Doa Nggak Sengaja Yang Jadi Nyata

on
Rabu, 29 Oktober 2014
Nggak lebh dari seminggu lagi, Insya Allah saya akan mengarungi bahtera hidup baru :')

Bukan, bukan... ini bukan tentang pernikahan. Bahtera hidup nggak hanya pernikahan, kan? Hehe...

Saya tiba-tiba inget kutipan di salah satu blogpost Mba Ila ini:

"Radar Allah sangat sensitif. Dia merekam semua doa, baik doa yang dipanjatkan dalam rangkaian kata, gumaman dalam hati, atau hanya bersitan keinginan. Semua bentuk doa itu akan masuk daftar antrean untuk proses pengabulan. Allah akan menentukan kapan waktu yang tepat sebuah doa akan dicairkan. Bisa kontan, minggu depan, dua puluh tahun mendatang, atau di akhirat kelak. Tapi intinya semua doa dikabulkan (syarat dan ketentuan berlaku) karena Allah tak pernah mengingkari janjinya, ud'uni astajib lakum, "berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya untukmu." (Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu yang ditulis Irfan Amalee, hal. 51-52)
Ah, saya percaya tentang itu. Percaya sekali. Semua doa dikabulkan, meski bentuk pengabulannya nggak selalu kontan persis seperti bunyi doa kita. Tapi kita harusnya bersyukur tentang itu, kan? Betapa sering kita 'salah' berdoa? Seperti cerita saya yang ini :)

Saya ingat, dulu... sekitar 3 tahun lalu, saat saya masih berstatus mahasiswa, saya pernah membatin, "Suatu saat saya ingin kembali ke sini, jadi bagian dari mereka" -- saat melihat mbak-mbak karyawan. Jangan tanya kenapa. Saya membatin begitu saja. Mungkin karna hati saya terlanjur tertambat pada tempat itu.

3 tahun berselang, dan Allah membuat doa 'nggak sengaja' saya itu menjadi nyata. Subhanallah walhamdulillah :)

Saat pertama kali diterima kerja di tempat yang sekarang, saya juga membatin, 'Saya hanya akan dua tahun di sini'. Dan apa yang terjadi? Tepat dua tahun saya di sini, saya dinyatakan diterima di tempat lain. Benar-benar tepat. 1 Oktober 2012-1 Oktober 2014 :))))

Yah, walaupun saya tahu, ada harga yang harus dibayar untuk sesuatu yang kita inginkan. Begitu juga dengan keputusan saya ini. Memutuskan untuk ke tempat itu, berarti juga memutuskan untuk 'jauh' dari Ibu - alias jadi anak kost lagi. Dan itu harga yang cukup mahal buat saya. Memutuskan untuk pergi, berarti harus siap dengan konsekuensi pertemuan dengan ponakan (khusunya Kak Andien, dan nanti ketambahan adeknya yang bentar lagi lahir) akan semakin sulit. Mungkin saya akan pulang tiap sabtu dan minggu. Sedangkan sabtu-minggu adalah jadwal kunjungan Andien menginap di rumah neneknya :(.

Saya tau, tau sekali, bahwa memutuskan tetap di sini adalah sama dengan memutuskan untuk tetap di zona nyaman. Tapi saya juga tau, saya akan sulit sekali berkembang, dan jadi Rosa yang gini-gini aja kalo terus-terusan memutuskan tetap di zona nyaman ini.

Saya tau di tempat baru nanti, selain mendapatkan ilmu, baru, teman baru, lingkungan baru yang Insya Allah jauh lebih baik, juga telah turut menunggu masalah-masalah baru, konflik baru, dan tantangan-tantangan baru. Inilah hidup. Segala sesuatunya berdampingan, seiring sejalan :)

Maka, saya  harus memutuskan. Keputusan yang semoga saya ambil dengan bimbingan dari Allah di dalamnya . Saya harus pergi :')


PS: saya jadi semakin yakin, bahwa Allah sesuai persangkaan hamba-Nya. bahkan sekedar membatin pun nggak luput dari radar-Nya. So, mulai sekarang harus sangat-sangat hati-hati ngomong, baik yg dilisankan, maupun cuma yang di dalam hati :)

Belajar Dari Kegagalan

on
Senin, 27 Oktober 2014
Weekend kemmarin, seperti biasa saya menyalurkan hasrat belajar masak. Kali ini yang saya praktekkan adalah Martabak manis teflon alias kue bandung alias kue terang bulan.

Prosesnya cukup menguji kesabaran... lamaaaa dan gak bisa ditinggal-tinggal karna takut lupa trus gosong :D

Dan setelah proses berakhir.... taraaaa... saya harus menelan pil pahit berupa kegagalan #halah.

