Bicara ASI, Bicara Rizki

on
Kamis, 23 Maret 2017
Momen penting yang paling ditunggu-tunggu melahirkan adalah momen menyusui. Saya rasa, hampir semua ibu yang sehat jiwa raganya pasti ingin bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya dengan menyusui. Tak terkecuali saya.

Sejak awal kehamilan, saya selalu yakin bahwa ASI saya akan sangat lancar bahkan berlebih seketika setelah melahirkan. Saya berkeyakinan seperti itu karna pernah mendengar seorang teman bercerita bahwa ASI-nya sedikit lantaran faktor keturunan. Ia punya kakak perempuan yang ASI-nya juga sedikit. Nah, sedangkan kakak perempuan saya ASI-Anya sangat lancar, bahkan berlebih.

Apa salah keyakinan saya tersebut? Sama sekali tidak. Justru keyakinan positif konon juga salah satu faktor penentu.

Sayangnya, keyakinan bahwa ASI saya akan langsung lancar setelah melahirkan itu perlahan menjelma kesombongan, tanpa saya sadari.

Saat melihat teman minum jamu dan ASI booster, saya sesumbar. Nanti saya gak akan minum jamu (karna gak doyan), dan tanpa jamu ASI saya sudah lancar. Saat suami mengingatkan untuk makan macam-macam sayur dan kacang-kacangan yang baik untuk pelancar ASI saat masih hamil, saya jumawa. Dulu mbak saya gak perlu makan macam-macam juga ASI-nya tetap lancar jaya.

Saya lupa. Bahwa ASI merupakan bagian dari rizki. Dimana rizki, adakalanya ada yang Allah berikan kemudahan tanpa usaha berarti. Ada pula yang setelah berlelah-lelah berusaha baru diberi. Ada juga yang mengerahkan segala upaya, tetap tidak dikehendaki untuk memiliki.

Iya, saya sempat melupakan itu. Lalu Allah mengingatkan saya.

Sesaat setelah melahirkan, saya diminta menyusui. ASI saya belum keluar, tapi para bidan membesarkan hati saya. Gak apa-apa, wajar, disusukan saja, pasti akan segera keluar.

Esok hari, ASI saya tetap belum keluar. Alhamdulillahnya, bayi saya sama sekali gak rewel. Namun ibu saya mulai resah. Beliau menanyakan apakah sudah ada beberapa tanda-tanda pada payudara yang saya rasakan, sebagai tanda ASI akan segera keluar? Saya jawab belum. Saya gak merasakan apa-apa. Masih tetap seperti biasanya. Lagi-lagi para bidan di Puskesmas tempat saya melahirkan membesarkan hati saya. Gak masalah, bayi bisa bertahan tiga hari tanpa asupan apapun, karna masih punya cadangan dari dalam. Menguatkan saya untuk tidak memberikan susu formula. Saya kembali optimis.

Sekembalinya ke rumah, malam kedua bayi saya mencecap kehidupan dunia, ia mulai menunjukkan tanda-tanda lapar. Bangun setiap satu jam sekali. Terus saya susui, meskipun gak setetespun ASI keluar.

Esok harinya, orang-orang disekitaran mulai mengintimidasi. Kasihan. Tubuhnya mulai kuning. Dan lain sebagainya. Hati saya seperti diiris. Perih sekali melihat sorot mata bayi saya yang sayu. Lalu pertahanan saya jebol. Dengan berlinang airmata saya minta suami saya berangkat membeli susu formula.

Hari berganti hari, ASI saya masih tak kunjung keluar. Lalu perlahan saya tak lagi menyesali keputusan memberikan susu formula pada anak saya. Mau gimana lagi? Apa iya lebih baik membiarkan bayi saya kelaparan daripada memberinya susu formula?

Harusnya tetap disusukan saja terus agar terangsang.

Sudah selalu. Meski belum ada ASI-nya, saya tetap keras kepala meminta bayi saya menyusu.

Harusnya cari donor ASI.

Saya hidup di desa. Opsi ini terlalu sulit saya ambil.

