Tampilkan postingan dengan label Hikmah Kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hikmah Kehidupan. Tampilkan semua postingan

Cara dan Manfaat Berpikir Kritis Menurut Gita Savitri Devi

on
Kamis, 24 September 2020

Beberapa hari lalu di tengah jam kerja, saya mendengarkan salah satu video di channel Youtube milik salah seorang influencer berhijab asli Indonesia yang saat ini berdomisili di Jerman, yaitu Gita Savitri Devi. Video yang saa tonton itu berjudul "Gimana Caranya Berpikir Kritis?".


Pada era digital seperti ini, tiap hari kita digempur dengan puluhan informasi. Ada informasi-informasi yang mudah untuk dicerna, tapi banyak juga yang menuntut kita untuk berpikir kritis. Karena sekarang banyak informasi atau isu yang banyak zona abu-abunya, sehingga jika kita nggak berpikir dengan kritis, ada kemungkinan kita akan terombang-ambing dalam kebingungan untuk mempercayai mana informasi yang benar dan mana yang salah.

 

Kenapa Saya Tertarik Menonton Video Tentang Berpikir Kritis Tersebut?

 

Jadi, beberapa hari sebelumnya, saya membaca buku Pak Rhenald Kasali yang berjudul Strawberry Generation. Di dalam buku tersebut, Pak Rhenald sempat membahas tentang isu yang sempat viral sekitar tahun lalu. Yaitu tentang serangan tenaga kerja dari China yang masuk ke Indonesia dan membuat beberapa orang gusar. Isu tersebut dibagikan secara berantai melalui akun media sosial maupun aplikasi pesan Whatsapp, sehingga melaju dengan sangat tak terkendali.

 

Dalam bukunya, Pak Rhenald Kasali mengatakan,

"Penyebar berita kebencian itu mestinya lebih rajin jalan-jalan ke luar negeri. Bukankah dunia sudah borderless, tiket pesawat juga sudah jauh lebih murah. Cara menginao juga sangat mudah dan murah. Kalau saja rajin, dia akan menemukan fakta-fakta ini: Sebanyak 300.000 tengaa kerja Indonesia bekrja di Taiwan. Sebanyak 250.000 lainnya di Hongkong. Lebih dari 100.000 orang ada di Malaysia. Selain itu, perusahaan-perusahaan kita sudah mulai mengepung Nigeria, Myanmar dan Brasil, Bahkan juga Kanada dan Amerika.

Jadi, bagaimana ya? Kok baru dikepung 10.000 orang saja, kita sudah rasial? Ini tentu mengerikan."

(dikutip dari Buku Stawberry Generation, karangan Pak Rhenald Kasali, yang diterbitkan oleh Mizan, halaman 171)


Saat membaca hal tersebut, saya merasa tertampar. Pasalnya, saya salah satu orang yang dengan dulu menelan mentah-mentah berita virak tentang serangan tenaga kerja dari China tersebut. Saya sempat ikut kebakaran jenggot. Setelah membaca buku Pak Rhenald Kasali, saya jadi sadar bahwa selama ini saya belum menggunakan cara berpikir kritis dalam mencerna banyak informasi yang saya dapat.

 

Maka dari itu, saat melihat video milik Gita yang membahas tentang cara dan manfaat berpikir kritis, saya langsung tertarik untuk menyimaknya dengan seksama.


Apa Sih Berpikir Kritis Itu?

 

Dalam video "Gimana Caranya Berpikir Kritis", Gita Savitri Devi mengutip pendapat dari salah seorang Psikolog bernama John Dewey tentang definisi dari berpikir kritis.


Menurut John Dewey,

Critical thinking or reclective thinking is an active, persistent and careful consideration of any belief or supposed form of knowledge in the light of the grounds that support it, and the further conclusions to which it ends.

 

Di Indonesia sendiri, berpikir kritis masih memiliki banyak tantangan. Karena salah satu cara untuk berpikir kritis adalah salah satunya dengan banyak bertanya. Sedangkan di Indonesia, orang yang banyak bertanya sering dianggap ngeyel, keras kepala dan beberapa judge negatif lainnya.

 

Mungkin gara-gara itu, banyak anak muda di Indonesia yang akhirnya tidak memiliki cara berpikir yang kritis. Karena saat baru mulai mencoba berpikir kritis, mereka sudah terlebih dahulu mendapat judge nagatif. 


Padahal, berdasarkan 21 Century Partnership Learning Framework disebutkan, bahwa 1 dari 4 keterampilan belajar yang harus dimiliki oleh seseorang di antaranya adalah critical thinking atau berpikir kritis.

 

cara-dan-manfaat-berpikir-kritis

 

Dalam videonya, Gita Savitri Devi menyebutkan bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses. Proses tersebut terdiri dari:

1. Mengidentifikasi

2. Mengobservasi

3. Menganalisis

4. Mengevaluasi

5. Merefleksi

6. Menyimpulkan

7. Mengambil keputusan

 

Kenapa sih Kita Harus Berpikir Kritis?