Iya, gagal. kuenya bantet :(( Rasanya mah sebenernya udah lumayan, tapi kalo bantet ya tetep aja aneh di lidah. Tapi herannya, tetep habis dalam waktu singkat loh :D

Yah, begitulah. Belajar masak itu buat saya nggak sekedar belajar bikin makanan sendiri pake tangan kita. Belajar memasak itu juga belajar tentang menghargai proses. Yap, hasil akhir itu amat sangat dipengaruhi proses. Sebagus apapun material yang kamu pakai, kalau kamu nggak mematuhi aturan main dan prosesnya dengan bener tetep aja kemungkinan besar bakalan gagal. Hehe

Selain belajar menghargai proses, memasak juga belajar menerima kegagalan dengan lapang dada, dan belajar dari kegagalan tersebut (seperti yang saya alamai kemarin :( ). Saya sudah berusaha secermat mungkin memperhatikan proses kemarin. Tapi ternyata tetep gagal. Setelah saya mampu berlapang dada menerima kegagalan tersebut, saya merenung. Apa sih yang sebenernya bikin gagal?

Sejauh ini yang saya lihat, kemungkinan faktor gagalnya adalah kekentalan adonan yang salah, alias saya salah menakar susunya. Emm, dan dari situ saya tarik lagi menjadi pelajaran yang jauh lebih spesifik: saya nggak boleh males lagi beli peralatan-peralatan pendukung seperti gelas takar, timbangan, dll. Hahaaa

Oke, saya menguatkan hati untuk berani 'memamerkan' foto martabak manis gagal saya :D berikut gambarnya:





Huhu, tutup muka pake serbet :(( Jangan diketawain yaaaaa.... Haha

Tapiii... saya berjanji nggak akan menyerah.

Martabak manis, suatu hari saya yakin akan bisa menaklukkanmu!!! *angkat bambu runcing*



Tentang Latar Belakang Sosial dan Apa Yang Menentukan Masa Depan

on
Kamis, 23 Oktober 2014
pinjem dr sini

Kemarin malam kebetulan saya bertemu dengan seorang tetangga beda RT di sebuah toko kelontong nggak jauh dari rumah. Beliau seorang pensiunan guru, suaminya dulu kepala sekolah di SD saya (yang sekarang juga udah pensiun). Saya terenyuh ketika melihat -- sebut saya namanya Bu Mila -- malam-malam berbelanja kebutuhan-kebutuhan rumah tangga sendirian, padahal jumlahnya cukup banyak. Saya lebih terenyuh ketika melihat beliau ternyata jalan kaki, dan selain belanjaan di plastik yang tadi sebelumnya saya lihat, beliau juga membeli 2 buah gas elpiji 3 kg.

2 buah gas elpiji, di bawa sendiri, masih plus belanjaan di plastik besar, jalan kaki, sendirian.

Mungkin pemandangan tersebut nggak akan bikin saya se-sentimentil ini, dan akhirnya bikin saya pengen nulis ini, kalo bukan Bu Mila pemerannya.

Keluarga Bu Mila adalah salah satu keluarga dengan status sosial yang cukup tinggi di desa saya. Ah, tinggi sekali malah. Suami-istri guru PNS, suaminya kepala sekolah pula -- di tengah masyarakat yang mayoritas hanya pekerja kelas menengah- ke bawah itu sudah bisa digolongkan tinggi, kan?! Anak-anaknya (beliau memiliki 3 anak) tentu saja anak-anak dengan fasilitas paling memadai di antara teman-teman sepermainannya.

Hari ini, saat Bu Mila dan suaminya telah memasuki usia pensiun, bukankah seharusnya beliau dalam keadaan amat tentram dikelilingi anak-cucunya, menikmati masa tua tanpa harus 'kerepotan' lagi mengurus hal-hal semacam belanja malam-malam itu? Ke mana anak-anaknya hingga Bu Mila masih harus mengurusnya sendirian?

Enggak. Saya nggak hendak bilang anak-anak Bu Mila adalah anak-anak durhaka yang nggak peduli sama orang tua. Karna sedikit-banyak saya tahu mereka bukan anak seperti itu. Yang saya tahu, anak-anak Bu Mila sedang 'kerepotan' sendiri menguruss hidupnya. Mereka tengah bergumul dalam kerasnya arus kehidupan. Dan yang saya tahu, Bu Mila masih harus 'turun tangan' membantu 'mengurusi' hidup anak-anaknya.

