah senantiasa melapangkan rizki kita, dan memampukan kita untuk menunaikan setiap perintah-Nya. Aamiin.

Selamat mempersembahkan qurban terbaik teman-teman 😊

Warna-Warni Riwayat Seorang Ibu

on
Rabu, 15 Agustus 2018

Semenjak jadi ibu baru, saya secara gak sadar jadi sering mengamati riwayat para ibu senior. 

Mencermati kisah dan kehidupan para ibu yang anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Sudah makan asam-garam menjalani peran sebagai ibu. Karna, kadang capek juga ya kalo baca sharingnya ibu muda terus di media sosial. Yang mana rata-rata masih serba idealis, masih penuh semangat berapi-api, tapi di atas segalanya masih sama-sama minim soal tempaan dunia nyata.

Dari kisah-kisah ibu yang saya ketahui, ada beberapa yang  sangat membekas di benak saya, dan sempat bikin saya termenung lama.

Pertama. Sebut saja Ibu A. Ibu A adalah seorang istri yang memutuskan pergi meninggalkan suaminya seorang diri, saat usianya sudah memasuki senja. Hingga suatu hari suaminya ditemukan telah meninggal di dalam rumah, tanpa ada seorangpun yang tau.

Sebelum tau kisahnya, saya salah satu orang yang merutuki keputusan ibu A. Ternyata, suami ibu A adalah sosok lelaki bak monster di mata keluarganya. Pada istri maupun anak-anaknya, ia gemar sekali menyiksa. Siksaan melalui kata-kata, sekaligus fisik.

Tapi saya juga heran. Kenapa harus menunggu sekian puluh tahun untuk mengambil keputusan meninggalkan? Nunggu anak-anak besar dan selesai sekolahnya -- karna ia tak bekerja barangkali? Entahlah. Bisa jadi. Mungkin ini alasan banyak tulisan menasehatkan bahwa kita perempuan tetap harus punya kemandirian finansial.

Kedua. Ibu B. Ia seorang ibu rumah tangga biasa. Punya penghasilan, meski tidak banyak melalui keterampilan yang dimilikinya. Bertahun-tahun berumahtangga, entah sebesar apa luka yang ada di hatinya.

Suaminya berkali-kali menikah lagi dengan perempuan lain. Ya, berkali-kali. Menikah, cerai, lalu menikah lagi dengan perempuan yang lain lagi. Jangan ditanya seperti apa sakitnya. Tapi ibu B memilih menerima semua rasa sakit itu. Hingga anak-anaknya dewasa dan mampu menjadi dermaga nyaman untuk menyandarkan segala rasa sakit itu. Dan hingga suaminya akhirnya menyadari, bahwa pada akhirnya tetap Ibu B-lah tempatnya pulang.

Ketiga. Ibu C. Ia seorang PNS. Jauh lebih mapan jika dibanding dengan suaminya dari segi pendapatan. Tapi apa itu cukup membuat suaminya tak ke lain hati? Sayangnya tidak.

Tidak jauh beda dengan ibu B, suami ibu C menikah lagi dengan lelaki lain. Bahkan ibu C baru tau tentang ini, setelah entah berapa lama pernikahan diam-diam itu berlangsung. Herannya, ibu C tetap memilih mempertahankan rumah tangganya.

Padahal kalau dipikir-pikir, pisah dengan suaminya pun ibu C ini gak akan ada kekhawatiran soal materi. Ia punya kemandirian finansial yang mumpuni. Hingga lagi-lagi, akhirnya suaminya mampu membuka mata, bahwa akhirnya tetap saja pada ibu C ia kembali bermuara. *Hmm, cuma nulis saja saya sambil nahan gemas pengen jitak* 😂

Dan... ah iya, FYI, 3 anak ibu C adalah anak-anak dengan otak brilian dan rajin ibadah. Catat ya. Ini anak dari seorang ibu bekerja, dan dari keluarga yang gak bisa dibilang harmonis.

Masih banyak kisah-kisah seperti itu di sekitar saya. Harus saya akui, lingkungan saya dekat dengan pernikahan-pernikahan yang tidak berjalan dengan baik-baik saja. Semoga saya belajar banyak dari kisah-kisah di atas.

Dari sekian banyak kisah seperti di atas, ada benang merah yang saya ambil. Bahwa bagi sebagian besar ibu, anak benar-benar menjadi sumber kekuatan yang kadang gak masuk akal. Demi anak, apapun dilakukan. Ternyata kalimat itu bukan sekedar bualan.

Kisah-kisah di atas selalu sukses membuat jengkel saya pada suami yang disebabkan hal-hal remeh hilang.

Silahkan mengambil hikmah menurut kalian masing-masing dari kisah di atas. dan jika berkenan, bagikan hikmah tersebut di kolom komentar 😊
 


Signature

Signature