Lagi-lagi, dalam video Gita yang saya tonton, penulis buku Rentang Kisah yang telah diangkat menjadi sebuah film layar lebar itu menyebutkan beberapa alasan kenapa kita butuh berpikir kritis. Di antaranya adalah:

 

1. Agar kita memiliki kebebasan dalam berpikir dan punya kepemilikan 100% atas keputusan kita.

2. Kita akan memiliki kepercayaan diri atas setiap opini dan kita sendiri, karena memiliki dasar yang kuat.

3. Membuat kita jadi lebih open minded atau berpikiran terbuka.

4. Memahami nuance, atau perbedaan-perbedaan kecil.

5. Terhindar dari manipulasi, baik manipulasi media, berita palsu, penipuan, dll.

 

Gimana Caranya Agar kita Bisa Berpikir Kritis?


Dalam videonya, Gita Savitri Devi juga tidak lupa memaparkan gimana sih caranya agar kita bisa memiliki cara berpikiri kritis.

 

Berikut pemaparannya:

1. Berpikir terhadap suatu masalah seobjektif mungkin.

2. Sadar atas kemungkinan bias. Sebagai manusia kita tentu memiliki perasaan suka dan tidak suka, atau faktor-faktor internal lain yang akan membuat cara berpikr kita menjadi bias.

3. Mengidentifikasi argumen atau sudut pandang lain yang berhubungan dengan hal tersebut. Semakin banyak kita memperlajari sudut pandang lain atas suatu masalah, maka kita akan bisa semakin berpikir dengan kritis.

4. Jangan lupa mengevaluasi sudut pandang kita sendiri, apakah sudah valid atau belum.

5. Memperhatikan efek dan implikasi dari argumen kita. Dan apa argumen kita atas implikasi yang mungkin akan muncul tersebut.

 

Menurut salah seorang psikolog bernama Jordan Peterson, dalam satu cara mudah berpikir kritis adalah dengan menulis. Karena menulis akan melatih otak kita untuk berpikir lebih sistematis, dan memilah mana info yang penting dan mana yang tidak penting.


Saya jadi berpikir. Sepertinya, salah satu faktor yang membuat sebagian besar rakyat Indonesia ini agak sumbu pendek dan mudah termakan berita palsu adalah karna kemampuan berpikir kritis yang masih belum terasah. Kita terbiasa memakan informasi mentah-mentah, tanpa mencari terlebih dahulu apakah sumbernya valid atau tidak, siapa yang menulis, adakah sudut pandang lain atas informasi tersebut, dan banyak faktor lain yang seharusnya kita telisik lebih dulu secara mendalam sebelum memutuskan sebuah sudut pandang yang kita yakini.


Andai saja kita bisa berpikir kritis, pasti berita hoax akan kehilangan peminat dan lambat laut akan semakin berkurang. Semoga.

 

Yuk latihan berpikir kritis, dimulai dari diri kita sendiri dulu :)


Belajar Tentang Toleransi Beragama yang Benar pada Ayahanda Shandy Aulia

on
Senin, 21 September 2020
Beberapa hari lalu, dunia hiburan sekaligus dunia maya sempat agak heboh dengan kabar pernikahan artis sinetron Audi Marissa yang menikah dengan kekasihnya – Anthony. Pasalnya, Audi Marissa dikabarkan berpindah keyakinan mengikuti keyakinan suaminya, yang ditandai dengan tidak hadirnya ibunda dari Audi Marissa.

Sebagai orang yang kadang masih suka kepo dengan gosip, saya sempat iseng menengok akun IG Audi Marissa, lalu membaca komentar para netizen di beberapa postingannya. Saya sedih sekaligus miris sekali membaca komentar-komentar itu. Yah, sebenarnya yang seperti itu sudah khas komentar ala netizen +62 banget sih.

Yang bikin sedih sekaligus miris adalah, banyak komentar yang sebenarnya mungkin didasari niat baik, tapi karena disampaikan dengan cara, waktu dan tempat yang tidak tepat, jadi sama sekali nggak tersampaikan niat baiknya tersebut. Contohnya, ada beberapa netizen yang menasehati Audi Marissa, tapi ujung-ujungnya ada unsur menjelekkan agama lain. Huaaa, alih-alih nasehatnya sampai, kolom komentar malah berubah jadi ajang debat antar-agama. Kan miris ya :(

Lalu saya jadi ingat sekitar seminggu yang lalu, saya menonton vlog-nya Shandy Aulia. Di vlog yang saya tonton saat itu, Shandy Aulia ngobrol dengan ayahandanya tentang perbedaan keyakinan di antara mereka. Mereka cukup gamblang menceritakan bagaimana awalnya hingga Shandy Aulia bisa berbeda keyakinan dengan ayahanda dan tiga kakak perempuannya yang lain.

Dari vlog tersebut, saya belajar cukup banyak tentang toleransi yang benar dan lurus. Dalam hal ini, benar dan lurus berdasarkan keyakinan saya sebagai muslim. Menurut saya, saat ini masih banyak orang yang masuk ke dalam dua ekstrim. Ekstrim pertama adalah orang-orang yang meneriakkan toleransi dengan amat lantang, tapi salah kaprah. Sedangkan ekstrim kedua adalah orang-orang yang memang benar-benar belum bisa bersikap toleran. Saya menemukan sampel dari masing-masing ekstrim ini di kolom komentar beberapa postingan Audi Marissa tadi.
 