Ya, anak Bu Mila nggak satu pun mencecap bangku perguruan tinggi. Ah, padahal kalau bicara kemampuan finansial, jelas saja Bu Mila dan suaminya jauuuuhhh lebih mampu dibanding Bapak saya. Anak Bu Mila yang kedua sepantaran dengan kakak saya yang pertama, dan anak ketiganya sepantaran dengan kakak saya yang kedua. Dan mereka kebetulan teman akrab semasa sekolah. Jika melihat keadaan anak-anak Bu Mila dengan 2 kakak saya hari ini, mungkin istilah 'roda itu berputar' adalah yang paling tepat untuk menggambarkannya :)

Saya bukan hendak menyombongkan kakak-kakak saya. Saya hanya sedang mencoba menggali pelajaran, dan membaginya pada kalian, bahwa 'siapa orangtuamu' itu nggak penting untuk menentukan 'siapa kamu' di masa depan.

Saya memang harus belajar tentang ini. Dulu, saya pernah 'menyesal', kenapa ibu saya bukan guru -- yang bisa membantu saya mengerjakan PR-PR sekolah. Saya pernah menyesal, kenapa bapak saya bukan pegawai yang bisa memberi saya uang saku lebih dan membeli apa yang saya suka.

Ibu saya hanya ibu rumah tangga 'biasa', yang pernah membuat saya marah dan menangis gara-gara mendapat nilai 4 untuk PR matematika yang beliau bantu kerjakan. Tapi ibu saya adalah orang yang seperti tak pernah lelah memberikan sesempurna-sempurna kasih. Meski kasihnya seringkali ia tunjukkan dengan nggak selalu menuruti apa yang kami mau. Iya, saya baru benar-benar tahu itu salah satu bentuk kasih demi membentuk pribadi kami.

Bapak saya hanya buruh rendahan, yang hampir selalu membuat saya dan kakak-kakak saya menahan keinginan untuk membeli apa yang kami inginkan karna beliau tak punya uang untuk itu. Yang bentakan kerasnya seringkali membuat kami 'marah'. Tapi bapak saya, adalah orang yang nggak pernah peduli siang dan malam demi memastikan biaya sekolah kami tetap terbayar. Bapak saya, buruh rendahan yang berhasil membuat 3 anaknya mencecap bangku perguruan tinggi, dan mengantar kami pada nasib yang lebih baik dari yang pernah beliau punya. Insya Allah...

Kini saya semakin tahu, latar belakang sosial nggak pernah menjadi teramat penting untuk menentukan siapa kita di masa depan. Kita nggak pernah bisa memilih di keluarga seperti apa kita dilahirkan, tapi kita selalu punya kepal tangan yang bisa memperbaiki segala keadaan. Jangan pernah lengah dengan apa yang kita punya hari ini, karna bukan nggak mungkin itu hanya akan memperdayamu dan membuatmu lengah akan hari-hari selanjutnya :)

Bukti Cinta

on
Rabu, 22 Oktober 2014
Siang itu saya duduk manis di teras Masjid kampus Unissula, menunggu seorang teman. Sembari menikmati suasana yang amat saya rindukan -- karna sudah cukup lama tak menginjakkan kaki di almamater tercinta.

Siang itu - panas sekali. Panasnya berkali-kali lipat dari biasanya saya rasa. Panas musim kemarau, di kota yang bahkan musim hujannya pun tak pernah membuat menggigil.

Saat belum juga teman yang saya tunggu datang, mata saya menangkap sebuah pemandangan. Pemandangan yang membuat saya tercenung. Hati bergetar.

Pemandangan apa?

Dua sosok wanita dengan pakaian serba hitam, bahan tebal dan jilbab super panjang melintas di hadapan.

Apa yang kalian pikirkan tentang pemandangan itu?

Islam garis keras?

Ekstrim?

ambil dr tumblr

Diatas semua itu... diluar pengetahuan tentang madzhab yang menjadi dasar, dan perbedaan pemahaman... saya sungguh kagum. Hati saya sungguh malu.

Di cuaca sepanas itu, di kota segarang Semarang... mereka tetap sebegitu teguhnya mempertahankan sesuatu yang mereka yakini sebagai bentuk kepatuhan pada Tuhannya. Mengabaikan segala kondisi yang kemungkinan membuat nafsu manusiawi mereka tersiksa.

Alasan apa yang telah begitu kokoh membuat mereka bertahan kalau bukan alasan Maha Dahsyat?

Demi penilaian manusia? Bukankah jauh lebih sering yang memandang negatif hanya karna apa yang mereka pakai?

