Kemarin, seorang teman kuliah curhat pada saya lewat instant messanger. Ia mengungkapkan keinginannya untuk bisa bekerja lagi, tapi tak disetujui oleh suaminya. Saya tanya, apa alasan kamu pengen kerja lagi? Ia menjawab bahwa sejak menikah dan resign, ia merasa dunianya terkungkung. Ia bosan, karna seperti ‘terpenjara’ di rumah dan seperti gak pernah melihat dunia luar. Hampir gak pernah ada kata ‘quality time’ baginya dan suami. Sehari-hari hanya bergelut dengan kewajiban satu ke kewajiban yang lain. Bahkan weekend pun suaminya masih harus kerja sampingan. Iri sekali ia melihat teman-teman yang bisa jalan-jalan dengan suami dan anaknya meski hanya ke taman kota, karna momen itu hampir gak pernah ia dapatkan.
Dari nada berceritanya, saya tau teman saya itu sedang sangat kalut. Kejenuhannya mungkin sedang sampai puncaknya. Saya gak banyak komentar atau kasih nasehat kemarin, karna saya merasa yang paling ia butuhkan dari saya adalah telinga yang bersedia mendengarkan ceritanya dengan seksama.
Usai berbalas pesan dengan teman saya tersebut, saya merenung. Saya ingat diri saya sendiri. Weekend lalu, saya ngambek pada mas suami, karna ia berjanji akan menemani saya cari sepatu sekalian mas suami katanya mau cuci mata lihat spesifikasi Oppo F1S, tapi batal karna satu dan lain hal. Saya kecewa berat dan ngambek seharian. Gak tau kenapa minggu lalu sedang jenuh banget di rumah. Bagi saya, setelah lima hari berturut-turut bergelut dengan rutinitas kantor dan rutinitas rumah, pergi keluar rumah meski hanya ke swalayan merupakan salah satu sarana menguapkan kejenuhan.
Ah, pantas saja berbagai meme tentang istri yang merasa butuh piknik, dan istilah ‘kurang piknik’ akhir-akhir ini marak sekali. Konon, perempuan itu jauh lebih banyak menggunakan perasaannya dibanding logikanya. Mungkin itu yang menyebabkan perempuan lebih mudah merasa bad mood atau jenuh. Dan kalau sudah begitu, pasti semua berantakan. Senggol bacok istilahnya. Logika bahwa semua pekerjaan rumah adalah tanggung jawabnya dan kondisi yang memang gak memungkinkan untuk keluar rumah rasanya gak cukup mampu meredam perasaannya yang terlanjur carut marut karna jenuh.
Jadi, kalau ditanya, apakah penting bagi suami untuk mengajak istrinya piknik? Saya pribadi akan menjawab, penting! Penting sekali. Supaya istri tetap waras, karna kewaraasan adalah modal penting bagi istri untuk menjalankan segala kewajibannya, terutama sebagai ibu.
Tapi saya punya definisi sendiri soal piknik. Bagi saya piknik gak harus ke tempat-tempat wisata. Gak harus keluar kota apalagi keluar pulau. Duh, untuk piknik yang semacam itu, jujur saja saya masih lebih sayang sama dompet. Hehe. Piknik bagi saya sedehana. Keluar rumah tiga puluh menit ke swalayan beli sabun mandi dan minyak goreng sambil cuci mata lihat-lihat baju dan sepatu, itu bagi saya sudah piknik. Asal pastikan bisa mengendalikan diri biar gak kalap aja. Bahkan ada seorang teman yang bilang, sekedar ke indomaret beli pampers aja sudah terasa sebagai piknik. Hihi.
Jadi untuk para suami, alangkah baiknya jika bisa lebih peka melihat kondisi batin istrinya. Kalau sekiranya sudah terlihat senewen, jangan segan mengajaknya keluar rumah meski hanya untuk makan es krim. Percayalah, membahagiakan istri itu sebenarnya mudah dan gak bakal ada ruginya. Kalian mengajaknya menikah dulu dengan sebuah janji untuk membahagiakan, kan? Bukan untuk mengurungnya di rumah.