Tampilkan postingan dengan label Daun Terserak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Daun Terserak. Tampilkan semua postingan

Tentang Mahal dan Tidak Mahal

on
Sabtu, 05 Mei 2018

Saat salah satu teman yang berjualan posting sebuah gambar sepatu di FB dengan caption kurang lebih "Hanya 700 ribu!", saya spontan ngetik komen.

"700 ribu kok hanya 😂"

Komentar yang kemudian saya sesali. Ngapain coba saya komen kayak gitu di postingan teman yang lagi jualan, kan? Kesannya rese banget ya saya 😔 Tapi beneran saya gak ada niat buruk sedikitpun saat itu. Murni karna terhenyak.

Kaget. Ternyata memang ada yang menganggap sepatu harga tujuh ratus ribu dengan 'hanya' yang artinya murah. Mungkin ini semata karna saya kebangetan kuper. Iya, saya memang sekuper itu 😑

Saat itu saya sempat termenung. Saya pribadi, sepertinya belum pernah beli sepatu dengan harga lebih dari tiga ratus ribu. Ah, lebih dari dua ratus ribu saja kayaknya baru satu atau dua kali. Tapi ada lho orang-orang yang menganggap uang dua ratus ribu itu bisa untuk makan sekeluarga seminggu atau lebih.

Tentang mahal dan tidak mahal ini memang relatif sekali ya. Saya paham. Tapi saya beneran baru ngeh bahwa rentang relatifnya bisa selebar ini.

Saya kira mahal dan tidak mahal itu rentangnya hanya, misal, bagi saya jilbab harga seratus ribu itu mahal. Tapi bagi teman saya seratus ribu itu enggak mahal. Kalo seratus lima puluh ribu baru deh mahal menurut dia. Ternyata enggak gini ya 😂

Tentang sepatu atau baju yang harganya ratusan ribu bahkan menyentuh jutaan, sebenernya saya udah tau dari dulu kalau memang ada. Tapi saya kira yang beli baju atau sepatu dengan harga segitu yang para artis. Gak pernah nyangka, ternyata sekarang orang di sekitar saya aja udah banyak yang harga sepatu atau bajunya segitu 😂 Artis malah udah puluhan atau ratusan juta kayaknya ya.

Beneran deh, fakta ini bikin saya sering melamun. Ternyata dunia setimpang ini ya. Ternyata dunia memang sering gak adil.

Tadi pagi waktu berangkat kerja, gak sengaja kami papasan sama  bapak-bapak yang udah lumayan sepuh. Beliau sedang menarik gerobak penuh dengan tanaman hias. Hati saya nyeri. Nyeri mikirin berapa penghasilan yang bisa bapak itu bawa untuk keluarganya setelah berlelah-lelah menarik gerobak seberat itu?

Lalu pikiran saya tiba-tiba lompat ke akun-akun IG yang jual printed scarft dengan harga ratusan ribu. Kenapa semahal itu? Konon karna motifnya dicetak secara khusus. Limited. 

Herannya, kok larisnya kayak orang jualan kacang, ya? Dalam hitungan menit, sold out ratusan pcs.

Baca juga: Yang Harus diingat Saat Beli Pakaian Secara Online

Pikiran saya lompat lagi ke wajah lelah bapak penarik gerobak tadi. Juga ke bapak penjual mie kopyok di kompleks rumah yang gak selalu dapet pembeli. Bapak penjual kue putu. Ibu-ibu penjual gorengan yang keliling perumahan tiap pagi, padahal rumahnya jauh.

Kalian tau apa yang saya pikirkan? Jujur saja saya bingung gimana mengungkapkannya 😂

Sesampainya di kantor tadi pagu, kebetulan saya ngobrol melalui DM dengan seorang teman. Kami ngobrolin sebuah brand pakaian muslimah yang harganya juga ratusan ribu.

Bagi saya, brand itu mahal. Beliau bilang, enggak mahal kalo dilihat dari kualitas jahitannya, kualitas bahannya, banyaknya bahan, dll. Iya juga sih, kalo dipikir-pikir berarti enggak mahal memang. Saya punya satu hijab dari brand itu, dan kulitas secara keseluruhan memang oke kok.

Berarti bisa jadi, barang-barang lain yang harganya selangit itu juga sebenarnya 'wajar' ya kalo dilihat dari kualitas bahan, dll-nya gitu.

Tapi balik lagi. Kualitas sebagus apapun, dengan harga segitu, coba tanyakan ke ibu penjual gorengan keliling itu tadi. Berani taruhan, pasti beliau akan tetap bilang mahal sekali. Iya, kan?

Tapi bukan berarti saya mau nyela orang-orang atau teman-teman yang sering beli barang-barang mahal ya. Dih bayarin juga enggak, ngapain nyela?

Mungkin lebih ke ngajak melihat dunia yang ternyata setimpang ini. Biar kita bisa lebih mensyukuri apa yang kita punya, dan gak terlalu cranky kalo belum kesampaian memiliki sebuah barang idaman.

Karna di luar sana, ada banyaakk yang gak pernah sempet mikirin pengen beli macem-macem kayak kita. Sekedar bisa makan aja udah cukup.

Entahlah. Demikian curhatan random saya tentang mahal dan tidak mahal. Sekian 😆

Tentang Rina Nose, Ustad Abdul Somad dan Rasulullah

on
Selasa, 28 November 2017

Sesekali nulis hal yang masih anget ah. Masa nulisnya tema basi terus 😂 Atau jangan-jangan ini juga udah basi? Haha.

Tentang Rina Nose yang buka jilbab, gimana pendapat saya?

Sebagai seorang muslimah yang meyakini bahwa jilbab adalah kewajiban, tentu saya menyayangkan. Sedih dan kecewa pas pertama kali tau soal berita ini.

Tapi ya mau apa, kan itu haknya Rina Nose sebagai manusia untuk memilih jalan hidupnya. Sudah masuk ranah "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" menurut saya. Sama banget dengan seseorang memilih agama apa untuk dipeluk.

Apakah kita berhak memberikan nasehat?

Berhak sekaliii. Karna kita sesama muslim. Sayangnya kita sering lupa, bahwa menasehati itu ada adabnya. Berikut saya kutipkan beberapa adab menasehati dari muslimah.or.id: 
Mengharapkan Ridho Allah Ta'ala, Tidak dalam rangka mempermalukan orang yang dinasehati, Menasehati secara rahasia, Menasehati dengan lembut, sopan dan penuh kasih, Tidak memaksakan kehendak dan Mencari waktu yang tepat"
Soal landasan-landasan hadist atau ayatnya, silakan cari atau baca sendiri ya. Hehe.

Nah, kalau kita sedih dan kecewa gara-gara Rina Nose lepas jilbab, lantas menasehatinya panjang lebar lewat status di sosmed, atau komentar di akunnya, kira-kira memenuhi adab menasehati gak sih?

Apalagi kalo menasehati serta 'mendukung' sembari menjadikannya sebagai salah satu strategi marketing. Duh, kok jahat banget ya rasanya 😭

Saya sedih Rina Nose lepas jilbab. Tapi saya jauh lebih sedih melihat beberapa orang jadi menilai negatif saudara-saudara muslim saya yang berniat menasehati tapi sayang gak memperhatikan adabnya 😭

Apalagi saat membaca berita tentang seorang Ustad bernama Abdul Somad, melontarkan kalimat negatif tentang fisik Rina Nose saat ada jamaah yang bertanya tentang keputusan lepas jilbab tersebut.