Saya rasa itu semua tak lain adalah bukti nyata atas pengakuan cinta mereka pada Tuhannya. Wallahu a'lam. Saya tahu tentang niat sepenuhnya hanya urusan Allah. Ini tak lain sekedar asumsi pribadi saya -- yang tentu saja sangat mungkin salah.

Kita? Seringkali lebih sibuk menilai dari sisi negatif, tapi kadang lupa bertanya pada hati sendiri, "Bukti cinta apa yang telah saya persembahkan untuk Tuhan saya?"

Ah, saya malu :(

Saya jadi ingat perbincangan dua orang teman, beberapa tahun lalu.

Ay: Kamu jilbabnya tebal gitu nggak panas, ya?

As: *senyum* -- Kan neraka lebih panas :)

Mengais Kepercayaan Diri

on
Senin, 20 Oktober 2014
Kemarin saya - nggak sengaja - main ke rumah temennya temen saya. Iya, nggak sengaja. Soalnya tujuan awal saya ke kost temen saya, eehh dianya lagi main di rumah temennya, jadi saya disuruh nyamperin ke rumah temennya itu deh.

Alhamdulillah-nya, saya nggak benar-benar baru pertama ketemu sama si temennya temen saya itu. Orangnya juga ramah, jadi nggak canggung. Alhamdulillahnya lagi, disitu saya disuguhi rujak mangga muda. Allah... itu nikmat yang luar biasa sekali bagi saya :)))

Usai makan siang temen saya ketiduran. Jadilah saya ngobrol berdua dengan temennya, sembari ia asyik browsing. Sewaktu saya melirik, saya melihat dia tengah membaca info tentang kursus kepribadian. Spontan saya bertanya, "Kok cari info kursus kepribadian?". Lalu dia cerita kalau dia pengen banget ikut kursus kepribadian, tapi mahal sekali.

Saya mengerutkan kening, lalu bertanya lagi, "Apa yang membuat kamu merasa perlu ikut kursus tersebut?"

Iya, saya heran. Saya nggak tau persisi sih apa aja yang diajarkan dalam kursus kepribadian. Tapi asumsi awam saya, saat seseorang merasa 'butuh' mengikuti kursus seperti itu, berarti dia merasa ada yang perlu diperbaiki dari kepribadiannya.

"Soalnya aku merasa kok jadi orang nggak pede-an banget... minder, merasa nggak punya kelebihan apa-apa..." jawabnya. Lalu mengalirlah curhatannya seputar masalah itu.

"Ah, itu saya banget! Saya pernah merasa seperti itu. Saya adalah orang paling minderan beberapa tahun lalu..." ucap saya.

FYI, dia ini belum lama menyelesaikan pendidikan profesi, dan sedang gencar berikhtiar melamar pekerjaan. Sampai saat ini usahanya belum terlihat membuahkan hasil. Menurut saya, fase seumuran kami memang tergolong rawan. Rawan putus asa, rawan nggak pede, dll. Lulus kuliah kalo belum dapet kerja itu buat sebagian besar orang tekanan yang sangat luar biasa, kan? Belum lagi bagi wanita, tekanan akan semakin bertambah jika belum punya calon suami. *rasanya ini curcol, abaikan!*. Haha

Ya, saya pernah mengalami dan merasakan perasaan yang amat menyiksa itu. Nggak pede, merasa nggak punya kelebihan apapun, nggak tau harus gimana mengarahkan hidup sendiri, dll. Tapi Alhamdulillah... saya bisa dibilang telah melewatinya. Mungkin memang belum sepenuhnya, tapi seenggaknya sudah jauh lebih baik dari beberapa tahun lalu.

Curhatannya kemudian terus mengalir. Saya amat berempati pada perasaannya. Matanya bahkan berkaca-kaca saat bercerita. Saya pengen banget bisa kasih saran, tapi blank. Yang bisa saya sarankan cuma dua: banyak baca tulisan-tulisan yang positif, dan banyak bergaul dengan orang-orang positif. Ya, karna saya merasa pertolongan Allah untuk saya saat saya dilanda perasaan menyiksa itu datang melalui hadirnya orang-orang baik yang secara 'nggak sengaja' (nggak ada yang nggak sengaja di dunia ini!) saya kenal.

Di penghujung pertemuan kami, dia bilang, senang sekali hari itu bisa bertemu saya. Ah, bahagianya :)) Padahal saya belum kasih pencerahan apa-apa. Saya janji sama dia untuk kasih rekomendasi buku, tulisan, atau apapun untuk buat dia lebih baik. Saya yakin dia bisa segera keluar dari fase ini, karna dia punya kemauan. Dia cuma butuh seseorang yang bantu dia menunjukkan jalan, atau seenggaknya kasih rambu-rambunya.

