Apa Syaratnya??

on
Jumat, 25 Januari 2013

Menetapkan syarat dan kriteria untuk "calon suami", apa terkesan sombong dan tak tahu diri? Mungkin ada yang menganggapnya seperti itu. "duh, siapa elu sampe brani masang syarat? Cantik nggak, pinter nggak, kaya apalagi!!!" gitu kira-kira salah satu bentuk cibirannya.
Terserah apa kata orang. Tapi menurutku, justru hal yang sangat aneh kalau kita bahkan tidak punya batasan dan kriteria tentang seperti apa laki-laki yang bersamanyalah kita akan melewati sisa umur kita. Masa' iya mau asal trima gitu aja?? Yah, tentu saja hasil akhir tetap hak prerogatif Allah. Tapi Allah kan mengijinkan kita punya harapan kan yah?!

Kalau ditanya tentang apa saja syarat yang aku tetapkan untuk seorang laki-laki yang akan mengambil alih tanggung jawab atas diriku, maka salah satu dari tiga syarat dasar itu adalah : berasal dari keluarga yang bersedia menerima dan menghargai aku beserta keluargaku sepenuhnya. Mengapa bukan sekedar "lelaki yg menerima keluargaku", tp "dari keluarga yg mau menerima keluargaku" ??

Dari beberapa bacaan yang sempat aku baca, berkenaan dengan hak dan kewajiban seorang istri, aku tau bahwa: yang wajib dinomorsatukan seorang istri adalah suami, sedang yang dinomorsatukan suami bukan istri melainkan ibunya. Jika seorang perempuan yang telah menikah tidak memiliki tanggung jawab atas keluarganya, bahkan taat pada orang tua pun ada di posisi setelah ketaatan pada suami, maka tidak begitu halnya bagi seorang laki-laki. Meskipun sudah menikah, seorang laki-laki tetap memiliki kewajiban penuh untuk taat pada ibunya, dan bertanggung jawab pada keluarganya. Dan satu lagi.. Seorang istri punya kewajiban untuk membantu/mendukung suaminya memenuhi kewajiban tersebut.

Nah, maka dari itu aku jadi berpikir.. Kalo aku punya suami yang buaaikk, tapi keluarganya memandang sebelah mata keluargaku, pastilah aku akan sakit hati dan tidak sanggup menyayangi sepenuh hati keluarga suamiku tersebut. Lalu bagaimana aku bisa membantu serta mendukung suamiku untuk taat dan berbuat baik pada keluarganya, jika dihatiku tersimpan sakit hati seperti itu. Ah, aku kok takut justru akan menjadi istri yang mendorong suami menjauh dari keluarganya. Bukankah kasus seperti itu sudah menjadi ratusan fakta di hadapan kita??!!

'jaga dia untukku Robb...'

Jepara, 25 Januari 2013

.: Januariku :.

on
Selasa, 22 Januari 2013


Lima tahun lalu ada mereka di januariku…


Mereka yang pernah teramat baiknya padaku. Mereka yang pernah mewarnai januariku hingga menjadi salah satu januari terindahku. Mereka, yang kemudian juga membuatku pernah merasakan kesedihan mendalam dan merananya hati karna sebuah perpisahan.


Lalu ada mereka di januariku tahun lalu.
Mereka yang mengenalkanku pada keindahan persaudaraan karena Allah. Bersama mereka-lah aku menemukan kesadaran tentang kewajiban menuup aurat. Bersama mereka-lah aku pernah di ajak menengok keindahan surga melalui lingkaran cahaya yang amat aku rindukan. Dan bersama mereka pula aku meraup banyak sekali pelajaran tentang kewajiban sebagai hamba.

Dan beginilah hidup. Tak akan pernah ada yang abadi. Akan selalu ada yang datang dan yang pergi. Yang pergi seharusnya tak untuk ditangisi. Meski kesedihan adalah sebuah kewajaran atas sebuah konsekuensi untuk sebuah kebersamaan yang terekam sekian lama. Dan yang datang, meski di awal akan selalu terlihat tak sebaik yang telah pergi, pastilah akan tetap memberi sapuan warna yang akan menjadikan kanvas umurku menjadi semakin sempurna. 


Hari ini… di januariku tahun ini, ada mereka di hidupku. Mereka yang membawa warna jauh berbeda, meski masih cukup sering aku tidak adil dengan membandingkan mereka dengan yang telah tak ada lagi.  Tapi Allah selalu punya maksud untuk tiap orang yang dihadirkan di hidupku, aku percaya itu. Dan semoga aku selalu mampu menangkap tiap maksud itu dengan baik.

Lalu bagaimana januariku selanjutnya? Bersama siapa akan kulalui januari-januariku berikutnya? Atau tak lagi ada januari untukku? Aku tak mau berpanjang angan. Menyusun harapan, pastilah aku lakukan. Tapi biarlah kali ini cukup antara aku dan Allah saja.