Saya yakin ilmu Ustadz Abdul Somad jauh lebih tinggi dibanding ilmu saya. Gak ada lah seujung kukunya. Saya yakin isi dakwah Ustadz Abdul Somad adalah seruan-seruan kebaikan.

Tapi mungkin Ustadz Abdul Somad sedang lupa soal adab menasehati. Atau lebih jauh lagi, tentang fikih dakwah?

Saya gak punya ilmu sama sekali kalau mau bicara soal fikih dakwah. Yang saya tau sejauh ini, dakwah Rasulullah sangat dominan dengan kelembutannya. Kalo ada yang pengetahuannya tentang ini luas, saya mau banget diciprati ya 😇

Lagipula, soal jilbab dan nasehat-menasehati, tetap ada peran 'hidayah' yang jadi haknya Allah kan?

Yang kerja di lembaga Islam, tiap hari diberi kajian keagamaan, tiap waktu sholat diberi kesempatan untuk sholat tepat waktu, tapi memilih sholatnya nanti-nanti aja itu banyak. Karna apa? Hidayah belum nyentuh hatinya. Atau hatinya kebal akan hidayah, entahlah, Wallahu a'lam. Ini hanya salah satu contoh.

Kita yang hari ini berjilbab, apa ada jaminan akan terus berjilbab hingga ajak menjemput? Gak ada yang bisa jamin. Bahkan gak ada satu orang pun yang bisa jamin kita mati dalam keadaan muslim. Iya kan? Makanya ada doa 'Wahai yang Maha membolak-balik hati, tetapkan hatiku pada agama-Mu'.

Jadi, yuk belajar lagi tentang adab menasehati tanpa menghakimi. Belajar lagi cara menasehati, tanpa melukai 😊😇

Wallahu a'lam bi shawwab.

Menempatkan Diri

on
Senin, 30 Oktober 2017
credit: pixabay.com

Salah satu keterampilan yang penting sekali untuk dimiliki kalo kita pengen survive -- terutama survive dalam pergaulan -- menurut saya adalah keterampilan menempatkan diri.

Saya kayaknya pernah cerita di salah satu tulisan di blog ini, tapi lupa tulisan yang mana dan saya males ngubek-ubek. Hehe. Jadi cerita ulang aja yah.

Suatu hari saat sedang makan di KFC yang lagi penuh bangettt, tiba-tiba ada seorang bapak yang membawa beberapa anaknya dengan semena-mena menjatuhkan begitu saja semua barang (bekas makan orang terdahulu) di meja yang hendak ia tempati. Ia sudah meminta CS untuk membersihkan meja tersebut sebelumnya, tapi karna saat itu bener-bener ramai sekali, CS-nya kalang kabut.

Ketika baru akan ke situ untuk membersihkan meja, eh bapaknya keburu emosi terus melakukan tindakan yang bikin semua orang di situ melongo.

Menurut saya, itu satu dari sekian buanyak contoh orang yang gak bisa menempatkan diri. Kenapa dia arogan seperti itu? Apakah karna blio merasa bahwa blio orang kaya dan punya jabatan? Tapi blio lupa, ada anak-anaknya di depannya. Harusnya menempatkan diri sebagai seorang bapak yang jadi role model anak-anaknya. Belum lagi soal menempatkan diri sebagai makhluk sosial di depan umum yang harus menjaga tata krama ya. Saya kasian banget waktu itu, melihat mas CS yang langsung tergopoh-gopoh membersihkan lantai dari serakan barang dari atas meja dengan wajah ketakutan.

Apa yang ada di benak kita ketika melihat orang yang bersikap seperti itu? Apakah terkesan dengan 'keberaniannya'? Atau terkesima dengan arogannya? Tentu tidak, saya rasa. Ilfeel malah mungkin. Dan itu gara-garanya adalah gak punya keterampilan menempatkan diri.

Gak bisa menempatkan diri juga seringkali membuat seseorang jadi tampak menyebalkan. Misalnya, seorang blogger yang lagi kumpul sama para akuntan yang blas gak mudeng dunia bloging. Lalu si blogger dengan asyiknya ngomongin tentang SEO lah, tentang job review lah, dll. Ya nyebelin dong.

Saya punya temen. Dia pinter secara akademis. Bahasa inggrisnya cas cis cus. Sayangnya, dia kurang panda menempatkan diri menurut saya. Dia sering ngomong pake bahasa inggris sama kami-kami yang gak bisa bahasa inggris, dan dia tau banget.

Alhasil, kami gak nyaman lah ngobrol sama dia. Gak nyambung. Akhirnya, makin lama hubungan kami jadi seolah dipisahkan tembok tebal. Padahal ya gak ada apa-apa antara kami.

Nah, di era ini... rasanya hampir tiap hari kita melihat orang-orang yang kurang terampil menempatkan diri berseliweran. Terutama di socmed. Yang gak tau apa-apa soal politik tapi ngritik macem-macem soal politik, contohnya.

Adakah kita salah satu diantaranya? 😅

PERUBAHAN

on
Rabu, 23 Agustus 2017

Minggu ini ada mutasi di kantor saya. Ada dua orang yang dimutasi. Salah satunya, dimutasi dari posisi yang sebelumnya lumayan 'bertaring' ke posisi yang... yah, benar-benar staff biasa.

Saya tidak hendak membanding-bandingkan dua posisi tersebut sih. Cuma, mutasi tersebut membuat saya cukup merenung. Betapa dalam hidup kita harus selalu siap atas perubahan. Katanya, satu-satunya yang gak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri.

Sejak kemarin saya banyak membayangkan. Gimana kalau saya ada di posisi teman saya yang kena mutasi tersebut? Gimana kalau saya jadi teman satu bagiannya yang sekarang?

Seperti yang sebelumnya saya bilang, teman saya yang kena mutasi ini posisi sebelumnya bisa dibilang zona nyaman banget buat dia. Dari beberapa kali ngobrol, saya juga tau bahwa posisi tersebut sudah sesuai sekali sama passionnya. Selain itu, posisi yang sebelumnya juga terbilang cukup 'bertaring'. Punya wewenang untuk mengkritisi dan didengarkan oleh pimpinan.

Sedangkan posisinya yang sekarang, ya staff macam saya yang cuma ngerjain kerjaan-kerjaan rutinitas.

Terus saya jadi bayangin. Gimana kalau saya jadi dia? Pasti saya bakal sedih banget. Gak semangat kerja. Pengen protes. Serba gak nyaman.

Tapi dia keren. Dia berusaha terlihat baik-baik saja, meskipun terlihat cukup jelas dia belum benar-benar enjoy.

Saya juga bayangin jadi rekan kerjanya yang sekarang.

Rekan-rekan kerjanya kan tadinya sudah terlihat nyaman dan klop sama reka yang sebelumnya (yang kena mutasi juga). Terus tiba-tiba harus punya rekan kerja baru. Yang mana lebih dewasa (secara umur) dan sebelumnya ada di posisi gak terbiasa disuruh-suruh atau dimintai sesuatu oleh teman sejawat.

Kan pasti serba pakewuh lah. Kelihatan kok, mereka mau minta sesuatu atau nyuruh sesuatu jadi serba gak enak gitu. Hehe. Nah, kalau saya ada di posisi tersebut, pasti deh ngeluh. Aduh kenapaaa sih harus ganti orang. Dan lain-lain.

Tapi waktu saya tanya ke yang bersangkutan, beliau jawabnya wise banget. "Ya canggung sih kak ros (panggilan dia ke saya), tapi yawislah, namanya juga hidup... pasti ada perubahan terus."