 
Potongan vlog Shandy Aulia
 
 
Sekali lagi, dalam tulisan ini saya membahas toleransi dari sudut pandang saya sebagai muslim. Dalam Islam, sikap toleransi adalah salah satu sikap yang sangat dianjurkan oleh Allah melalui teladan yang diberikan oleh Rasulullah. Salah satunya dalam peristiwa Fathul Makkah, di mana pasukan Rasulullah berhasil menaklukkan Kota Makkah. Saat itu, penduduk Makkah ketakutan, karena dulu mereka menindas Rasulullah dan para pengikutnya. Mereka khawatir Rasulullah akan memperlakukan mereka sebagaimana dulu mereka memperlakukan Rasulullah. Tapi yang mereka takutkan sama sekali tidak terjadi.

Ya, Islam sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Namun jangan lupa, ada aturan main yang jelas tentang ini. Toleransi bagi kaum Muslim hanya dibolehkan dalam perkara muamalah, atau hubungan antar-manusia saja. Tapi tidak dibenarkan bertoleransi jika sudah menyangkut masalah aqidah dan ibadah.

Dalam Vlog Shandy Aulia yang saya tonton sepekan lalu itu, saya belajar tentang toleransi beragama yang benar dari ayahandanya. Ayahanda Shandy Aulia bersikap sangat toleran dengan tetap menyayangi satu-satunya putrinya yang berbeda keyakinan dengannya, tanpa membeda-bedakan dengan anak lain. Tapi di sisi lain beliau tetap memegang teguh hukum yang telah ditetapkan dalam Islam.
 
Ayahanda Shandy Aulia tidak hadir dalam acara pemberkatan pernikahan Shandy dengan suaminya, karena acara tersebut diselenggarakan di gereja dan merupakan salah satu bentuk prosesi agama. Sebagai seorang muslim, ayahanda Shandy Aulia tidak boleh hadir karena pemberkatan tersebut merupakan salah satu bentuk ritual ibadah. Ini sudah masuk ranah aqidah, jadi tidak boleh menggunakan 'toleransi' sebagai tameng. Tapi saat acara resepsi, beliau hadir karena resepsi sudah bukan termasuk prosesi ibadah. Jadi masuknya ke ranah muamalah.

Yang membuat saya cukup surpraised adalah ketika di dalam Vlog tersebut, ayahanda Shandy Aulia 'mendakwahi' putrinya dengan menyampaikan harapan supaya Shandy bersedia belajar tentang Islam.

"Papa nggak nyuruh kamu masuk Islam. Papa cuma minta kamu belajar" begitu salah satu potongan kalimat ayah Shandy Aulia.

Sekali lagi, ayahanda Shandy tetap berusaha menjalankan salah satu perintah agamanya -- yaitu berdakwah -- tapi tetap dengan cara yang baik. Bahkan beliau bilang, sudah lama ingin mengatakan itu, tapi belum pernah menemukan waktu yang tepat sampai akhirnya ada kesempatan karena Shandy memancing obrolan terkait itu terlebih dahulu.

Saya makin kagum ketika ayah Shandy Aulia menegaskan bahwa jika akhirnya Shandy Aulia tetap pada keyakinannya yang sekarang, hal itu tidak akan mengurangi kasih sayang beliau pada putri bungsunya itu. Huhu, sweet yaaa :)

Maka, dari ayahanda Shandy Aulia saya belajar banyak. Tentang bagaimana menempatkan toleransi pada tempat yang seharusnya, tanpa harus menabrak garis yang telah disyariatkan. Toleransi beragama itu bukan berarti kita harus turut merayakan hari besar agama lain. Toleransi beragama yang benar cukup ditunjukkan dengan bersikap baik pada siapapun, baik yang seiman maupun yang berbeda keyakinan. Lalu tidak saling mengganggu apalagi menjelekkan agama lain.
 
Satu lagi yang banyak dilupakan orang hari ini. Ketika berbicara tentang toleransi beragama, seringkali yang terpikir di benak kita hanya tentang toleransi antara kita, dan orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita. Padahal dengan yang satu keyakinan pun tetap harus menerapkan sikap toleransi.
 
Hari ini, ada beberapa orang yang bisa sangat toleran dengan orang yang berbeda keyakinan, tapi justru sama sekali tidak bisa toleran terhadap orang yang satu keyakinan. Contohnya, ada beberapa orang Islam yang memandang perempuan bercadar dengan sebelah mata atau bahkan penuh prasangka, lalu memperlakukannya dengan berbeda. Atau dengan yang berbeda ormas atau ustadz rujukan, jadi saling mengolok-olok di media sosial. Sikap seperti itu sama sekali nggak bisa dibilang toleran.
 
Nah, semoga kita bisa belajar lebih jauh tentang toleransi beragama yang benar, demi Indonesia yang damai dan terjaga persatuannya. Aamiin.

Ramadhan dan Lebaran di Tengah Pandemi Covid-19, Apa Hikmahnya?

on
Jumat, 08 Mei 2020
Ramadhan dan Lebaran tahun 2020 ini, pastilah akan menjadi salah satu Ramadhan dan lebaran tak terlupakan dalam hidup kita. Apalagi kalau bukan karna kita menjalani Ramadhan dan lebaran tahun ini di tengan pandemi covid-19 yang sedang melanda dunia.

beberapa hari lalu, saya melihat postingan bagus dari salah satu akun favorit saya di Instagram, yaitu @quranreview. Di situ, ada postingan yang isinya cukup menyentil orang-orang -- utamanya diri saya sendiri -- yang kadangkala sering bertanya "mengapa harus seperti ini kondisinya?"

