Cerita Idul Adha

on
Senin, 12 Agustus 2019
Idul Adha ini saya lewati di kampung halaman, setelah dua kali idul adha saya lewati di kota kelahiran suami. Seneng banget. Pertama karena, ya pokoknya seneng aja kalo pas di rumah. Bisa melepas kangen sama keluarga tercinta.

Seneng keduanya, karena melihat kesadaran untuk ber-qurban di desa saya ternyata sudah sangat bagus. Jauh banget jika dibanding dengan 4 tahunan lalu ke belakang.




Saya takjub sih, jujur aja. Masyaa Allah. Dulu tuh di desa saya yang qurban bisa dihitung pake jari sebelah tangan, itupun gak semua terpakai. Seringnya disembelih sendiri oleh yang berqurban. Jadi masjid tu habis sholat idul adha, yaudah sepi kayak gak ada apa-apa. Jangan tanya ada panitia qurban gak. Ya jelas gak ada dong.

Nah, 3 tahun belakangan ini, masjid mulai ada panitia qurban bersama gitu. Gabungan dari beberapa masjid dan beberapa RT sih kalo gak salah. Dan jumlahnya pun gak tanggung-tanggung. Tahun ini, hewan qurbannya terdiri dari 1 ekor sapi, dan 28 ekor kambing. WOW!

Apa karna tingkat perekonomian di desa saya meningkat pesat? Emm, kalo secara kasat mata sih kayaknya enggak ya. Masih gitu-gitu aja kok kayaknya.

Menurut saya sih lebih ke kesadarannya yang sudah mulai tumbuh. Kesadaran bahwa qurban itu ibadah yang sangat dianjurkan jika kita mampu. Jadi kalo harga kambing 3 juta, terus kita punya tabungan 3,5 juta, itu ya artinya mampu. Jadi enggak harus nunggu kita kaya berlimpah-ruah dulu, baru qurban.

Dulu, ada 1 orang yang semua orang di desa kami tau beliau lebih dari mampu juga seingat saya enggak qurban. Balik lagi, karna dulu kesadarannya belum ada. Makanya, Masyaa Allah, seneng banget lihat kesadaran masyarakat desa saya udah bagus banget untuk berqurban.

Nah, kalo itu cerita idul adha dari desa tercinta saya. Lalu gimana cerita idul adha di tempat tinggal saya saat ini?

Antara senang dan sedih sih. Senangnya karna sejak pertama kali datang, kesadaran untuk berqurbannya memang sudah bagus. Mungkin dari latar belakang pendidikan juga emang jauh lebih bagus sih ya.

Cumaaa, sedihnya, banyaknya hewan qurban di lingkungan kami, bisa dibilang gak terdistribusi secara merata. Distribusinya ya ke lingkungan-lingkungan situ aja. Tempat tinggal saya biasanya dapat pembagian dari dua masjid -- yang memang dua-duanya dekat dengan rumah, dan dua-duanya hewan qurbannya banyak.

Apa akibatnya? Ada penumpukan hewan qurban di rumah-rumah tertentu. Banyak yang sampe freezer kulkasnya aja gak muat buat nampung semua daging yang didapat. Padahal kalo mau dilihat lebih luas, masih banyaaaakkk banget daerah yang belum tersentuh hewan qurban.

Daerah-daerah macam desa saya beberapa tahun lalu. Yang entah karna kesadarannya belum bagus, atau karna kemampuan ekonominya yang di bawah rata-rata hingga gak mampu berqurban. Beneran, masih banyak bangettt daerah yang kayak gitu. Hiks.

Dua tahun ini, saya dan mas suami memutuskan untuk berqurban melalui Lembaga Amil Zakat yang memfasilitasi orang-orang yang ingin berqurban. Kami pasrahkan kepada mereka untuk didistribusikan ke daerah yang minim hewan qurban.

Dan tau gak, tahun lalu, hewan qurban kami menjadi satu-satunya hewan qurban di sebuah desa. Padahal hewan qurban kami keciiilll 😢 Sediiihh, entah cukup dibagi ke berapa orang doang. Semoga kita dimampukan untuk qurban dengan hewab qurban yang jauh lebih baik di tahun-tahun berikutnya. Aamiin.

Pesan moralnya buat saya pribadi, kalaupun kita tinggal di daerah yang hewan qurbannya berkelimpahan, alangkah jauh lebih baik kita ambil secukupnya, lalu berikan selebihnya ke yang jauh lebih membutuhkan. Ke orang-orang yang sekiranya bukan idul adha, rasanya kesulitan saat ingin makan daging.

Bukankah hikmah idul adha adalah agar kita menyembelih nafsu kepemilikan kita terhadap hal-hal duniawi? Apa kabar hikmah itu, jika kita justru menampung sebanyak mungkin daging saat idul adha tiba?

Sekian cerita idul adha saya. Wallahu a'lam bishawwab.

Kalau daerah kalian termasuk yang mana? Yang minim hewan qurban, atau malah yang hewan qurbannya numpuk-numpuk?

Signature

Signature