Nah, saya jadi serasa dicubit. Hidup itu pasti ada perubahan terus. Selama ini rasanya saya masih selalu ngeluh tiap ada perubahan. Padahal ngeluh sendiri gak akan mengubah apapun. Akhirnya saya capek sendiri.

Kalau sudah tau bahwa hidup selalu penuh perubahan, kenapa gak belajar berlapangdada saja menerima setiap perubahan yang sedang datang bergiliran? Kalau milih selalu ngeluh, kapan kita bahagianya, sedangkan perubahan akan terus terjadi silih berganti?! *tanya pada diri sendiri*

Membeli Masalah Dengan Sedekah

on
Kamis, 15 Juni 2017

Bismillahirrahmanirrahim,
Apa yang saya ceritakan dalam tulisan ini, Insya Allah semata karna ingin berbagi hikmah.

Kita pasti sudah sering sekali mendengar tentang manfaat sedekah. Ratusan buku dan ribuan artikel mengulas tentang ini. Apalagi ada salah satu Ustadz yang sempat mengkhususkan diri untuk berdakwah soal sedekah ini. Siapa lagi kalau bukan Ustadz Yusuf Mansur.

Tapi... kita-kita ini, meskipun sudah tau ilmunya, sudah khatam teorinya, tetap saja suka maju-mundur kalau disuruh praktek. Atau jangan-jangan cuma saya yang kayak gini? =D

Iya, meski sudah tau bahwa salah satu manfaat sedekah adalah membantu kita keluar dari berbagai masalah tetap aja sedekahnya hitung-hitungan. Mau dapet jodoh, sedekah dua rebu rupiah. Beuh, sama dong dengan tarif toilet *eh*.

Meskipun yaaa... Allah pastilah gak hitung-hitungan seperti ini. Tapi cek deh Qur'an Surah Ali Imran ayat 92:

Kamu tidak akan memperoleh kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui

Em, Anyway... saya yakin kebanyakan dari kita sudah khatam teorinya. Sekarang saya mau cerita tentang pengalaman pribadi saya. Sekali lagi, Insya Allah niat saya karna ingin berbagi hikmah.

Jadi, sekitar dua bulan lalu hidup saya penuh dengan kegalauan. Wkwkwk. Sudahlah babyblues masih bertubi-tubi menyerang, pikiran saya juga dibuat gak tenang oleh beberapa hal.

Salah satunya tentang gimana nanti Faza ketika saya sudah masuk kerja. Saya, mas suami, bahkan bapak-ibu mertua pun sama sekali gak ada bayangan dan referensi siapa yang akan kami percayai untuk menemani Faza nanti. Sedangkan kalau resign, sungguh saya belum siap :(

Saat sedang berbagi rasa dengan mas suami, beliau meminta saya tetap tenang dan yakin. Yakin bahwa Allah pasti akan menolong. Saya yang imannya masih cetek langsung ngeyel lah!

"Waktunya tinggal sebulan dan kita sama sekali belum ada bayangan mas, gimana aku bisa tenaaaaang??!!" *drama queen mode: ON*

Tapi lain waktu saat saya sedang agak waras, tiba-tiba saya ingat cerita salah satu teman blogger -- Mbak Esti Sulistyawan. Beliau pernah cerita, saat menjelang masuk kerja setelah cuti melahirkan, beiau juga galau sekali karna belum mendapat pengasuh untuk putri cantiknya. Karna Mbak Esti merasa sudah gak mampu mencari jalan keluar sendiri, akhirnya beliau meminta bantuan Allah dengan cara menyedekahkan beberapa bagian (saya lupa persisnya berapa bagian) gajinya. Dan qodarullah, gak lama setelahnya Mbak Esti mendapat mbak pengasuh untuk putrinya.

Nah, saya cerita itu sama mas suami. Tapi ya udah, cerita aja. Gak terus bilang, "Ayo mas, sedekah!" =D Padahal katanya yakin sama manfaat sedekah. Tapi yang di otak isinya ngitung terus. Kalo disedekahin segini, nanti tinggal segini, dan seterusnya -___-

Beberapa hari kemudian, dapet konfirmasi bonus tahunan dari kantor cair, YEAY! Saya sama mas suami kan sekantor, jadi dapetnya dua ya. Segerrr. Haha.

Eh pas mas suami pulang ke Jepara (waktu cuti melahirkan kami LDR-an Jepara-Semarang), beliau bilang bahwa beliau akan menyedekahkan seluruh bonus tahunan bagiannya. Sembari berdoa agar kami diberi kemudahan dalam menemukan 'teman' yang baik untuk Faza kalau nanti saya sudah masuk kerja.

Gimana perasaan saya waktu itu?

Terenyuh. Masya Allah, suamikuuu.

Tapi di sisi lain tetap ada perasaan semacam: Hah, semua??? Aduh, harusnya sebagian aja, atau seperempat aja. Kan lumayan sisanya bisa buat ini itu -____-

Iya, saya gak muna, sempat ada perasaan seperti itu. Meski saya cepat-cepat berusaha memungkiri.

Selang semingguan (kalau gak salah), mas suami yang -- saat itu ada di Semarang -- telfon. Ia mengabarkan sesuatu yang membuat saya menyesal karna sempat menyayangkan keputusan beliau soal sedekahnya.

Mas suami cerita, ibu mertua saya baru saja ngobrol dengan tetangga depan rumah -- sebut saja Bu Heri. Bu Heri bercerita, bahwa cucunya yang saat ini ditemani oleh Mbak Hana ketika ibunya kerja, rencananya akan ditemani oleh Bu Heri sendiri mulai bulan depan. Jadi mulai bulan depan Mbak Hana sudah lepas kontrak dengan anaknya Bu Heri.

Allahu Akbar!

Saya merinding. Pasalnya, hampir gak ada bayangan skenario seperti ini dalam benak kami sebelumnya. Jujur, Mbak Hana adalah orang yang dari awal kami 'incar'. Karena beliau juga lah yang menemani keponakan pertama mas suami dari bayi hingga umur dua tahun. Jadi track record Insya Allah kami sudah paham betul. Orangnya sangat telaten dan lembut. Tapi apa daya ketika beliau sudah dikontrak oleh tetangga depan rumah kami saat saya masih hamil 7 bulan.

Siapa sangka Mbak Hana dilepaskan tepat ketika kami butuh. Subhanallah walhamdulillah :') Saya dan mas suami menangis seketika saat itu.

See? Padahal mas suami baru sekedar bertekad untuk sedekah. Belum benar-benar mengeluarkan sedekah. Tapi kemudahan kontan Allah berikan jalan keluarnya.

Tapi di atas semua itu, ini semata-mata pastilah karna rahmat dan pertolongan Allah untuk kami. Sama sekali bukan karna kebaikan kami.

Sekali lagi, cerita saya ini semata-mata karna ingin mengingatkan diri saya pribadi agar tak sungkan bersedekah, sembari berharap cerita ini membawa manfaat bagi orang lain yang membaca.

Mari membeli masalah dengan sedekah :)

Tentang Rizki

on
Selasa, 06 Desember 2016

Seusai menemani ibu mertua menghadiri tasyakuran pernikahan putri teman kuliahnya hari sabtu kemarin, kami sholat dhuhur di masjid gak jauh dari lokasi acara. Setelah wudhu dan hendak mengambil mukena di almari masjid, tiba-tiba seorang wanita sebaya dengan saya menghampiri. Dengan tutur kata lembut ia mengajak sholat berjamaan, dan meminta saya menjadi imamnya. Saya sempat menolak dan meminta mbaknya saja yang menjadi imam, tapi ia kekeuh ingin saya mengimami. Baiklah, akhirnya saya bersedia.