Adakah yang berkenan bantu  saya kasih rekomendasi buat dia? Kalau ada, tulis di kolom komentar yaa. Terima kasih :))

Selamat Bertugas Pak Jokowi :)

on
Jumat, 17 Oktober 2014

 ambil dari sini



20 Oktober sebentar lagi, ya... Dan itu artinya sebentar lagi kita punya Presiden baru. Semoga dengan dilantiknya Presiden baru akan membawa perubahan-perubahan baru ke arah yang jauh lebih baik. Aamiin.


Tapi, perubahan ke arah yang lebih baik rasanya sulit teraba, ya, kalau pikiran dan hati kita masih dipenuhi dengan berbagai macam pikiran negatif dan prasangka buruk. Iya nggak?

Sejujurnya saya agak deg-degan nulis tentang ini, melihat betapa obrolan dengan tema seputar masalah ini selalu berlanjut dengan 'diskusi panas'. Ah, semoga enggak. Sepertinya kondisi sudah nggak begitu sepanas kemarin-kemarin. Yah, meskipun saya masih melihat satu-dua orang yang melontarkan kalimat-kalimat yang memancing orang buat kepanasan. #ApaSih

FYI, saya bukan salah satu simpatisan Jokowi-JK di Pilpres kemarin. Yah, nggak perlu saya jelaskan rasanya kenapa saya nggak pilih mereka. Yang jelas, saya warga negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menentukan pilihan, kan? Bukan apa-apa, cuma saya agak aneh saja ketika ada orang yang banyak bicara soal demokrasi, tapi sewot setengah mati terhadap orang yang pilihannya nggak sama dengan dia :)

Tapi sejak dulu saya selalu bilang -- pada hati saya sendiri, dan pada beberapa teman -- saya nggak pilih Jokowi, tapi kalau beliau yang menang, saya Insya Allah akan tetap menghargai. Nggak ada alasan rasanya untuk kita nggak menghargai hasil pemilihan umum kemarin. Masih terus-terusan menghujat kubu yang menang, mencari-cari kekurangan, memfitnah, dll. Apa untungnya? Toh kita akan tetap jadi Warga Negara Indonesia yang berada di bawah kepemimpinan beliau, kan?

Apalagi yang terus-terusan menghubung-hubungkan dengan masalah agama. Aqidah Pak Jokowi lah, ibadahnya lah, dll. Tidakkah itu semua sudah amat melampaui batas? Lalu kalau ada yang bilang takut Islam terancam jika Jokowi yang jadi Presiden... Hmm, apakah kepercayaan kita pada Ke-Maha-Besaran Allah sudah amat luntur? Allah terlalu Maha Besar untuk menjaga Islam tetap terjaga di bumi ini. Iya, kan?

Kalau kita menggunakan alasan-alasan agama untuk menolak Jokowi, lalu kita melakukannya dengan memfitnah, menghujat, dll... Ya Allah, tidakkah kita sendiri berarti sedang nyata-nyata melakukan hal-hal yang sama sekali tidak disukai dalam ajaran agama yang konon tengah kita bela?

Bukankah jauh lebih baik kita turut menunjukkan kebesaran hati kita untuk turut mendukung Jokowi-JK merealisasikan semua janjinya? Atau jangan-jangan ada yang 'tega' berdoa agar beliau nggak mampu memenuhi janji, agar bisa terbahak-bahak menertawakan? Ah, semoga tidak. Semoga hati kita tak segelap itu.

Harus saya akui saya pun sempat beberapa kali terbawa arus negatif kampanye yang amat mengerikan di masa-masa pemilu kemarin. Harus saya akui saya pun sempat turut su'udzon. Tapi akhirnya saya sadar, semua itu sungguh nggak ada gunanya.

Dan untuk teman-teman yang ada di kubu Pak Jokowi-JK di masa kampanye kemarin... Ah, saya sedih melihat masih ada beberapa orang yang tetap 'hobi' berseloroh nyinyir. Saya tahu alasan beberapa orang itu adalah masih adanya juga orang dari kubu Prabowo yang mengeluarkan statement tidak mengenakkan. Tapi betapa memukaunya jika kalian meneladani idola kalian - Pak Jokowi - yang nggak pernah ambil pusing dan nggak peduli dengan omongan-omongan negatif yang menyudutkan beliau.

Ah, sudahlah. Yang paling penting dan mendesak saat ini rasanya adalah, mengembalikan persatuan kita sebagai Bangsa Indonesia. Dan itu harus kita mulai dari diri sendiri. Bukan dengan terus 'menjawab' omongan-omongan nggak enak yang kita dengar. Toh mereka yang masih hobi ngomong nggak enak lama-lama akan capek sendiri, kan, kalau nggak ada yang peduli?!