Meski gak menyesal memberikan susu formula, tetap saja naluri saya sebagai seorang ibu tercabik. Saya sempat merasa bagai remah rengginang yang gak ada artinya. Saya sempat merasa 'cacat' sebagai seorang ibu.

Saya sempat mencari tahu apa sebab ASI saya sebegitu seret. Setelah melahirkan, saya anemia parah. Dua kali pingsan. Bahkan setelah sehari semalam, saya baru kuat berdiri, itupun sambil didampingi. Nafas saya masih sering sesak saat berjalan. Dan ternyata, melalui browsing saya menemukan penjelasan bahwa anemia dapat menghambat produksi ASI.

Berbagai usaha terus saya lakukan. Sekali lagi, ASI merupakan salah satu bentuk rizki. Dan saya percaya, rizki juga harus diusahakan. Masalah bagaimana nanti hasilnya, barulah bukan urusan kita.

Mengobati anemia dengan makan makanan bergizi dan minum obat adalah langkah pertama. Makan makanan yang konon melancarkan ASI adalah langkah kedua. Lalu langkah ketiganya, saya memutuskan untuk menggenapkan ikhtiar dengan membeli ASI Booster Tea.

Sunber: FB Pejuang ASI II
Di hari ke-9 usia bayi saya, ASI Booster Tea yang saya order datang. Di hari ke-10, payudara saya mulai terasa kencang, dan konsumsi susu formula di hari itu jauh lebih sedikit dari biasanya. Di hari ke-11, saya memutuskan untuk 'mencoba' menghentikan pemberian sufor, sambil menghitung berapa kali bayi saya BAK dalam 24 jam. Konon, tanda ASI cukup adalah saat bayi BAK 6 kali dalam 24 jam. Dan hari itu, bayi saya BAK sebanyak 8 kali (pagi hingga jam 8 malam. Yang setelahnya gak ketahuan karna saya pakaikan diapers).

Kalau dulu saya sesumbar gak akan minum jamu karna gak doyan, hari ini saya sudah lupa. Ternyata demi anak, lidah saya bersedia berdamai. Ya, ASI Booster Tea rasanya seperti jamu. Jujur saja gak enak. Kalau baunya seperti rempah-rempah, sedap. Tapi percayalah, naluri keibuan ternyata mampu membuat kita mengabaikan rasa yang gak enak itu. Saya biasa membuatnya di pagi hari. Dua sendok ASI Booster Tea, direbus dengan 750 ml air, selama 39 menit dengan api kecil. Lalu membaginya menjadi 3 bagian untuk diminum pagi, siang dan malam hari.

Alhamdulillah. Saya berucap syukur. Hati saya bersorak. Akhirnya Allah karuniakan rizki ASI pada saya setelah serangkaian usaha. Meskipun mungkin gak seberlimpah ASI para ibu yang lain, saya akan tetap mensyukurinya, agar Allah berkenan terus menambahnya. Aamiin.

Tips Move On Ketika Gagal Mendapat Beasiswa

on
Rabu, 22 Maret 2017

Semua orang pasti mengalami kegagalan di dalam hidupnya, misal gagal menerima beasiswa S1 di Jakarta, gagal diterima kerja di tempat yang diharapkan, gagal mendapat nilai terbaik di sekolah, dan berbagai kegagalan lainya. Berbagai kegagalan tersebut kerap menghantui hidup seseorang, sehingga ia tidak bisa tentang, sedih berlebihan, dan berbagai skeptis lainya.

Namun jangan khawatir, setiap kegagalan yang pernah Kamu lalui merupakan proses singgah dan pembelajaran terbaik sehingga Kamu tidak akan mengulangi kesalahan tersebut. Bagi Kamu yang gagal menerima beasiswa, misalnya beasiswa S1 di Jakarta. Jangan bersedih, berikut 4 tips move on saat gagal seleksi beasiswa:

1. Bersedihlah, Lalu Berdamai Dengan Hati
Bersedih saat gagal beasiswa merupakan hal yang wajar. Terutama ketika Kamu benar - benar mengharapkan beasiswa S1 di Jakarta tersebut. Kamu boleh bersedih, karena dengan bersedih dan menangis semua hormon stress dalam tubuh seseorang dapat dikeluarkan melalui air mata. Namun jangan terlalu lama. Kendalikan emosi Kamu. Sematkan dalam pikiran Kamu, bahwa kegagalan merupakan kesuksesan yang tertunda. Yakinlah Tuhan mungkin belum meridhoi saat ini tapi berikutnya pada saat yang tepat, pasti dapat.  