** Januari…
Yang pergi meninggalkan kenangan, yang daang membawa harapan…

Rosa,
22 Januari 2013

Dulu bagaimana? (Sebuah Ironi)

on
Jumat, 11 Januari 2013


 gb. dari google



Dulu, awal saya hidup di Semarang, saya cukup dibuat takjub oleh fakta yang tergelar di hadapan saya. Apa itu? Adalah saat saya mendengar pengakuan dari beberapa teman baru yang mengaku “belum” terbiasa menjalankan sholat lima waktu dan “belum” bisa membaca Al-Qur’an.

“Belum” diumur yang ke sekian sedang dia adalah seorang muslim sejak lahir? Jujur sangat aneh di benak saya saat itu. Bukan, bukan karna saya merasa sudah sangat baik menjaga sholat lima waktu serta sangat baik bacaan Al-Qur’an saya. Sungguh bukan itu. Sampai sekarang pun saya masih teramat sering lalai menjaga sholat agar selalu di awal waktu. Di lingkungan keluarga besar saya, saya juga termasuk paling payah bacaan Al-Qur’annya.

Mungkin satu alasan kenapa saya menjadi sedemikian heran waktu itu. Saya selama ini amat kuper. Saya lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga, yang meski bukan keluarga ‘alim, tapi masih cukup baik menjaga nilai-nilai pokok keislaman. Teman-teman sepermainan saya sejak SD hingga SMA pun cenderung lingkungan homogen. Dan, Segala puji hanya bagi Allah yang telah menempatkan saya di lingkungan sebaik itu.

Seiring berjalannya waktu, timbul pertanyaan baru di benak saya, masih berkaitan itu. Dimana peran orang tua mereka? Tidakkah mereka mengingatkan dan membiasakan anaknya sejak kecil? Ah, mungkin saya terlalu picik memandang persoalan ini. Saya hanya menggunakan keluarga saya sebagai tolok ukur. Bapak Ibu saya mulai keras dan disiplin membiasakan saya sholat lima waktu saya kelas 3 SD. Apa serta merta saya senang hati menjalankannya? Tentu saja tidak. Bagi anak seumuran itu, sholat lima waktu adalah perkara berat dan penuh keterpaksaan. Tapi orang tua saya tidak peduli.

Dalam proses pembiasaan itu, pernah beberapa kali saya ‘bandel’ melewatkan sholat. Ada 2 sholat yang saat itu paling ‘hobi’ saya tinggalkan, yaitu isya’ dan subuh. Dan saat hal itu saya lakukan, maka keesokan paginya Bapak dan Ibu akan menjadikan hal itu sebagai tema ceramah sepanjang hari. Belum lagi 2 kakak saya, yang juga menjadikan hal itu sebagai bahan olok-olok bagi saya. “Hii… nggak shoal isya’ hiii... mau jadi apa?!!!”. Dan cara itu saya rasa cukup efektif untuk menimbulkan efek jera bagi saya saat itu. Saya mulai merasa malu. Mungkin lebih tepatnya malas dijadikan “korban pembantaian” gara-gara hal itu. Hihi

Satu momen berkaitan dengan penanaman kebiasaan sholat dalam perjalanan hidup saya yang kemudian paling saya ingat sampai hari ini adalah ketika saya SMP. Saya lupa berapa umur saya saat itu. Yang jelas saya sudah baligh *sudah dapat mensruasi*. Pernah sekali waktu setelah kecapekan ikut kegiaan extra, saya ketiduran dan meloloskan sholat isya’. Dan saat itulah sebuah kalimat dari kakak perempuan saya meluncur, dan terekam dengan baik hingga hari ini. “Kamu itu, masih ada ditengah keluarga ang selalu ngingetin aja kaa’ gitu, terus gimana nanti kalo kuliah, trus hidup jauh dari keluarga, nggak ada lagi ang ngingetin… mau berapa kali waktu sholat ang kamu tinggalin?”. Dan saya sangat ingat, saat itu juga hati saya berikrar, bahwa sekuat tenaga, saya akan selalu menjaga sholat saya, dimanapun kaki saya menapak. Tekad, yang semoga selalu tertanam dengan baik selama nafas masih berhembus dari raga saya.

Dari pengalaman pribadi tersebut, saya kemudian sadar, bahwa bukan sepenuhya salah teman-teman saya jika mereka lalu masih kepayahan menjaga sholat lima waktu di usia yang sudah baligh. Orang tua dan keluarga tentu punya peran teramat besar disini. Wajarlah kalau kemudian Rasulullah mengingatkan kita untuk mencari pasangan yang kelak akan menjadi partner untuk mendidik anak-anak kita kelak, berdasarkan agamanya, bukan tampan atau kayanya. Meski juga tak seharusnya teman-teman saya itu lantas dengan enteng menyalahkan orang tua mereka sebagai dalih. Bukankah kita sudah cukup dewasa untuk tau apa kewajiban kita sebagai hamba?