@quranreview menerangkan bahwa di dalam Al Qur'an dikisahkan tentang malaikat dan Iblis yang juga pernah bertanya senada dengan itu. Yaitu menanyakan alasan atas ketetapan Allah. Malaikat bertanya 'mengapa?' ketika Allah hendak menciptakan manusia (ada dalam Surah Al Baqarah:30).

Sedangkan Iblis bertanya 'mengapa', ketika Allah memerintahkan untuk bersujud kepada Adam 'Alaihissalam (ada dalam Surah Al Isra':61).

hikmah-ramadhan-di-tenga-pandemi
credit: Pixabay


Lalu apa bedanya antara malaikat dan iblis dalam hal ini? Bedanya terletak pada respon setelahnya. Malaikat langsung berkata:

"Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (TQS. Al Baqarah:32)

ketika Allah mengatakan:

"...Senungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (TQS. Al Baqarah:30)

Sedangkan Iblis tetap ingkar dan bertanya dengan nada komplain dengan berkata, "Apakah aku harus bersujud kepada orang yang engkau ciptakan dari tanah?" (TQS. Al Isra':61).

So, kita boleh bertanya-tanya, "mengapa ya suasana Ramadan dan persiapan lebaran tahun ini beda kondisinya seperti ini?" -- boleh, itu manusiawi. Hanya saja, jangan lupa untuk menutupnya dengan berkata, "Subhanallah..." dan menanamkan keyakinan bahwa apapun kondisi yang Allah tetapkan adalah yang terbaik bagi kita semua.

Lagipula kalau kita mau merenung lebih jauh lagi, sebenarnya ramadhan dan lebaran di tengah pandemi ini juga membawa banyaaaak sekali hikmah, meski tidak dipungkiri ada jauh lebih banyak kepahitan. Tapi sebagai orang beriman, alangkah baik jika kita tetap mensyukuri hikmah yang ada meski terlihat sedikit di mata kita.

Apa saja sih hikmah Ramadhan dan lebaran di tengah pandemi ini?

Di keluarga saya sendiri, ada beberapa hikmah yang sangat saya rasakan, utamanya untuk diri saya. Di antaranya, fokus ibadah saya jauh lebih baik dibanding Ramdhan tahun-tahun sebelumnya -- terutama sejak punya anak. 2 Ramadhan terakhir setelah saya punya Faza, ibadah saya kacau balau. Tilawah Al Qur'an nggak pakai target, sedapetnya. Dan dapetnya sedikiiittt sekali. Tarawih pun jauh lebih banyak bolongnya, karna orang rumah pada tarawih ke masjid, sedangkan saya belum memungkinkan bawa Faza ke masjid untuk tarawih (karna butuh wkatu lama dan dia pasti crancky).

Tahun ini tilawah dan tarawih saya membaik sekali frekuensinya -- meskipun juga tetap belum bagus-bagus amat. Karena WFH, otomatis waktu saya untuk tilawah jauh lebih banyak. Tarawih pun bisa di rumah bareng dengan keluarga, jadi Faza pun tetap enjoy.

Hikmah selanjutnya adalah kami nggak perlu disibukkan dengan berbagai agenda buka bersama. Sehingga bisa full buka bersama keluarga dan membuat kedekatan semakin terbangun. Bukannya menganggap buka bersama itu agenda yang nggak baik atau nggak penting. Hanya saja diakui atau tidak, jika agenda buka bersama terlalu sering, biasanya ibadahnya juga makin kacau. Soalnya seringkali buka bersama pasti waktunya melewati waktu tarawih.


Sedangkan tentang lebaran, harus diakui berat sekali membayangkan lebaran nanti nggak bisa bertemu dengan keluarga di kampung dan sanak saudara. tapi -- lagi-lagi -- pasti ada hikmahnya. Yang saya rasakan hikmahnya adalah, saya nggak terlalu sibuk memukirkan tentang baju lebaran, sendal lebaran dan berbagai macam hal yang biasanya saya pikirkan setiap menjelang lebaran. Singkat kata, jadi nggak terlalu konsumtif. Apalagi jika melihat banyak sekali saudara yang butuh uluran tangan di tengah kondisi sulit ini.

Subhanallah. Maha suci Allah yanag nggak akan memberi kita cobaan melampaui batas kemampuan kita. Semoga semua ini seger berlalu, dan semoga kita menjadi orang yang berhasil mendapatkan hikmah dari beratnya kondisi ini. Aamiin.

Apa hikmah ramadhan dan lebaran di tengah pandemi ini untuk teman-teman?

Rumput Tetangga Tak Selalu Lebih Hijau

on
Jumat, 21 Februari 2020
Katanya, rumput tetangga itu selalu terlihat lebih hijau. Itu kalau kita lihatnya dari jauh kali ya. Begitu mendekat mah kadang ternyata nggak rapi, kotor, dll.

Atau, bisa jadi emang jauh lebih hijau. Selalu hijau. Karna ternyata diapakai rumput sintetis. Hehehehe.

Saya mungkin salah satu orang yang kadang masih sering silau sama rumput tetangga. Menganggapnya jauh lebih hijau dan lebih indah.

Ih, dia enak ya, begitu nikah langsung punya rumah sendiri.

Ih, dia enak ya, dua-duanya kerja di perusahaan bonafide. Pasti gajinya gedhe. Nggak pernah mikir gimana ngatur uang supaya nggak defisit sampai bulan depannya.

Ih, dia enak ya. Kayaknya nggak pernah kepikiran kekurangan uang.

