Utang, Demi Kebutuhan atau Keinginan?

on
Selasa, 05 Januari 2021

 Hidup tanpa utang. Siapa yang nggak mau? Saya rasa hampir tidak ada satu pun manusia yang ingin memiliki utang. Tapi apa daya jika kondisi menempatkan kita pada posisi yang akhirnya mengharuskan kita untuk memiliki utang? Ya sudah, gimana lagi. Selama utang demi kebutuhan, dan bukan demi keinginan, menurut saya masih bisa dimaklumi.


Saya mengenal utang sebagai metode bertahan hidup yang termasuk paling awal saya ketahui. Sejak kecil. Saat saya mengangsurkan kartu SPP sekolah pada Ibu, kemudia ibu dengan mata menerawangnya menerima. Tidak lama kemudian, biasanya ibu pamit pergi sebentar. Beberapa kali saya curi dengar obrolannya dengan Bapak, ibu harus mencari orang yang bersedia memberikan utang. Demi membayar biaya sekolah 3 anak.

 

Credit: Pixabay

 

Berulang-kali Bapak-Ibu bercerita, bahwa dulu saat kami masih sekolah, gali lubang-tutup lubang, pinjam uang-bayar utanng -- memang siklus yang terus berlangsung. Siklus yang akhirnya bisa diputus, ketika kami anak-anaknya sudah lulus dan kemudian bekerja. Bapak-Ibu bilang, mereka hanya ingin anak-anaknya sekolah dengan baik. Sesuatu yang semoga bisa mengantarkan kami pada  takdir yang jauh lebih baik dibanding apa yang orangtua kami jalani sebelumnya.


Jika kondisinya seperti itu, apakah kita bisa bilang bahwa utang harus tetap dihindari? Lalu lebih memilih anak-anak nggak bisa bayar sekolah?

 

Kembali lagi, utang jika memang demi kebutuhan yang tidak dapat dielakkan, menurut saya tidak apa-apa. Kalau mau utang demi keinginan, pertanyaannya, mau sampai kapan? Mau sampai kapan semua keinginan dituruti sampai harus berutang, sedangkan kita tau keinginan kita itu tidak ada habisnya.


Yang tetap harus diperhatikan meskipun berutang demi kebutuhan, adalah jangan lupa untuk melakukan pertimbangan matang. Pertimbangan seperti apa? Yang paling sederhana sih dengan melihat, berapa persentase utang kita yang masih berjalan jika dibandingkan dengan penghasilan yang kita terima. Persentase idealnya, jumlah utang kita nggak boleh lebih dari 30% dari penghasilan kita.

 

Baca juga: Persentase Pengeluaran Bulanan Ideal


Masalahnya, soal utang juga sekarang bukan hal yang sederhana. Dulu jaman Bapak-Ibu masih rutin berutang untuk membayar SPP bulanan saya, mereka bisa hanya modal 'omongan', alias meminjam ke saudara atau tetangga. Sekarang? Sepertinya sulit. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Semua orang punya beban hidupnya masing-masing. Pinjam ke bank? Lebih nggak mungkin lagi, karena prosesnya yang cukup panjang dan syaratnya yang cukup banyak.


Sebagai solusi bagi yang memang benar-benar butuh pertolongan keuangan, Tunaiku mungkin bisa menjadi jawabannya. Tunaiku adalah sebuah situs pinjaman online yang telah yang telah beroperasi sejak tahun 2014, dan berdiri di bawah PT. Bank Amar Indonesia, Tbk. Selain itu, Tunaiku juga telah diawasi oleh OJK, sehingga bisa dipastikan Tunaiku merupakan lembaga resmi dan aman.


Proses pengajuan pinjaman melalui Tunaiku hanya butuh waktu yang sangat singkat. Yaitu hanya dengan mengisi form pengajuan pinjaman melalui website. Apa agunan yang dibutuhkan? Kabar baiknya, Tunaiku bisa meminjamkan uang tanpa agunan. Sudah mirip pinjam ke tetangga sendiri ya. Hehe.


Nanti gimana bayar utangnya? Pembayaran utang bisa dilakukan dengan cara transfer melalui ATM maupun M-Banking, atau bahkan bisa dibayar melalui Indomaret atau Alfamart. Wow, kurang mudah apalagi ya?


Tapi sekali lagi mohon diingat, berutanglah jika memang kondisi benar-benar mengharuskan. Bukan karena keinginan. Kemudahan berutang yang diberikan Tunaiku, bisa jadi membuat kita jadi terlena jika tidak diikuti dengan kesadaran finansial dan pengendalian diri yang kuat.


Ingat, jika ingin berutang demi keinginan, mau sampai kapan kita terus menuruti keinginan kita?



Signature

Signature