Ah, kini saya hanya ingin berdoa, semoga Allah senantiasa menjaga saya, keluarga serta teman-teman saya selalu dalam iman dan Islam sampai akhir hayat, dan memberi kemampuan pada kami untuk selalu berjalan mendekat pada-Nya. Aamiin…


Rosa,
11 Januari 2013

Ingin Menikah???

on
Kamis, 03 Januari 2013


gb. diambil dr google

Suatu pagi, beberapa hari yang lalu, sesaat sebelum saya berangkat kerja. Saya heboh berlari kesana kemari mencari kaos kaki favorit saya. Kenapa favorit, karna kaos kaki itu paling nyaman di pake’.

“Bu, kaos kakiku yang #@8*!3 *menyebut merek!* mana ya???”

“Kemarin kan udah ibu suruh nyimpeni sama kamu setelah di lipetin? Langsung di simpen nggak kemarin?”

Aku mringis. Lagi-lagi ‘lupa’ memenuhi perintah ibu. Dan setelah semakin kalang kabut, ternyata kaos kaki itu nyasar ke almari keponakan saya. Siapa lagi kalau bukan mbah saya pelakunya :D

Pagi selanjutnya, beberapa hari setelah pagi itu, saya kembali dibuat kalang kabut. Kali ini bukan kaos kaki, tapi ciput jilbab saya. Aaarrrgghhh… padahal saya sudah cukup kesiangan hari itu.

“Ibuuuuu….. lihat ciput jilbab saya nggak???” seruku, dengan wajah setengah putus asa setelah mengaduk-aduk almari.

Ibu hanya menghela nafas. Sepertinya helaan hasil kombinasi antara mencoba sabar dan gregetan pada saya. Hihihi…

Singkat kata, beliau akhirnya turun tangan membantu saya mencari ciput tersebut. Dan, Ahaaa!!! Ibu memang selalu bisa di andalkan. Ciput itu berhasil ditemukan ibu tengah bertengger manis di ember tempat baju-baju yang belum di settrika.

Yah, begitulah 2 dari sekian banyak kehebohan saya yang semakin menunjukkan masih amat payahnya kemampuan saya mengurus hidup saya sendiri. tiba-tiba saya jadi merenung. Sejak semester akhir kuliah, saya dan hampir semua teman saya sering sekali heboh membicarakan keinginan menikah. Ah, wajar mungkin sih ya untuk gadis-gadis seumuran kami.

tapi saya jadi nanya ke diri saya sendiri, apa iya keinginan menikah muda saya berbanding lurus dengan usaha saya untuk mempersiapkan diri menghadapi pernikahan itu sendiri? Ah, dengan segala kerendahan hati saya mengakui, tidak!

Saya lebih sering sibuk meramu doa tentang seperti apa sosok imam saya kelak, tanpa membersamainya dengan usaha yang seimbang untuk belajar menjadi calon makmum yang pantas untuk imam seperti itu. Saya lebih sering berangan-angan tentang kebaya warna apa yang saya pakai nanti, model jilbab seperti apa, dekorasi yang mana, susunan acara semenarik apa untuk hari akad nikah saya, dll, tanpa menyeimbangkannya dengan persiapan menghadapi ribuan hari selanjutnya yang konon akan penuh dengan terpaan badai cobaan.

Ah, bodohnya saya! Mungkin sama sekali tidak ada yang salah dengan keinginan menikah muda saya. Ribuan pahala dihamparkan Allah untuk mereka yang telah bergelar istri. tapi tentu saja unuk istri yang benar-benar mampu memikul segala amanahnya dengan baik. Lalu bagaimana dengan saya??? Ah, sekedar mengurus kaos kaki dan ciput jilbab saya sendiri saja saya masih sangan belepotan, apalagi mengurus  ‘anak orang’??? *sungguh saya sangat sedih menuliskan kalimat tersebut* :’(

Yang paling penting, saya sekarang jadi lebih mengerti… Allah tidak memberi apa ang kita pinta, tapi Allah selalu memberi apa yang kita butuhkan dan yang sesuai dengan kadar kemampuan kita menerima hal tersebut. So, kalau Allah masih ‘menunda sementara’ doa-doa saya tentang pernikahan, pastilah semata karna Allah tau bahwa kualitas saya belum sampai pada tahap pantas untuk menerimanya.

Jadi apa yang harus saya lakukan sekarang??? Memantaskan diri-lah.. apalagi???!!!! 




Rosa,
28 Desember 212

Signature

Signature