Setelah salam dan dzikir beberapa saat, kami bersalaman. Si mbak yang menjadi makmum saya tersebut tiba-tiba berujar, 'mbak, tolong doakan saya agar segera hamil juga. Kan mbaknya lagi hamil, katanya doa ibu hamil Insya Allah mustajab'.

Masya Allah. Hati saya terenyuh seketika. Ingin sekali saya memeluknya, namun rasa canggung akhirnya membuat saya hanya mengelus-elus pundaknya sembari menjawab, 'Aamiin yaa Rabb... iya mbak, saya doakan Allah segera perkenankan seorang keturunan untuk mbak ya. Tetap tawakal dan jangan berhenti ikhtiar ya, mbak...'

Obrolan pun berlanjut. Termasuk memperkenalkan nama diri masing-masing. Mbaknya bernama Iva (bukan nama sebenarnya), umurnya sepantaran dengan saya, dan sudah tiga tahun menikah. Lalu mbak Iva bertanya dimana saya tinggal. Saya bercerita bahwa saya masih tinggal bersama mertua. Saya pun bertanya balik dengan pertanyaan yang sama. Saya kira Mbak Iva masih tinggal bersama mertua juga. Entah kenapa saya sok tau sekali. Ternyata Mbak Iva telah memiliki rumah sendiri bersama suaminya. Gak ingin merepotkan orangtua, katanya.

Ada sebersit iri yang seketika mengusik. Mbak Iva yang penampilannya amat sederhana dan pekerjaan yang gajinya pastilah gak beda jauh sama saya, ternyata sudah punya rumah sendiri. Sedangkan saya dan suami masih numpang. Perasaan itu masih sempat terbawa saat perjalanan pulang. Lalu saya sadar dan beristighafr. Bukankah takaran rizki Allah gak pernah salah dan selalu adil seadil-adilnya?! Lagipula, picik sekali rasanya jika saya iri pada Mba Iva hanya karena ia sudah memiliki rumah sendiri, dan melupakan fakta bahwa saya sudah dikaruniai Allah rizki berupa kehamilan, sedangkan Mba Iva belum.

Beginilah manusia. Seringkali lupa pada apa yang telah dikaruniakan, dan justru hanya fokus pada yang belum ada dalam genggaman.

oOo
Ingatan saya lalu terlempar pada potongan obrolan dengan seorang teman yang sudah lebih dewasa di kantor, pada hari sebelumnya.

Awalnya ia menanyakan apa perkiraan jenis kelamin anak saya menurut hasil USG.

"Insya Allah kambing dua, Pak" jawab saya. Kambing dua (untuk aqiqah) menyimbolkan bahwa anak saya Insya Allah berjenis-kelamin laki-laki.

"Lho, kalau bisa lebih dari dua kenapa tidak. Kan lebih bagus, anggap saja sedekah untuk anak" sahut teman saya tersebut.

Saya tersenyum, mengiyakan. "Doakan ada rizki ya, Pak" lanjut saya.

"Lho, kalau cuma ada rizki, gak usah doa, karena sudah pasti ada. Kan Allah menjamin rizki setiap hamba-Nya. Doanya itu, semoga ditambahkan rizki dari arah yang gak kita duga-duga, dan semoga diberikan rizki yang barakah" jawab teman saya.

Saya tertegun. Ah, iya juga ya. Kadang kalimat doa kita kurang tepat, tapi gak sadar sampai dengan ijin Allah ada yang mengingatkan. Saya sering berdoa, 'Ya Allah, berilah saya rizki', padahal gak satu detik pun Allah pernah membiarkan saya tanpa rizki. Itu hal yang sudah dijamin oleh Allah, bahkan yang atheis dan gak beriman pun Allah jamin rizkinya. Yang gak pernah dijamin itu adalah keberkahan atas rizki yang kita terima. Maka berkah haruslah kita mohonkan. Begitu juga rizki dari arah yang gak kita duga-duga. Selain perlu dimohonkan, hal tersebut harus kita usahakan.

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)”

 Apa usahanya? Cukup dengan berusaha menjadi orang yang taqwa.

oOo
Ingatan saya lalu meloncat ke beberapa sosok perempuan. Mereka perempuan-perempuan muda yang baru saja ditinggalkan sang suami menghadap pencipta, sedang bersamanya ada seorang balita yang menjadi tanggu jawab.

Saya yang hanya melihat, seringkali justru resah. Bagaimana mereka menjalani hari-hari ke depan. Bagaimana ia memenuhi segala kebutuhannya bersama putri tercinta. Yang mengagumkan, tak sedikitpun mereka menampakkan keluhan ataupun keresahan seperti yang saya rasakan. Yang mereka perlihatkan justru usaha demi usaha untuk menjemput rizki yang telah dijaminkan-Nya.

Saya malu melihat mereka. Betapa memasuki umur kehamilan tujuh bulan ini, saya sering dihinggapi keresahan soal rizki. Saat ini belum lahir saja kadang keteteran mengatur keuangan agar bisa cukup. Lalu bagaimana nanti jika anak saya sudah lahir dan yang pasti pengeluaran pasti bertambah, sedangkan gaji stagnan? Bagaimana nanti jika saya gak berhasil menemukan pengasuh untuk anak saya saat saya harus bekerja? Kalau saya resign, apa cukup jika hanya bergantung pada gaji satu pintu dari suami?

Astaghfirullah...

Sedangkal itu ternyata tauhid saya :( Saya lupa bahwa Allah menjamin rizki setiap hamba-Nya. Saya lupa bahwa rizki bukan soal seberapa banyak, namun soal seberapa berkah. Yang banyak tapi gak berkah, belum tentu cukup. Sedangkan yang sedikit tapi berkah, pasti cukup. Saya tau ilmunya, tapi ternyata ilmu itu belum benar-benar merasuk ke jiwa saya.

Daripada meresahkan sesuatu yang di luar jangkauan, bukankah lebih baik saya menyibukkan diri saja dengan meminta agar Allah karuniakan keberkahan dalam setiap rizki yang saya terima?!

Hati Yang Terbolak-balik

on
Senin, 07 November 2016


"Cieee sekarang udah kenal WA, ke mana-mana yang dipegang hape android. Padahal dulu bilang ogah ikut orang-orang pakai hape android, lha sekarang... ke kamar mandi aja android tetap dalam genggaman!!"

Begitu ledekan salah seorang teman kantor saya pada salah satu teman kantor yang lain. Pasalnya, mbak yang satu ini -- sebut saja Mbak Anggrek -- dulu memang pernah bilang gak mau latah sama perkembangan jaman, khusunya android. Saat itu dia bilang, hape butut yang cuma bisa telepon dan SMS sudah lebih dari cukup. Bikin nyaman dan gak ribet sama macam-macam aplikasi. Selang bulan, tiba-tiba Mbak Anggrek hapenya baru. Android! Dibelikan suaminya, katanya. Sontak hal itu bikin teman-teman, terutama yang memang punya hobi meledek, seperti mendapatkan sasaran empuk. Saya cuma mringis. Gak ada salahnya menurut saya. Namanya juga hati manusia, hati yang mudah terbolak-balik.

Saya jadi inget diri sendiri. Saya juga pernah seperti 'menjilat ludah sendiri'. Dulu saya pernah sok-sokan bilang gak mau pake BBM. Kesannya eksklusif bla bla bla, lebih pilih whatsapp bla bla bla. Sekarang? Haha, BBM menjadi salah satu aplikasi yang paling sering saya buka. Lalu ada lagi. Soal belanja online. Saya bilang, ogah belanja online. Masih lebih suka belanja cara konvensional di mana saya bisa meraba barang yang akan saya beli terlebih dahulu biar mantap, dll. Sekarang? Beli lipen aja online. Saya gak mampu menahan godaan iklan-iklan toko online yang tersebar di berbagai media. Tapi saya gak salah, kan? Kan hati manusia memang terbolak-balik. Iya-in aja, plis.