Dan lain-lain, dan lain sebagainya.

Tapi, beberapa waktu lalu saya mendapat sudut pandang lain yang bikin saya jadi tau, ternyata rumput tetangga itu nggak selalu lebih hijau. Asal kita mau memandangnya dari beberapa sudut pandang.

dari pinterest

Jadi ceritanya, beberapa waktu lalu saya mendapat laporan SHU dari koperasi kantor di mana saya terdaftar sebagai anggota. Dalam laporan tersebut, terlampir data teman-teman sesama anggota yang memiliki pinjaman ke koperasi tersebut.

Lalu, betapa saya tercengang. Mendapati beberapa nama teman yang sama sekali nggak saya sangka, ternyata juga termasuk orang yang punya pinjaman.

Bukan, saya bukannya nyinyir atau menertawakan. Saya cuma jadi sadar. Bahwa ternyata, mereka yang tadinya sempat bikin saya merasa 'ih, kayaknya hidup mereka lebih enak ya', ternyata mungkin nggak sepenuhnya benar.

Saya bukan menertawakan. Hanya saja merasa mendapatkan sudut pandang yang lebih utuh dalam mensyukuri hidup saya sendiri, tanpa selalu merasa tertaganggu dengan bayang-bayang rumput tetangga.

Karna toh nyatanya rumput tetangga tak selalu hijau. Setiap orang punya masalahnya masing-masing. Punya air matanya masing-masing.

Hidup bukan untuk diisi dengan sibuk mengurusi hidup orang lain, apalagi sampai membuat kita lupa mensyukuri hidup kita sendiri :)

Cerita Idul Adha

on
Senin, 12 Agustus 2019
Idul Adha ini saya lewati di kampung halaman, setelah dua kali idul adha saya lewati di kota kelahiran suami. Seneng banget. Pertama karena, ya pokoknya seneng aja kalo pas di rumah. Bisa melepas kangen sama keluarga tercinta.

Seneng keduanya, karena melihat kesadaran untuk ber-qurban di desa saya ternyata sudah sangat bagus. Jauh banget jika dibanding dengan 4 tahunan lalu ke belakang.




Saya takjub sih, jujur aja. Masyaa Allah. Dulu tuh di desa saya yang qurban bisa dihitung pake jari sebelah tangan, itupun gak semua terpakai. Seringnya disembelih sendiri oleh yang berqurban. Jadi masjid tu habis sholat idul adha, yaudah sepi kayak gak ada apa-apa. Jangan tanya ada panitia qurban gak. Ya jelas gak ada dong.

Nah, 3 tahun belakangan ini, masjid mulai ada panitia qurban bersama gitu. Gabungan dari beberapa masjid dan beberapa RT sih kalo gak salah. Dan jumlahnya pun gak tanggung-tanggung. Tahun ini, hewan qurbannya terdiri dari 1 ekor sapi, dan 28 ekor kambing. WOW!

Apa karna tingkat perekonomian di desa saya meningkat pesat? Emm, kalo secara kasat mata sih kayaknya enggak ya. Masih gitu-gitu aja kok kayaknya.

Menurut saya sih lebih ke kesadarannya yang sudah mulai tumbuh. Kesadaran bahwa qurban itu ibadah yang sangat dianjurkan jika kita mampu. Jadi kalo harga kambing 3 juta, terus kita punya tabungan 3,5 juta, itu ya artinya mampu. Jadi enggak harus nunggu kita kaya berlimpah-ruah dulu, baru qurban.

Dulu, ada 1 orang yang semua orang di desa kami tau beliau lebih dari mampu juga seingat saya enggak qurban. Balik lagi, karna dulu kesadarannya belum ada. Makanya, Masyaa Allah, seneng banget lihat kesadaran masyarakat desa saya udah bagus banget untuk berqurban.

Nah, kalo itu cerita idul adha dari desa tercinta saya. Lalu gimana cerita idul adha di tempat tinggal saya saat ini?

Antara senang dan sedih sih. Senangnya karna sejak pertama kali datang, kesadaran untuk berqurbannya memang sudah bagus. Mungkin dari latar belakang pendidikan juga emang jauh lebih bagus sih ya.

Cumaaa, sedihnya, banyaknya hewan qurban di lingkungan kami, bisa dibilang gak terdistribusi secara merata. Distribusinya ya ke lingkungan-lingkungan situ aja. Tempat tinggal saya biasanya dapat pembagian dari dua masjid -- yang memang dua-duanya dekat dengan rumah, dan dua-duanya hewan qurbannya banyak.

Apa akibatnya? Ada penumpukan hewan qurban di rumah-rumah tertentu. Banyak yang sampe freezer kulkasnya aja gak muat buat nampung semua daging yang didapat. Padahal kalo mau dilihat lebih luas, masih banyaaaakkk banget daerah yang belum tersentuh hewan qurban.

Daerah-daerah macam desa saya beberapa tahun lalu. Yang entah karna kesadarannya belum bagus, atau karna kemampuan ekonominya yang di bawah rata-rata hingga gak mampu berqurban. Beneran, masih banyak bangettt daerah yang kayak gitu. Hiks.

Dua tahun ini, saya dan mas suami memutuskan untuk berqurban melalui Lembaga Amil Zakat yang memfasilitasi orang-orang yang ingin berqurban. Kami pasrahkan kepada mereka untuk didistribusikan ke daerah yang minim hewan qurban.