2. Berhenti Membandingkan Diri Kamu Dengan Orang Lain
Berhentilah membandingkan diri Kamu dengan orang lain yang lolos seleksi beasiswa. Kamu tidak tahu bagaimana usaha dan perjuangannya dalam meraih kesuksesan tersebut. Bisa jadi mereka telah melewati berbagai kegagalan yang jauh lebih berat dibandingkan dirimu. Cobalah berbahagia bersama mereka dan ucapkan kata - kata selamat. Hal ini bikin Kamu dapat lebih ikhlas dan siap untuk kembali bangkit.

3. Mulai Instropeksi Diri dan kenali Potensi
Setelah Kamu bangikit dari kegagalan, mulailah instropeksi diri. Kekurangan - kekurangan apa yang menjadikan Kamu tidak lolos seleksi. Kelemahan apa yang Kamu miliki sehingga tidak lolos dan perbaiki saat mendaftar selanjutnya. Sehingga kegagalan tersebut dapat menjadi evaluasi untuk menjadi lebih baik.

4. Bangkit Dan Coba Kembali
Jangan mudah menyerah, saatnya bangkit dan coba kembali. Pelajari evaluasi kegagalan yang sudah Kamu lakukan. Memang tidak mudah mendapat beasiswa termasuk beasiswa S1 di Jakarta. Sehingga perlu usaha lebih, semangat lebih agar lolos di seleksi selanjutnya.


Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Share Sesuatu di Media Sosial

on
Selasa, 14 Maret 2017


Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum share sesuatu di media sosial.

Di masa-masa awal kehadiran facebook, kita lebih sering disuguhi status-status ringan tapi menghibur. Kadang juga super gak penting. Semacam, 'mau mandi, tapi kok males ya..'. Atau ada juga yang so inspiring dengan membuat status-status bijak penuh peribahasa. Haha, ayo siapa yang pernah? *ngacung

Meski jika dikenang timeline facebook di masa itu terasa culun, adakalanya saya kangen. Apalagi jika melihat timeline facebook hari ini yang semakin 'berwarna'. Yang awalnya cuma jadi salah satu fasilitas efektif untuk jualan online, contohnya dengan menawarkan aneka sepatu wanita model terbaru, hingga kini menjadi sarana perang argumen soal politik. Omaigad...

Tapi saya gak muna. Ibarat candu, seperti ada yang kurang jika sehari saja gak menelusuri timeline facebook sehari saja. Seperti beberapa hari ini, karna melahirkan, jadilah saya sempat gak ngeh soal mbak selmadena dan mas haqy. Duh duh, langsung merasa kudet abiss. Hihi.

Nah, godaan sekaligus menjadi ajang mengendalikan diri sebagai pemakai aktif media sosial di era ini adalah, kemampuan untuk mengendalikan diri meng-'klik' tombol share. Yup, fasilitas share hampir ada di semua media sosial dengan istilahnya masing-masing. Dan itu membuat kita harus hati-hati sekali. Tau sendiri kan seberapa mengerikannya perkembangan berita gak bener alias hoax akhir-akhir ini :( Jangan sampai kita masuk ke dalam golongan penyebarluas hoax.

Saya bukan gak pernah sih asal nge-share gitu. Pernah kok. pernah banget. Tapi lalu saya belajar. Dan beberapa point di bawah ini adalah hal-hal yang menurut saya harus diperhatikan sebelum share sesuatu di media sosial.

1. Baca dulu sampai selesai

Sekarang ini, banyaaakkk banget berita atau tulisan ngawur. Yang antara judul dan isi gak nyambung sama sekali. Judulnya bahas operasi tangkap tangan salah satu politisi, eh isinya bahas operasi plastik ala artis korea. Itu misalnya aja sih. Hehe.

