Aku terbaring di ruangan sepi yang seluruh temboknya dicat warna putih. Mataku menatap kosong langit-langit kamar. Hening. Tiga orang yang paling aku kasihi pun seperti terbungkam, hanya tangan mereka yang sesekali tampak menyeka sudut mata.
Ah, sesak sekali rasanya dadaku. Tak sedikitpun pernah terlintas dalam benakku bahwa aku akan menjelma zombie seperti ini. Bukankah dua bulan lalu sakit di lidahku ini tak lebih dari sekedar sariawan biasa? Ya, hanya sariawan – yang semakin hari semakin nyeri.
“Ayolah, Yang… periksa ke dokter yang lebih ahli…”
“Kamu apaan sih… nggak usah parno berlebihan gitu deh! Ini tuh cuma sariawan, Cuma agak parah. Lagian kemarin kan aku juga udah periksa!”
Begitulah. Berkali-kali dia mengingatkan, berkali-kali pula aku membantah. Hingga seminggu lalu aku tak lagi mampu menahan rasa sakit di mulutku, lalu memilih menuruti apa katanya. Dia pula yang susah payah mengatur pertemuanku dengan Dokter Ridwan – dokter spesialis Onkologi paling senior di kotaku.
“Saya curiga ini adalah tumor ganas…”
Kalimat Dokter Ridwan tersebutlah yang menjadi awal kiamat bagi diriku. Kalimat yang seperti menobatkan gelarku sebagai zombie – manusia setengah mayat. Dan di sinilah aku hari ini. terbaring dalam ruangan sepi, dengan baju warna hijau menyerupai daster ibuku, orang-orang berbaju putih bersih, dan berbagai peralatan yang mengerikan sekali di mataku.
“Harus di biopsy – untuk tahu tingkat keganasan tumornya…”
oOo
“Ayolah… lo laki bukan, sih? Ini bakal bantu kamu banget biar mata tetep bisa melek!” Kata Andre, temanku. Malam itu kami sedang mengerjakan laporan praktikum semalam suntuk. Ah, aku tidak pernah membayangkan kuliah di jurusan teknik yang sejak dulu menjadi impian akan seberat ini. Dan entah begaimana aku memulainya, akhirnya benda kecil panjang berwarna putih itu menjelma sahabat karibku. Agar tetap terjaga, begitu dalih pembenaranku ke Ibu dan pacarku yang tak begitu suka pada sahabat baruku tersebut.
Ya, ternyata aku memang tidak salah. Sahabat karibku itu memang ampuh sekali membuat aku selalu terjaga. Bahkan hingga hari ini. Aku terjaga bersama rasa sakit yang entah bagaimana harus mendeskripsikannya. Sakit luar biasa yang tak sedikitpun pernah terlintas di benakku.
“Ya, positif kanker… stadium 3…” ucap Dokter Ridwan lirih.
Aku menangis. Meraung. Meratapi takdirku. Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa bukan teman-temanku yang mempengaruhiku mengakrabi benda laknat itu??!! Ibuku pingsan. Ayahku tersedu. Kekasihku memilih menyembunyikan wajahnya dariku. Oh, Tuhan…
Sejak saat itulah aku ‘resmi’ menjadi zombie. Tak ada lagi wajah ganteng yang kata banyak orang pantas jadi artis. Yang tersisa hanya wajah tirus serupa tengkorak hidup. Tak ada lagi rambut a la Boyband Korea, karna satu persatu helainya mulai rontok – sebagai efek kemoterapi dan radioterapi.
Lalu bagaimana masa depanku? Kuliahku yang tinggal dua semester lagi? Kuliah yang dulu aku jadikan alasan terkuat mengakrabi barang laknat itu. Ah, terlambat. Tak lagi ada guna semua sesal itu. Lihatlah, semua orang memandang dengan raut – entah iba atau takut – melihatku berjalan dengan di papah salah satu temanku serta seorang suster pendamping. Ya, aku memaksa datang untuk melakukan seminar atas tugas akhirku. Aku tidak tahu apa ini masih ada gunanya bagi hidup seorang zombie. Yang pasti, aku ingin membuktikan pada orangtuaku bahwa aku berani bertanggung jawab atas resiko apapun di balik setiap pilihan hidupku – termasuk pilihan untuk pernah menjadikan benda putih itu sebagai teman.
oOo
**Tulisan ini saya tulis sambil terkenang sosok seorang teman yang telah berpulang ke Haribaan Allah hampir setahun lalu: Gandhung Wahyu Irawan. Meski saya tak tahu persis apa sebenarnya penyebab utama atas kanker lidah yang menuntunnya pada ajal. Semoga Allah melapangkan alam kuburnya, serta mengganti tempatnya di dunia dengan tempat yang lebih baik 'di sana'. Aamiin.