Dan tau gak, tahun lalu, hewan qurban kami menjadi satu-satunya hewan qurban di sebuah desa. Padahal hewan qurban kami keciiilll 😢 Sediiihh, entah cukup dibagi ke berapa orang doang. Semoga kita dimampukan untuk qurban dengan hewab qurban yang jauh lebih baik di tahun-tahun berikutnya. Aamiin.

Pesan moralnya buat saya pribadi, kalaupun kita tinggal di daerah yang hewan qurbannya berkelimpahan, alangkah jauh lebih baik kita ambil secukupnya, lalu berikan selebihnya ke yang jauh lebih membutuhkan. Ke orang-orang yang sekiranya bukan idul adha, rasanya kesulitan saat ingin makan daging.

Bukankah hikmah idul adha adalah agar kita menyembelih nafsu kepemilikan kita terhadap hal-hal duniawi? Apa kabar hikmah itu, jika kita justru menampung sebanyak mungkin daging saat idul adha tiba?

Sekian cerita idul adha saya. Wallahu a'lam bishawwab.

Kalau daerah kalian termasuk yang mana? Yang minim hewan qurban, atau malah yang hewan qurbannya numpuk-numpuk?

5 Hal Yang Saya Pelajari Dari Berjualan

on
Jumat, 21 Juni 2019
 Jadi ceritanya, saya lagi semangat-semangatnya merintis bisnis alias belajar berjualan. Itu alasan utama kenapa sekarang blog jadi terbengkalai banget 😭 Memang harus selalu ada yang diprioritaskan dan dikorbankan ya.

Ini nih toko online saya. Monggo mampir yaaa buibuk :)

Belajar berjualan sebenernya gak baru sekarang ya. Dulu udah pernah juga, nyoba-nyoba belajar jualan jilbab dan madu. Tapi mandeg. Karna memang masih setengah hati banget. Kayak gak ada feel-nya gitu.

Setelah merasa gak pengen lanjut jualan jilbab dan madu, saya sempet mikir lumayan lama. Masih pengen jualan lagi, tapi mau mikirin bener-bener mau jualan apa. Yang beneran saya suka terjun di bidang itu.

Lalu suatu ketika, seperti mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa, taraaa... saya kepikiran untuk -- Bismillah -- jualan baju anak. Tepat di awal tahun 2019.

Kenapa akhirnya milih jualan baju anak? Pertimbangan saya ada dua. Pertama, sebagai ibu saya cenderung sayang kalau bebelian buat diri sendiri. Tapi kalo buat anak mah hayuk aja ada barang bagus dikit langsung diangkut. Nah, kemungkinan besar ibu-ibu lain juga gitu kan ya? Bukankah ini potensi market yang potensial sekali? Hehe.

Kedua, anak-anak kan tumbuhnya cepet banget ya. Baju baru dipake berpa kali, eh udah kekecilan. Artinya, mereka akan jauh lebih sering butuh baju baru buat ganti. Bukan seperti kita orang dewasa yang beli baju nunggu moment tertentu.

Kali ini, niat saya juga jauh lebih bulat dibanding saat jualan jilbab. Dulu waktu jualan jilbab dan madu sih full dropship ya. Jadi gak ada stok di rumah. Kalo ada yg pesen, baru deh diambilin. Jadi bisa dibilang tanpa resiko.

Tapi justru karna tanpa resiko itu semangatnya pun jadi makin angot-angotan. Males, yaudah. Gak ada tanggungan.

Nah, kalo kali ini dikit-dikit saya mulai nyetok di rumah. Mulai punya reseller juga. Hehe. Nah, tiap semangat down, pasti gak akan lama karna lihat setumpuk stok yang gimana caranya mau gak mau harus terjual.

Di luar hal-hal teknis di atas, saya juga belajar banyak hal dari aktivitas berjualan dan merintis bisnis ini. Hal-hal yang mungkin udah lama saya tau teorinya, tapi beneran jadi makin 'ngeh' ketika mulai berjualan.

Apa aja tuh? Yuk mari saya ceritain :)

1. Tawakal

 Saya pernah baca tweet dari seorang pengusaha. Katanya, berbisnis itu bisa bikin kita makin dekat sama Allah.

Ternyata iya juga. Bisnis membuat saya semakin merasa butuh bergantung hanya sama Allah. Tawakal. Setelah berbagai usaha dan manuver dilakukan, ya finishingnya tawakal.

Mau promo kayak apa, yang menggerakkan hati orang untuk beli dagangan kita kan ya Allah.

2. Optimis

 Ini yang mahal dan berharga banget yang saya pelajari dari berjualan. Saya orangnya sering banget pesimis. Waktu memutuskan untuk berani nyetok barang di rumah juga ambil keputusannya lamaaaa banget. Karna saya pesimis. Nanti kalo gak laku gimana, dll.

Tapi Bismillah. Katanya, kalo gak yakin bakal laris, ya udah gak usah jualan aja. Harus optimis. Yaudah akhirnya membulatkan tekad dan terus memupuk keyakinan. Harus optimis.

3. No PHP

Pernah gak checkout di Shopee, tapi gak kunjung transfer sampe akhirnya expired?

Atau tanya-tanya ke seller sebuah olshop, terus habis itu gak ngabari lagi jadi mau beli atau gak?

Singkat kata, PHP. Hihi.

Saya pernah. Jujur.