Oke, akhir kata... lewat tulisan ini saya ingin mengucapkan, selamat bertugas Pak Jokowi. Semoga Allah mengiringi setiap langkahmu dengan Rahmat-Nya. Semoga Bapak diberikan kesehatan dan kemampuan untuk merealisasikan janji-janji Bapak yang sebagian saya baca di sini. Selamat bekerja keras melanjutkan estafet kepemimpinan Pak SBY :)

Curhatan Random

on
Rabu, 15 Oktober 2014
Dua mingguan ini saya miskin sekali ide. Saya pengen nulis, tapi nggak tau apa yang mau saya tulis - nggak tau apa yang mau saya ceritakan. Lalu sabtu minggu kemarin saya baca buku tentang creative writing karya Bu Naning Pranoto, yang mana buku tersebut adalah hadiah dari Raya Kultura waktu saya 'iseng' ikut lomba flash fiction.

Baca buku tersebut, saya kok malah sepeti depresi :( Eng, enggak. Buku tersebut memang bikin saya jadi sadar dan ingin belajar tentang teknis-teknis menulis. Nggak seperti selama ini, dimana saya berprinsip 'nulis ya nulis aja!'. Tapi di sisi lain, saya merasa sedih sama diri saya sendiri. Kok saya gini-gini aja dari dulu? Kok semangat saya kendor banget? Kok usaha saya dikit banget? Yah, semacam pertanyaan-pertanyaan semacam itulah.

Saya iri. Iriiii banget tiap ketemu tulisan yang bagus banget menurut saya -- terlebih saya kenal sama yang nulis. Tapi saya tau iri saya itu, sepositif apapun iri tersebut, tetep nggak bakal bawa saya ke mana-mana kalau saya nggak mengadopsi semangat belajar mereka.

Emm, oh ya... kemarin ada seseorang yang tanya sama saya. Gimana kalau nanti suamiku minta aku berhenti kerja, padahal aku suka banget sama kerjaan itu? Mungkin maksud dia kerjaan full time seperti yang saat ini saya jalani kali, ya. Saya jawab, nggak masalah. Asal dia dukung dan ijinin saya melakukan apa yang saya suka. Menulis misalnya. Tapi lalu dia tanya lagi, gimana kalau nanti suami saya nggak mau dukung potensi saya?

pinjem dari sini

Saya mikir cukup lama untuk pertanyaan tersebut. Kalau posisi saya udah sebagai istri, dan saya baru tau suami saya nggak mau dukung saya... duh, hati saya nelangsa banget pasti. Gimana dong, nggak mungkin juga kan saya ngamuk-ngamuk ke suami. Duh, naudzubillah -- nanti jadi istri durhaka :(. Akhirnya saya tetep nggak menemukan jawaban terbaik untuk pertanyaan tersebut. Tapi kalau itu terjadi sama saya nanti (saya berdoa banget suami saya kelak nggak kayak gitu), mungkin saya akan mengingatkan dia bahwa suami yang baik harusnya nggak bikin potensi istrinya tergerus status menikah. Saya akan mengingatkan dia bahwa cinta harusnya bisa bikin kita selalu ingin memberikan hal terbaik untuk pasangan, termasuk dukungan. Saya akan mengingatkan dia, bahwa dengan menikah harusnya kami bisa bersinergi dengan baik -- saya mendukung potensi dia, dan dia dukung potensi saya. Kalau cuma salah satu, rasanya itu akan bikin pernikahan jadi nggak sehat.

Ah, entahlah. Itu baru sekedar teori yang ada di otak saya. Yaiyalah, saya kan belum dikasih kesempatan untuk praktek. Eheheh.

Kalau ada yang sudah mengalami (sudah menikah), mau nggak bagi kisahnya berkaitan sama curhatan saya di atas? :))

Resep Kroket Ekonomis dan Praktis :D

on
Kamis, 09 Oktober 2014
Karna saya pengen nulis tapi bingung mau nulis apa, jadi saya nulis resep aja, ah! Hehe

Emm, sebelumnya mau cerita dikit. Kemarin sore temen kuliah yang biasa saya panggil Kak Tari BBM saya. Dia bilang tertarik untuk mencoba resep Pizza Magic com yang sudah beberapa kali saya praktekkan. Tanyanya detaaiilll sekali. Hihi. Sepertinya masak juga butuh rasa percaya diri ya ternyata. Bahkan meskipun masak untuk kita makan sendiri, tetep harus ada rasa percaya bahwa kita bisa agar akhirnya benar-benar berani mengeksekusi.