Hati yang terbolak-balik. Begitulah sifat manusia. Hari ini bilang enggak, beberapa jam lagi bilang iya. Kemarin bilang suka, hari ini bisa jadi gak suka. Besok bilang cinta, seminggu lagi bilang benci. Itu semua sangat mungkin, dan wajar. Bahkan ayat suci pun mengingatkan dengan gamblang, kalau cinta sewajarnya saja, karna bisa jadi esok akan jadi benci. Begitu juga sebaliknya.

Pelajarannya buat saya adalah, bersikap biasa dan sewajarnya saja pada hal-hal yang gak prinsip. Gak usah sok-sokan bilang enggak pada sesuatu, karna bisa jadi besok saya butuh dan jadi bilang iya. Kecuali sesuatu itu memang haram, lain soal -- karna itu prinsip sekali.

Kalo kamu gimana, pernah gak terbolak-balik hati pada sesuatu hal? Tadinya gak cinta jadi cinta, mungkin? Hehe.

Mengingat Kematian

on
Rabu, 19 Oktober 2016

Mengingat kematian. Tiap orang punya cara masing-masing untuk mengingat kematian. Ada yang sengaja menyiapkan kain kafan dari sekarang dan menyimpannya di lemari pakaian, hingga bisa dilihat setiap hari. Ada pula yang sudah memesan tanah makam sejak jauh-jauh hari. Tapi gak sedikit yang bahkan sama sekali gak merasa perlu mengingat momen itu.

Saya punya beberapa cara untuk mengingat kematian. Salah satunya dengan menelusuri jejak seseorang -- kenal ataupun tidak -- di akun media sosialnya. Ketika mendengar atau mengetahui kabar seseorang meninggal dunia, selain mendoakan, saya juga biasanya menghabiskan satu-dua jam untuk menelusuri jejaknya di media sosial. Membaca status-statusnya. Melihat apa saja yang pernah di share, posting, melihat interaksinya dengan teman-temannya, dan sebagainya. Dan cara itu cukup efektif untuk membuat saya terpekur beberapa saat. Betapa setiap yang berjiwa benar-benar pasti akan merasakan kematian.

"Setiap yang berjiwa akan merasakan mati"
 [QS. Ali Imran: 185]

Seseorang yang tadinya bisa cerita macam-macam melalui statusnya, membagikan berbagai kebahagiaan lewat foto, dan men-share berbagai hal yang menurutnya menarik kepada banyak orang, kini tak lagi kuasa membagi ceritanya. Tentang kehidupan barunya dan tentang betapa nikmat atau tersiksanya ia kini. Ia kini sendiri. Menjalani episode baru ceritanya dalam sunyi.

Hal lain yang membuat saya termangu adalah ketika membayangkan jika saya ada dalam posisi seseorang yang telah mendapatkan giliran merasakan kematian. Lalu teman-teman saya menelusuri jejak saya yang tertinggal di akun media sosial. Apa saja yang akan mereka dapatkan? Kata-kata kasar penuh nyinyir dan sindiran kah? Betapa malu jika perilaku buruk kita terekam di dalamnya. Betapa orang lain akan berbelas-kasihan dan meringis miris mengingat saya mungkin akan segera menerima balas atas segala jejak yang pernah saya cetak.

Saya menulis ini, karna kemarin bahkan hingga hari ini saya masih termangu setelah menelusuri jejak akun media sosial seorang Travel Bloger yang beberapa hari lalu mendapat giliran untuk kembali kepada-Nya. Iqbal Rois Kaimudin. Saya gak kenal beliaunya sedikitpun. Bahkan saya tau nama itu justru setelah sang pemilik nama telah berpulang. Tapi saya bersyukur diijinkan mengetahui kabar keberpulangannya, yang lantas mengantar saya pada akun media sosial serta blognya. Semoga Allah menerima segala amal baiknya, termasuk amal baik berupa tulisan yang amat sarat dengan rasa optimisme serta khusnudzon pada Allah ditengah ujian sakit maha berat yang dilaluinya.

Lalu Qodarullah juga, saya dikirimi file audio melalui whatsapp yang berisi sebuah nasehat dari seorang ustadz. Dalam rekaman tersebut sang ustadz mengingatkan bahwa apapun yang kita lakukan akan dihisab tanpa kecuali. Apapun. Tak terkecuali yang kita lakukan di media sosial.

Antara Memberi Kebaikan dan Menerima Kebaikan

on
Kamis, 29 September 2016
Pixabay.com

Dulu, saat masih pulang seminggu sekali memakai Bus antar-kota yang kondisi armadanya... yah, begitulah, saya sering sekali menghadapi dilema. Saat saya dengan segenap usaha berhasil mendapatkan tempat duduk, lalu tiba-tiba mata saya melihat wanita tua atau wanita yang membawa anak ada di tengah penumpang yang berdesakan berdiri tak mendapatkan tempat duduk. Hati saya pasti perang. Satu sisi, pastilah saya pengen berdiri, lalu memberikan tempat duduk saya untuk beliaunya. Di sisi lain, saya pengen tetep duduk. Jarak Semarang-Jepara itu sekitar dua jam perjalanan. Berdiri di tengah kondisi penuh sesak (ada yang pernah tau penuh sesaknya bus Semarang-Jepara kayak apa?) dan fisik yang lelah setelah bekerja, bukan hal enteng buat saya. Belum lagi bawaan saya tiap pulang kampung pasti selalu banyak (bawa baju kotor sih =P).

Oke, bilang semua itu alibi. Bisa jadi memang iya. Dan alibi-alibi itu sering bikin saya berhasil membungkam sisi hati saya yang berteriak menyuruh saya berdiri dan memberikan tempat duduk. Iya, saya pernah se-kikir dan se-tak berbudi pekerti itu :) *senyum miris sama diri sendiri*. Meski pernah juga sih akhirnya memberikan tempat duduk. Tapi jarang. 1:10 mungkin.Parahnya, sudah gak ngasih tempat duduk, saya masih pula sibuk merutuki para laki-laki gagah yang tetep duduk santai seperti tanpa beban dan dosa. Hati saya menuntut, kenapa gak mereka aja -- yang pasti fisiknya jauh lebih kuat dan hei, mereka LELAKI gitu loh. Kenapa harus saya yang juga wanita dan fisiknya jauh lebih lemah. Ah, saya ini... sudah kikir, cerewet pula menuntut orang lain. Hahaha.

Sudah berbulan-bulan saya gak pernah naik bus itu lagi. Tapi bukannya gak pernah lagi naik bus. Sekarang saya malah naik bus tiap hari, berangkat dan pulang kerja. Bedanya, bus yang saya naiki sekarang kondisi armadanya jauuuhhh lebih baik. Bus Semarang-Solo, ada yang tau? Nah, saya naik itu. Saya lebih sering dapet tempat duduk, Alhamdulillah. Yang naik kebanyakan para pekerja muda yang badannya masih pada kelihatan bugar-bugar, jadi jarang banget lah terjadi perang batin macam di atas.