Dan saya baru tau, ternyata yang kayak gitu tuh nyakitin ya. Saya tau setelah merasakan sendiri.

Sejak berjualan, saya jadi berikrar pada diri sendiri untuk gak akan PHP-in orang lagi. Kalo mau beli ya beli. Enggak ya enggak. Bilang yang jelas.

4. Sabar

Saya tu paling gak suka ngadepin orang banyak sebenernya. Karna respon dan sikapnya kan pasti macem-macem banget ya. Huhu.

Tapi kalo berjualan ya mau gak mau harus siap ngadepin berbagai macam karakter. Yang mana butuh sabar. Harus sabar.

Ada yang nanya terus-terusan kapan barang datang. Ada yang kalo mau beli tanyanya detaiiillll banget gak selesai-selesai. Dll. Harus sabar pokoknya.

5. Memudahkan Urusan Orang Lain

Salah satu tantangan utama jadi pedagang online tuh harus siap ditanya-tanya panjang lebar tentang spesifikasi barang. Maklum, karna calon buyer kan gak lihat langsung barangnya, jadi mereka berusaha meyakinkan diri dengan cara tanya selengkap mungkin.

Saya juga dulu gitu. Dan memang gak salah.

Tapi sekarang saya gak mau lagi deh jadi customer yang terlalu riwil. Gak mau nyusahin orang. Berusaha untuk memudahkan urusan orang lain, apalagi kalo sama-sama pedagang. Karna tau rasanya kalo ada customer yang riwil bin ribet tu nyeseknya kayak apa.

Kalau mau dijabarin lengkap sih banyak banget yaa. Tapi sementara 5 dulu deh. Hehe.

Ohya, kalo butuh baju anak, atau mau ikutan jualan baju anak, boleh banget lhooo colek-colek saya, hehe.

Atau silakan mampir ke IG jualan saya: @mafaza.babyshop

Doakan saya istiqomah membangun usaha ini yaaa :)

Tentang Takdir Baik dan Takdir Buruk

on
Kamis, 01 November 2018


Pernah gak kalian mengalami sebuah peristiwa yang bikin kalian mengeluh, sedih atau menyesalkan hal tersebut?

Pasti pernah.

Bahkan mungkin adakalanya kita merasa apes. Lalu bertanya-tanya, kok hari ini takdirku buruk sekali sih?

Lalu selang beberapa hari kemudian, kita terhenyak. Ketika mendapati takdir buruk yang menimpa kita beberapa hari lalu, ternyata berimbas pada sebuah takdir baik di hari itu.

Kemudian barulah kita menyadari kebaikan Allah.

Ya, begitulah seringnya kita. Karna pengetahuan kita amat terbatas, seringkali kita lebih mendahulukan keluh, dibanding prasangka baik, bahwa bersama takdir buruk, akan selalu ada takdir baik yang menyertai.

Dua hari (atau tiga hari) saya kepikiran soal ini. Gara-garanya tentu saja tentang musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT-610. Huhu.

Saya terhenyak ketika melihat sebuah video di IG tentang Pak Sony. Beliau adalah salah satu calon penumpang Lion Air JT-610 yang tertinggal pesawat gara-gara terjebak macet.

Merinding.

Beliau bilang, saat tau pesawat yang tadinya akan ia naiki jatuh, seketika beliau lemas dan menangis. Pertama karna dia tau ada teman-temannya di pesawat itu. Kedua, betapa ia seolah diberi kesempatan hidup kedua.

Allahu akbar. Nulis ini aja saya masih merinding dan kelu.

Jika ditarik mundur, dan jika saya memposisikan diri sebagai Pak Sony, pastilah saya akan jengkel menghadapi kemacetan yang membuat saya tertinggal pesawat. Dan harus pesan tiket pesawat baru tentu saja. Ratusan ribu hilang, gara-gara terjebak macet.

Bisa jadi, saya akan merasa bahwa takdir saya buruk pagi itu karna ketinggalan pesawat dan harus beli tiket pesawat baru. Bisa jadi saya mengeluh. Merutuki nasib.

Lalu kemudian saya mendapati, bahwa bersama takdir buruk terjebak kemacetan itu, ada takdir baik yang mengiringi. Takdir baik yang membuat saya masih punya kesempatan untuk bertemu keluarga dan menyelesaikan segala tugas dunia.

Masyaa Allah.

Dari kisah Pak Sony ini, saya kembali diingatkan. Untuk berkhusnudzon pada setiap keadaan. Bahwa bersama kesulitan, pasti ada kemudahan. Dan bersama takdir buruk, akan selalu ada takdir baik yang mengiringi. Bahkan bisa jadi takdir yang kita sebut buruk itu sebenarnya adalah takdir baik yang belum kita pahami.

Wallahu a'lam bi shawwab.

Turut berduka atas musibah yang menimpa Lion Air JT-610. Semoga Allah sambut mereka (para korban) dengan sebaik-baik penyambutan, dan semoga Allah kuatkan para keluarga yang ditinggalkan.

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Tentang Mubadzir

on
Jumat, 31 Agustus 2018
credit: Pixabay.com

Soal mubadzir, sebenernya tau tentang teorinya sih kayaknya udah sejak masih pakai seragam putih-merah ya. Tapi gimana aplikasinya?

Gak usah deh ngobrolin soal betapa mubadzirnya tas yang lebih dari 3, koleksi jilbab yang hampir tiap bulan pasti nambah, dll. Terlalu berat rasanya untuk mengakui bahwa yang seperti itu juga namanya mubadzir. Hehe.