Sekarang saya mau berbagi resep kroket suka-suka a la saya. Maksudnya, resepnya mungkin akan banyak perbedaannya dengan resep standar di blog-blog resep profesional. Seringnya sih saya kurangi bahan-bahan yang sekiranya susah di cari, atau saya pas nggak punya. Yah, namanya juga suka-suka :p

Oke, cekidot ;)

Bahan Utama:
3 Butir kentang, rebus
200gr Tepung terigu (saya nggak yakin sih kemarin saya bener2 pake 200gr. Pokoknya biar sekiranya bisa kalis aja lah. Huehehe)
3 sdk makan margarin
1 sdk makan susu bubuk putih
garam secukupnya
gula sedikit saja (silahkan kira-kira sendiri sesuai selera :p)
Mrica secukupnya
1 butir telur
Tepung panir secukupnya

Bahan Isi:
3 batang wortel (yg agak panjang)
1sdk makan maizena
1 siung bawang merah, 1 siung bawang putih - rajang halus
Garam secukupnya
Gula secukupnya
Mrica secukupnya
Air

Cara membuat kulit:
Haluskan kentang yang telah direbus. Lalu campurkan semua bahan yang telah tersedia, kecuali telur dan tepung panir. Uleni adonan tersebut hingga benar-benar tercampur rata dan kalis. Tambahkan air seperlunya agar adonan terlalu kaku. Jika sudah kalis, sisihkan.


Cara membuat isi:
Potong-potong wortel menjadi potongan dadu kecil-kecil. Tumis bawang merah dan bawang putih sampai harum, kemudian masukkan potongan wortel. Kemudiantambahkan bumbu-bumbu yang lainnya, serta tuangkan air secukupnya. Biarkan hingga wortel lunak. Setelah wortel matang (lunak), tambahkan tepung maizena. Setelah mengental, matikan kompor.

Eksekusi akhir:
Ambil satu sendok makan adonan kulit. Pipihkan adonan tersebut di tangan, kemudian beri sedikit adonan isi di tengahnya. Setelah itu bulatkan adonan tersebut hingga adonan isi tidak terlihat. Ulangi sampai adonan habis. Setelah semua adonan sudah berubah menjadi bulatan-bulatan, masukka satu per satu ke dalam telur yang sudah di kocok kasar dan di taruh di mangkuk, lalu gulingkan ke dalam tepung panir yang telah di taruh di piring, kemudian adonan siap di goreng, lalu disajikan :D


FYI, masakan saya yang sudah mendapat pujian dari kakak ipar saya yang selama ini pelit sekali memuji tuh baru dua, pizza dan kroket ini. hehe.

Selamat mencoba :))

Teguran Manis

on
Senin, 06 Oktober 2014
Duh, di mana-mana bau daging kambing, yep... hmm...
Em, ehh... tapi harus bersyukur... sodara-sodara kita di Palestine, Suriah dan negara-negara konflik lainnya apa kabar? Semoga mereka berkesempatan mencicip nikmatnya daging kurban :')

Saya nggak lagi pengen cerita soal itu sih sebenarnya. Saya mau cerita tentang sebuah buku yang seperti menampar saya bolak-balik, dan membuat saya akhirnya sadar -- entah sadar dari pingsan, atau dari tidur panjang. Hehe.

Buku ini bukan milik saya sendiri, melainkan pinjaman dari Mbak Prima. Sekitar tiga hari yang lalu saya mulai baca buku tersebut, dan langsung dibikin terperangah di bab-bab awal. Emm, ohya... saya nggak bisa sebutin judul bukunya, karna kalo sekedar tau judulnya nggak tau isinya, pasti bakal ngira saya galauers. Haha. Jadi, yang penasaran banget buku apa yang sebenernya saya maksud, email saya ya. *Saya terlihat Ge Er sekali, ya. Kayak ada yg baca blogpost ini ajah :D*

Anyway, saya bener-bener merasa buku tersebut sebagai hidayah dari Allah yang disampaikan dengan amat jelas melalui tangan Mba Prima. Hidayah yang membuat saya menyadari hal yang selama ini nggak saya sadari. Atau, saya sadari, namun selalu berusaha saya pungkiri. Saya menyadari tentang niat saya yang masih jauuuhhh dari kata lurus. Ah, ngomong niat 'karna Allah' memang gampang sekali, yah, diucap. Tapi kalo kita mau jujur sama diri sendiri, bisa banget kok sebenernya untuk tau niat kita bener-bener karna Allah atau bukan. Dan yang paling penting, saya jadi tau dan sadar bahwa ternyata ada 'sesuatu' yang belum beres pada diri saya sendiri. Ya, kini saya tau, sudah saatnya saya berdamai dengan banyak hal yang selama ini merongrong alam bawah sadar saya... sekian lama.