Lalu tadi pagi, qodarullah saya gak dapet tempat duduk. FYI, semenjak hamil hampir tiap pagi kepala saya pusing, termasuk tadi pagi. Belum lagi perut yang agak nyeri gara-gara harus lari-lari kecil untuk mengejar busa yang akhirnya saya naiki tersebut. Saat saya mengelus-elus perut saya yang terasa agak nyeri itu, sempat terlintas harapan akan ada seorang penumpang laki-laki yang memberikan tempat duduknya untuk saya (sembari melirik barisan para laki-laki yang sepertinya gak satupun melihat saya). Tapi harapan itu segera saya tepis. Saya ingat perang batin saya dulu. Saya tau perkara 'memberikan tempat duduk' itu juga perkara yang membutuhkan berbagai pertimbangan. Saya berusaha tau diri dengan gak berharap, seperti saya dulu yang sering enggan memberikan tempat duduk saya. Belum lama berselang, seorang wanita setengah baya menepuk saya, "lagi hamil, ya?". Saya mengangguk. "Sini duduk sini," ucapnya lagi. Saya sungkan, berusaha menolak. Saya tib-atiba malu pada diri sendiri. Tapi si wanita setengah baya itu meyakinkan, "Sin duduk, gak papa". Akhirnya, saya duduk juga. *gak jadi punya malu* =D

Sembari duduk saya melamun. Mengingat momen perang batin saya di bus Semarang-Jepara dulu. Lalu saya berjanji dalam hati, saya akan lebih ringan hati memberikan tempat duduk pada orang lain yang terlihat lebih membutuhkan. Semoga saya selalu ingat janji saya itu. Lalu saya juga belajar. Tentang antara memberi kebaikan dan menerima kebaikan. Kita tau tangan di atas jauh lebih baik dibandingkan tangan di bawah. Tapi tanpa sadar kita lebih sering suka ada di posisi tangan di bawah. Minta ditraktir teman, misalnya. Itu apa kalau bukan ingin berada di posisi tangan di bawah?

Ya, itulah kita. Saat ada peluang memberi kebaikan untuk orang lain, kita sering tiba-tiba jadi kebanjiran berbagai alasan untuk mengurungkannya, dan merasa ada banyak orang lain yang harusnya jauh lebih pantas melakukannya dibandingkan kita. Sedangkan saat ada di posisi butuh kebaikan orang lain, kita berharap orang lain akan ringan hati memberikan kebaikannya untuk kita. Iya gak sih? Kita? Atau jangan-jangan cuma saya? =((


Belajar Dari Ibrahim: Tentang Taat Tanpa Tapi

on
Selasa, 13 September 2016
pixabay.com
Masih suasana idul adha, yah. Sudah habis berapa puluh tusuk sate? Haha.

Sosok yang paling tenar saat idul adham tiba, tentu saja Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam. Karena beliaulah yang menjadi penanda dimulainya ibadah qurban di tanggal 10 Dzulhijjah ini. Sudah banyak pake banget sih yang nulis tentang keteladanan dari seorang Ibrahim, hikmah-hikmah idul adha, de el el. Tapi tetep saja saya pengen nulis pelajaran apa yang bisa kita ambil dari seorang Nabi Ibrahim. Biar ada jejaknya di blog saya. Biar kelak anak keturunan saya bisa membaca apa yang pernah ada dalam pikiran saya melalui blog ini -- jika Allah ijinkan :)

Belajar dari Ibrahim. Bagi saya pelajaran utama dari rangkaian kisah baginda Nabi Ibrahim adalah tentang taat tanpa tapi.

Kita pasti tau, berapa lama beliau menanti untuk dikaruniai buah hati, saat usianya bahkan sudah teramat renta. Kemudian Allah memerintahkannya untuk meninggalkan buah hati yang dinanti-nantikannya itu di sebuah padang tandus, hanya bersama ibunya. Sepi, tanpa bekal, tanpa teman. Hati laki-laki (baik) mana yang tega. Tapi itu perintah. Bahkan Ibrahim memilih untuk tak memberikan penjelasan panjang lebar pada Hajar -- istrinya -- karna takut hatinya goyah. Hanya jawaban 'Ya' yang terlontar saat Hajar bertanya, "Adakah ini perintah Tuhanmu?". Taat tanpa tapi. Apa kabar jika kita yang mendapat perintah semacam itu?

"Tapi Allah, bukankah anakku masih bayi?"

"Tapi Allah, bukankah ini padang pasir? Bagaimana jika mereka lapar, haus, bla bla bla"

Belajar dari Ibrahim, juga seiring-sejalan dengan belajar dari Hajar. Coba bayangin kalau Hajar adalah kita. Mendengar 'hanya' jawaban YA, seribu-satu tapi hampir pasti tak terelekkan.

'Tapi anakmu kan masih bayi, di sini sepi, gimana kalo kita berdua laper??!!!'

'Tapi bagaimana nasib kami? Kamu tega!!! Kamu gak sayang sama kita!!' *ini sih versi lebay-ku, ya =D*

Tapi tidak. Hajar justru menjawab tegas, "Jika memang ini perintah Allah, maka tinggalkanlah kami. Allah tidak akan membiarkan kami". Masya Allah. Taat tanpa tapi.

Pelajaran tak berhenti sampai di situ. Taat tanpa tapinya Nabi Ibrahim masih terus ditempa Allah. Ketika Ismail -- buah hati yang dulu ditinggalkannya di padang pasir mendewasa, Ibrahim kembali diperintah Allah. Tak hanya diminta meninggalkannya, kini Ibrahim diminta menyembelih buah hati tersayangnya itu. Bayangkan! Menyembelih anaknya sendiri. Ibrahim galau. Lalu sebagai ayah yang bijak, ia mendiskusikannya dengan sang buah hati. Seperti ibundanya, Ismali pun berkata tegas, "Lakukanlah ayah, jikalau itu perintah Tuhan". Dan Ibrahim siap menyembelih. Sebelum akhirnya Allah menggantikan posisi Ismail dengan seekor domba dari surga -- yang hingga kini kita replikasi kejadiannya melalui ibadah qurban. Lagi-lagi kita belajar taat tanpa tapi dari Ibrahim. Juga Ismail. Tak ada keluh. Tak ada tanya.

'Tapi kenapa aku harus disembelih ayah??!!'

Tak ada.

Sedangkan apa kabar kita hari ini? Saya pribadi terutama. Taatnya saya pada orang tua, pada suami, bahkan pada Allah masih sebatas taat yang penuh syarat. Bahkan lebih panjang list syaratnya dibanding ketaatannya. Maka idul adha, semoga tak hanya jadi hari di mana kita bisa makan sate, rendang dan rica-rica sepuasnya. Melainkan bisa terus Belajar dari Ibrahim dan keluarganya, tentang taat tanpa tapi, terlebih pada apa yang diperintahkan oleh Tuhan Semesta Alam.

Tambahan sedikit, saya suka sekali dengan status seorang teman di facebook. Ia berkata, Ibrahim takkan sempurna mengaplikasikan cinta pada Rabb-Nya jika istri dan anaknya tak punya cinta yang sama pada Rabb-Nya. Ya, kalau Hajar dan Ismail banyak bantah dan banyak tapi kayak saya, bukan gak mungkin Ibrahim goyah dan mengurungkan niatnya untuk menjalankan apa yang Allah perintahkan.