Jadi yang saat ini mau saya obrolin adalah tentang mubadzir yang paling umum. Yaitu, mubadzir dalam hal makanan.

Jujur saja saat masih tinggal bersama orangtua dulu, saya termasuk orang yang gak pernah sedikitpun merasa bersalah jika harus membuang nasi. Hampir setiap makan saya gak habis, dan simpel -- buang aja. Mungkin salah satu alasannya adalah karna di rumah ada peliharaan ayam. Jadi menurut saya gak masalah buang nasi, kan dalam rangka kasih makan ayam 😂

Tapi sudut pandang saya itu berubah banyak sekali setelah kenal mas suami. Mas suami itu anti banget buang makanan. Bisa jadi itu salah satu sebab badannya yang subur 😆 Soale kalo di rumah, belio seksi menghabiskan 😅

Dulu waktu belum ada apa-apa antara kami, saya sempat dibikin ge er gara-gara ini. Waktu lagi makan bareng pas jam istirahat kantor (kami sekantor, dan makannya gak cuma berdua -- rame-rame sama yang lain), kebetulan saya gak habis makannya. Eeehh, belio dengan gagah berani meminta ijin pada saya untuk menghabiskan sisa makanan saya, padahal saat itu belum ada apa-apa di antara kami 😂 Saat itu belio mengutarakan serentetan penjelasan dan ajakan tentang jangan memubadzirkan makanan.

Jujur aja saya kadang suudzon sama beliau. Ah, bilang aja emang doyan dan pengen makan. Gak usah deh pake alasan mubadzir segala! 😂 *istri durjana*

Tapi pandangan saya berbalik. Ketika suatu hari kami makan berdua (pas udah nikah nih), lalu orang di meja sebelah kami meninggalkan makanannya begitu saja, padahal masih lebih dari separuh porsi.

Melihat itu, mas suami berkaca-kaca. Lalu bergumam, "mereka mungkin gak tau, di luar sana banyaaakkk sekali yang untuk makan nasi aja harus mengais-ngais di tempat sampah dulu"

Huhu, langsung meleleh hati saya 😭 Berasa ditampar banget. Iyaaa yaa, kita tu sering enteeeeng banget buang-buang makanan. Sedangkan di luar sana, banyaaakk sekali yang mau makan aja susah banget.

Yuk teman-teman, kita bareng-bareng berusaha untuk menghindari kemubadziran.

Agar Tak Lagi Berat Untuk Berqurban

on
Selasa, 21 Agustus 2018
sumber: Pixabay.com

Pernah denger gak teman kita bilang, "Tahun ini aku qurban perasaan", diiringi gelak tawa? Padahal dari segi ekonomi, dia bukan dari kalangan yang kekurangan.

Atau jangan-jangan kita sendiri pun pernah seperti itu? Kalau saya, jujur saja pernah.

Dulu ya, saat kesadaran tentang ibadah qurban belum sampai ke hati, mengeluarkan uang segitu untuk beli kambing, kemudian dibagi-bagi kok rasanya gak kebayang banget. Selalu merasa gak mampu ngumpulin uang untuk berqurban.

Lalu kemudian saya bertemu sebuah tulisan, yang sayangnya saya lupa siapa penulisnya dan dimana membacanya.

Maka, ijinkan saya menuliskannya ulang di sini.

Jika kita merasa berat ketika hendak berqurban, maka kita ingat.

Risalah pertama tentang ibadah qurban dimulai dari kisah Nabi Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Allah melalui mimpi untuk menyembelih anaknya, Ismail a.s.

Sedangkan Ismail, merupakan putra tersayang yang sekian lama dimohonkan Nabi Ibrahim pada Allah melalui doa-doa.

Kira-kira, seberapa berat bagi Ibrahim untuk melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail? Tentu beratnya tiada tanding tiada banding.

Maka, jika hari ini kita selalu merasa berat saat hendak berqurban, gak masalah. Karna sejak awal risalah ini turun pun, memang melalui perintah yang sangat berat.

Iya, rasa berat itu wajar. Nabi Ibrahim pun merasakan. Tapi apakah Nabi Ibrahim lantas berhenti, lantak tak menghiraukan perintah Tuhannya? Tidak.

Nabi Ibrahim tetap melaksanakan, setelah diyakinkan oleh putranya sendiri, Ismail.

"Dan Ibrahim berkata: sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu samapi (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku seseungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya (nyatalah kesabaran keduanya) dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, seseungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS Ash-Shafaat: 99-111)
Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/11623-pelajaran-dari-kisah-nabi-ibrahim-menyembelih-ismail.html
Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/11623-pelajaran-dari-kisah-nabi-ibrahim-menyembelih-ismail.html

Apa yang membuat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail berlapang-dada untuk melaksanakan perintah yang sangat berat itu? Tak lain, karna mereka mengharap Ridha Allah.

Maka hari ini, jika kita masih merasa berat untuk berqurban, penawarnya cukup satu. Mari mengharap ridha Allah. Bukankah itu saja sudah lebih dari cukup dibanding dunia seisinya? 😊

Semoga Allah senantiasa melapangkan rizki kita, dan memampukan kita untuk menunaikan setiap perintah-Nya. Aamiin.

Selamat mempersembahkan qurban terbaik teman-teman 😊

Signature

Signature