Kemarin, saat meneruskan membaca buku tersebut, dada saya tiba-tiba diserbu perasaan haru luar biasa. Ah, betapa Allah Mahabaik pada saya. Bersedia membenarkan langkah gegabah saya dengan cara yang sebelumnya nggak saya mengerti, sebelum saya bener-bener salah jalan. Mahabaik Allah yang selaluuu saja bersedia 'menegur' saya dengan maniiiisss sekali... mengirimkan pada saya orang-orang baik sebagai perpanjangan Tangan-Nya.

Saya jadi semakin yakin -- seyakin-yakinnya. Allah memang nggak kasih apa yang kita minta, tapi Allah akan selalu kasih apa kita butuhkan. Dan Allah - hanya Allah sejatinya yang benar-benar tau apa sebenernya yang kita butuh. Emm, saya pikir Allah bisa aja kasih apapun yang kita minta. Tentu saja sangat bisa! Tapi mungkin saat itu Allah sudah enggan 'menjaga' kita dari hal-hal keliru yang sering kita minta. Mau kayak gitu? Saya enggak :)

Untuk 2 Tahun Kebersamaan, Serta Penutupnya

on
Kamis, 02 Oktober 2014
Harusnya tulisan ini saya post kemarin. Ya. 1 Oktober.

Pada tanggal yang sama, dua tahun yang lalu. Adalah hari lembaran baru hidup saya di mulai. Ini bukan tentang nikah, ya! :P. Pertama kali saya datang ke sini, beradaptasi, mulai mengenal, dan berdamai dengan ego. Kenapa? Karna ego saya masih selalu ingin sama sahabat-sahabat saya sebelumnya, saat itu.

Magelang, November 2013

Saya selalu percaya bahwa Allah mempertemukan kita dengan seseorang untuk suatu alasan. Tidak peduli siapapun itu, dan tampak setidakpenting apapun orang itu. Nggak ada yang kebetulan dan sia-sia apapun yang digariskan Allah. Begitu juga pertemuan dan perpisahan.

Dengan mereka saya jadi sadar bahwa dunia terdiri dari banyak sekali warna. Hidup nggak semata tentang hitam dan putih. Dengan mereka saya jadi sadar betapa penting tarbiyah dzatiyah. Dengan mereka saya jadi sangat sadar, bahwa menjadi sholih nggak semata tentang seberapa banyak ibadah vertikal kita, tapi juga tentang seberapa baik hubungan kita dengan orang-orang di kiri-kanan kita.

Bareng Mba Eva, Mba Iis, Mba Sonya
Saya bersyukur pernah kenal kalian :')

Pada akhirnya, semesta ini cair. Segala sesuatu ada waktunya. Termasuk kebersamaan sama mereka. Ah, tiba-tiba saya kehilangan kata-kata.

Klasiknya hidup memang seperti ini, kita akan berjalan dibanyak lintasan, kadang kita bertemu teman yang secara kebetulan melewati jalan yang sama sampai ada satu persimpangan yang akan memisahkan, kemudian ada jalan baru dimana kita akan bertemu dengan teman lain, menempuh jalan sampai kemudian ada persimpangan lagi. Tapi pada satu persimpangan terakhir, akan terbentang jalan terpanjang dan akan tersisa orang yang tidak biasa, yang tidak akan datang dan pergi begitu saja.. orang-orang yang dipilih oleh hati untuk menundukkan ego kita. (Mbak Syam)

Ya, akan selalu ada orang-orang yang datang dan yang pergi. Yang datang memberikan harapan, yang pergi meninggalkan kenanga. Setelah ini saya akan bertemu dengan orang-orang baru. Saya telah memilih. Meski saya tau bukan berarti segala sesuatu akan lancar tanpa sedikitpun hambatan. Saya hanya berdoa sepenuh hati, semoga Allah selalu hadirkan orang-orang baik yang bersedia menemani saya untuk jadi Rosa yang lebih baik :)

Buat teman-teman di FI,
Terimakasih. Terimakasih untuk dua tahun yang penuh warna. Terimakasih untuk banyak sekali selipan-selipan pelajaran hidup di sela-sela interaksi keseharian kita.
Maaf. Untuk kalimat-kalimat menyakiti, tingkah tak menyenagkan hati, dan segala sesuatu yang masih tak berkenan dalam catatan memori. Maafkan :')

Furnindo, 2 Oktober 2014


Rosa

Signature

Signature