Jika Hendak Berkurban, Jangan Lupakan Hal Ini

on
Selasa, 30 Agustus 2016

Idul Fitri rasanya baru kemarin, ya. Tiba-tiba sebentar lagi kita akan kembali mendengar gema takbir bergemuruh di seluruh pelosok negeri. Yup, Idul Adha sebentar lagi menghampiri :)

Apa yang sudah kita siapkan untuk menyambut akan datangnya idul adha? Baju baru? Sepatu baru? DUh, kalau itu rasanya idul fitri aja cukup kali, ya. Saat idul adha, betapa lebih bijaknya kita jika menyisihkan uang yang tadinya mau dibuat beli macem-macem itu untuk berkurban saja. Beli baju kan dua ratus-tiga ratus ribu, mana cukup buat kurban! Itu kan kalau budget buat sekali beli. Coba kalau budget setahun dikumpulin! Hehe. Intinya, mari berusaha agar kita menjadi orang yang mampu berkurban. Jangan malah terus-terusan terlena pada zona 'merasa' tidak mampu, dan terlanjur fasih mengatakan, "aku sih kurban perasaan aja!" tiap idul adha datang.

Nah, kalau sudah mampu dan tahun ini hendak berkurban, jangan sampai melupakan hal ini. Saya juga inget gara-gara kemarin ada yang mengingatkan. Hehe. Makanya pengen mengingatkan teman-teman yang lain juga lewat tulisan ini. Siapa tau ada yang lupa, atau malah belum tau :)

Apa sih hal yang gak boleh dilupakan itu?

Ini nih:

”Barangsiapa yang telah memiliki hewan yang hendak diqurbankan, apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, maka janganlah dia memotong sedikitpun bagian dari rambut dan kukunya hingga dia selesai menyembelih.” (HR. Muslim 5236, Abu Daud 2793, dan yang lainnya)
(Sumber: https://konsultasisyariah.com)
Nahh, sudah ingat dan sudah tau ya sekarang?! Jika kita punya niat hendak berkurban di idul adha besok, maka saat memasuki tangga 1 Dzulhijjah yang di kalender masehi jatuh pada hari Sabtu tanggal 3 September 2016 besok, maka janganlah memotong kuku atau rambut hingga hewan kurban kita selesai disembelih.

Emang kenapa sih?

Sebelum tanya kenapa, mari kita tanamkan dulu kuat-kuat dalam hati kita, bahwa apapun yang Allah atau Nabi Muhammad perintahkan atau anjurkan itu pastilah baik. Pastilah ada manfaatnya. Pastilah ada hikmahnya.

Jujur saja sebelumnya saya juga belum tau apa hikmah dari hadist tentang larangan memotong rambut dan kuku bagi shohibul kurban mulai 1 Dzulhijjah tersebut. Tapi qodarullah, tadi siang saya membaca sebuah artikel yang memaparkan tentang hal tersebut.

Kenapa kita gak boleh memotong rambut dan kuku sejak tanggal 1 Dzulhijjah hingga hewan kurban kita disembelih?

Salah satu hikmahnya adalah, agar seluruh anggota tubuh kita masih diperhitungkan turut berkurban dan mendapat pembebasan dari api neraka.

Wallahu A'lam bisshawwab...

Buat Para Single, Baca Doa Ini

on
Senin, 27 Juni 2016
Apa salahnya sih berstatus single? Ya gak ada yang salah! Kalo memang Allah masih memandang kita pantesnya jadi single dulu, ya jalani saja sebaik-baiknya. Lantar kenapa banyak orang seperti hobi sekali 'mengusik' orang dengan status single dengan berbagai macam pertanyaan yang bikin panas telinga? Entahlah, saya juga gak tau. Saya pernah merasakan jadi single, dan semoga saya tetep selalu ingat untuk gak ikutan 'usil' tanya-tanya kalo sekiranya gak bisa bantu.

Nah, bagi si single, kenapa sering merasa gak nyaman dengan status singlenya? Rasanya ingin sekali segera mengakhiri status tersebut dengan sebuah akad nikah. Setidaknya dulu seperti itu yang saya rasakan. Menurut saya sih wajar. Itu fitrah. Allah menganugerahkan kebutuhan fitrah untuk berpasangan dengan lawan jenis pada semua manusia. Jika semuanya sudah dirasa siap, baik ilmu, umur, finansial dll, ya wajar saja si single tak ingin berlama-lama terus menyandanga status tersebut. Iya, kan?

Sayangnya, keinginan untuk segera melepas status single tersebut seringkali gak semudah yang kita angankan. Allah selalu punya skenario-Nya sendiri yang kadang susah kita tebak. Orang yang kita gadang-gadang menjadi teman hidup, ternyata tak memiliki keinginan yang sama. Ada orang yang menginginkan kita, tapi tak kuasa membuat kita berkata 'iya'. Atau bahkan seperti tak ada satu pun bayangan, harus dengan siapa kita mewujudkan keinginan agar tak lagi jadi single. Ya, serumit itu kadang keadaannya. Dan saya sepertinya sudah pernah mencicipi semuanya. *Haha, buka aib*

Tapi kita bisa apa selain berdoa dan berusaha. Tapi dalam konteks jodoh, menurut saya, sebagai wanita andalan utama kita adalah doa. Mau usaha, usaha yang seperti apa? Dari dulu saya bingung. Kalo kata Tere Liye, berperilaku baik dan memperluas pergaulan adalah contoh bentuk usaha sih. Tapi yang terpenting tetaplah doa.

Mumpung masih bulan Ramadhan, apalagi ini sudah masuk sepuluh hari terakhir, saya ingin membagi lafal doa yang dulu sebelum menikah gak pernah putus saya baca. Doa ini kalo gak salah diajarkan oleh Ustadz. Yusuf Mansur melalui sebuah acara di televisi. Pertama kali mendengar dan alhamdulillah langsung hafal, saya jatuh cinta seketika pada doa ini. Sederhana, tapi sudah amat mencakup banyak hal. Begini lafalnya:

Rabbi Habli Min ladunkan zaujan thayyiban,
wayakuna shahiban lii fiddini waddunya wal akhiroh

Artinya kalo gak salah:
Ya Rabb, anugerahkanlah kepadaku seorang pasangan yang baik,
yang bisa menjadi sahabat bagi urusan agama, dunia, dan akhirat

Indah banget, kan? Kurang apalagi kalo sudah dianugerahi pasangan seperti itu?! Sejak tau lafal doa itu, saya selalu mengucapkannya sepenuh hati setiap selesai sholat, baik fardhu maupun sunnah. Saya gak lagi mengucapkan doa panjang lebar dan detail semacam 'anugerahkanlah untukku jodoh yang tampan, sudah kerja mapan, sudah punya rumah sendiri, rajin sholat, pinter ngaji, bla bla bla', karna ujung-ujungnya saya malah jadi gak khusyuk doanya karna sambil mikir, 'apa lagi ya, apa lagi ya?' hehe.
Saya gak bilang kalo istiqomah baca doa itu akan segera bertemu jodoh, ya. Ustadz Yusuf Mansur juga gak bilang gitu. Saya juga baca doa itu lima tahun lebih kalo gak salah sampai akhirnya Allah perkenankan saya bertemu jodoh. Tapi apa salahnya kan berdoa? Kan Allah berjanji, 'ud 'uni astajiblakum -- barangsiapa berdoa pada-Ku maka akan Ku perkenankan. Masa' kita mau gak percaya? :)

Jadii, buat para single, yuk jangan lelah dan jangan bosan berdoa! Kalo bingung mau doa apa atau gimana kalimatnya, doa pake doa di atas aja, sederhana tapi indah :) Semoga kita semua Allah jodohkan dengan pasangan yang bisa menjadi sahabt bagi urusan dunia maupun akhirat. Aamiin.

Perasaan Takut Berbuat Dosa, Ke mana Perginya?

on
Selasa, 15 Maret 2016
Dulu, saat masih SD, saya suka berimajinasi -- mungkin seperti kebanyakan anak kecil lainnya. Salah satunya saat melihat awan di langit kala siang. Setiap melihat ke langit dan menemukan gumpalan-gumpalan awan, saya berimajinasi bahwa di antara sela-sela awan itu merupakan tempat menghukum anak-anak yang nakal dan berbuat dosa.

Setiap saya berniat berbohong pada Ibu misalnya, saya langsung melihat awan, lalu bergidik ngeri. Saya berimajinasi bahwa kalau saya berbuat dosa -- yaitu berbohong pada Ibu -- maka akan ada nenek-nenek jahat yang mengambil dan membawa saya ke awan-awan itu untuk dihukum. Maka, dengan serta-merta saya pun mengurungkan niat saya untuk berbuat dosa membohongi Ibu.

Lalu bagaimana dengan hari ini?

Seiring dengan berkurangnya imajinasi saya sekaligus bertambahnya pengetahuan saya, saya pun tau bahwa imajinasi saya tentang awan adalah SALAH. Awan sama sekali bukan tempat untuk menyiksa anak yang berbuat dosa -- tentu saja kita semua tau tentang hal ini. Saya sudah mulai tau yang benar -- tentang di mana hukuman atas dosa diberlakukan, dll.

Tapi apakah dengan bertambahnya pengetahuan saya tentang dosa dan hukumannya, menjadikan rasa takut saya akan berbuat dosa juga semakin jauh meningkat dibanding saat saya masih sekedar bermain dengan imajinasi tanpa didasari pengetahuan? Dengan hati perih dan jiwa besar, saya menjawab jujur: TIDAK.

Jika dulu bayangan dihukum di awan sudah mampu membuat saya seketika mengurungkan diri berbuat dosa, bukankah harusnya pengetahuan tentang pedihnya neraka bisa jauh lebih ampuh untuk membuat saya berbuat dosa?! Sekali lagi, sayangnya tidak. Kini, saat hendak berbuat dosa dan terbayang akan neraka, akal (atau nafsu?) saya segera membisikkan: 'Kan Allah Maha Pengampun, nanti Istighfar...'

Laa Ilaha Illa Anta, Subhanaka Inni Kuntu Minadz Zhalimiin...

Pagi ini, di tengah kondisi hati yang diliputi kegelisahan, saya mendengarkan tausiyah Aa' Gym melalui YouTube. Saya pilih acak, yang judulnya sesuai dengan kondisi hati saya. Dan Qodarullah... PAS sekali nasehatnya untuk saya.

Dalam tausiyahnya, Aa' Gym mengatakan, bahwa Ibnu Mas'ud berkata tentang perbedaan orang beriman dengan orang munafik dalam menyikapi dosa yaitu, orang beriman memandang dosa seperti gunung yang amat besar dan siap menimpanya, sedangkan orang munafik memandang dosa seperti lalat. Subhanallah :(

Selain itu, Aa' Gym juga menasehatkan agar kita banyak-banyak bertaubat. Jika sedang dalam kondisi apapun, terutama kondisi sulit, sadarilah bahwa kemungkinan besar sebabnya adalah karna dosa kita yang belum kita taubati. jangan terburu-buru menyalahkan keadaan, apalagi orang lain. Fokus taubat saja. Seperti Nabi Adam yang sama sekali tidak menyalahkan Hawa saat ia diturunkan dari Surga, tapi hanya sibuk mengucap permohonan ampun: 'Rabbana Dzalamna anfusana...', atau seperti Nabi Yunus yang tak sedikitpun menyalahkan kaumnya saat ia dimakan Ikan Paus, melainkan hanya menyibukkan lisan berucap: 'Laa Ilaha Illa Anta, Subhanaka Inni Kuntu Minadz Zhalimiin...'

5 Manfaat Penting Mengenakan Jaket Motor dalam Berkendara

on
Kamis, 11 Februari 2016
dr. Google
Dalam berkendara menggunakan sepeda motor, terdapat beberapa komponen yang harus dipersiapkan. Apalagi jika Anda hobi melakukan touring yang menempuh perjalanan jauh. Disaat melakukan kegiatan tersebut, maka jaket motor touring merupakan salah satu perangkat berkendara yang wajib di gunakan. Ada beberapa brand jaket motor berkualitas merk FOX, KTM, Alpinestar, Dainese yang memiliki kualitas yang bagus sehingga sesuai untuk berkendara dan dikenakan dalam perjalanan dekat maupun jauh. Sehingga memakai jaket tak hanya sekedar untuk melindungi diri dari panas ketika di siang hari ataupun hanya sekedar bergaya semata. Pilihan tersebut pun memang menjadi salah satu manfaat penting dalam berkendara, akan tetapi terdapat pula sisi fungsi lainnya.

Ada beragam sisi fungsi dari sebuah jaket terlebih yang memang dikhususkan bagi pengendara bermotor. Yang mana fungsi tersebut menjadikan manfaat besar, antara lain ialah:

     Lebih menjaga tubuh dari suhu udara sekitar, entah itu saat sedang dingin ataupun panas.
     Melindungi tubuh dari udara sekitar yang dapat membahayakan kesehatan.
     Melindungi diri dari polusi udara dan debu lainnya dalam perjalanan.
     Cocok dipilih sebagai jaket pelindung tubuh, layaknya sebuah helm yang melindungi kepala.
     Memberikan bentuk perlindungan pada tubuh lebih optimal ketika berkendara.

Terdapat beragam keuntungan lebih dari penggunaan jaket motor. Terlebih pemakaian jaket tersebut tak hanya berlaku bagi mereka para racer saja, namun juga semua pengguna kendaraan bermotor terutama dalam menempuh perjalanan yang cukup. Tetapi, tak sedikit pula pihak-pihak yang belum menyadarinya dikarenakan suatu alasan. Bahkan ada pula yang sengaja tak memilih jaket khusus tersebut dikarenakan harga yang lebih mahal. Padahal, tarif tersebut memang mendukung atas kualitas dari produk jaket itu.

Keuntungan menggunakan jaket tersebut akan lebih maksimal bilamana diimbangi adanya pemilihan yang tepat. Untuk memilih jaket itupun ada beberapa caranya, seperti dengan berikut ini:

     Pilih jaket berdasarkan ukuran yang sedang saja, tak kebesaran ataupun terlalu limit.
     Ketahui ketebalan dari jaket tersebut.
     Pastikan di bagian siku terdapat pelindung extra.
     Pilih warna yang lebih cerah karena yang gelap dapat beresiko tak terlihat saat berkendara di malam hari.
     Pastikan bahwa jaket tersebut memiliki sisi pelindung yang lebih optimal, sedari bagian leher hingga pinggang.
     Pilih model jaket yang mudah untuk Anda pakai dan juga nyaman.
     Pastikan bahwa jaket tersebut memiliki bentuk-bentuk perawatan yang mudah.

Jaket khusus yang diperuntukkan bagi pengendara bermotor memang mempunyai desain yang berbeda dan lebih melindungi diri atas pengguna bersangkutan. Dari sini dapat diketahui bahwa model jaket motor tersebut lebih ditujukan demi perlindungan dan keselamatan pengguna selama dalam perjalanan. Seperti contohnya dari udara dan suhu sekitar yang dapat membahayakan tubuh karena saat sedang berkendara suhu sekaligus udara terasa lebih dingin, entah itu di waktu pagi, siang hingga malam sekalipun. Meskipun lebih melindungi, jaket ini juga didesain agar lebih memberikan kenyamanan bagi tiap-tiap penggunanya. Selain jaket sebagai pelindung tubuh, pengendara juga wajib menggunakan helmfull face yang berkualitas agar keselamatan Anda selalu terjaga dengan baik selama perjalanan.

Signature

Signature