Tapi beneran ada kok artikel super ngawur gitu. Makanya, mari pastikan kita membaca isi dari link tulisan yang akan kita share. Jangan asal klik share mentang-mentang judulnya 'wow', terus kasih caption menggebu-gebu. Kan malu kalo ternyata isinya gak nyambung.

2. Sumber berita

Ini juga penting. Sebelum baca sebuah link tulisan, saya sering lihat dulu sumber beritanya. Saya cenderung enggan membaca berita yang sumbernya adalah sebuah website yang gak pernah saya tau sepak terjangnya sama sekali.

Mending baca dari portal-portal berita yang sudah jelas track recordnya lah. Seperti saat hendak beli aneka jilbab di tokopedia, ya saya pasti akan membeli ke seller yang saya sudah tau track recordnya. Iya, kan?

3. Isi Tulisan

Ini juga harus dipertimbangkan. Mari menjadi bagian orang-orang yang membuat media sosial sebagai sarana menyebarkan kebaikan. Salah satu caranya ya dengan gak perlulah menyebarkan sesuatu yang gak berisi, mengandung keburukan atau menyebarkan kebencian.

Apa kita gak pengen hidup damai?

4. Apa Manfaatnya?

Nah, terakhir, sebelum meng-klik tombol share, mari bertanya pada diri sendiri, "apa manfaatnya saya share tulisan ini, buat diri sendiri maupun buat orang lain?"

Kalau ternyata gak ada manfaatnya, ya buat apa di share? Dalam hal ini, share resep masakan atau macam-macam tutorial sepertinya sangat cocok. Hehe.

Yuk yuk, kita ciptakan atmosfer menyenangkan dan membahagiakan di media sosial. Biar makin bikin krasan dan menghibur. Hihi.

Kalau cuma nuntut orang lain untuk gak sembarangan share sesuatu yang gak baik dengan share balik tulisan-tulisan tandingan untuknya, ya apa bedanya kita dengan merekaaa???

Kalau kata Aa' Gym, mari mulai diri sendiri, mulai dari yang terkecil, mulai dari sekarang.

Setuju?! :)

Menjepret Kuliner Sederhana

on
Sabtu, 04 Maret 2017

Hari sabtu minggu lalu, saat mbak-mbak penjual sayur keliling datang, seperti biasa saya dan mas suami lekas turut mendekat bersama ibu. Bedanya, jika ibu mendekat untuk berbelanja sayur dan lauk untuk makan siang, saya dan mas suami lebih konsen memilih jajan pasar yang dibawa oleh mbak penjual sayur. Hihi.

Mas suami tiba-tiba berseru, "waahhh, jajan kesukaanku nih!". Saya pun menoleh. Ternyata yang dimaksud mas suami sebagai jajan kesukaannya adalah pisang molen. Jujur, saya baru tau hari itu tentang hal ini. Hihi.

Pisang molen merupakan salah satu jenis kuliner nusantara yang termasuk satu dari sekian banyak varian jajan pasar. Harganya murah meriah, dan sangat mudah ditemukan di penjual aneka kue di tepi jalan. Saya kurang tau pasti di daerah mana saja pisang molen familiar, yang jelas kalau di Semarang pastilah hampir semua orang tau.

"Kok gak dimakan, mas?" tanya saya pada mas suami yang tak kunjung memakan pisang molennya.

"Bentar, mau difoto dulu. Kangen jepret-jepret" jawabnya.

"Yah, pisang molen kok difoto... apa menariknya?" Sahut saya setengah mencibir.

Seperti kebanyakan orang di era media sosial saat ini, kami punya kebiasaan menjepret aneka menu kuliner nusantara yang sedang kami nikmati. Bedanya, kalau saya seringkali hanya tertarik menjepret makanan-makanan yang ditata secara apik dan menarik di tempat makan yang oke. Jadi kalau cuma makan di warung tenda pinggir jalan, jarang sekali saya menjepretnya terlebih dahulu.

Mas suami yang saat kuliah sempat punya hobi fotografi, serinh ceramah panjang lebar tentang hal tersebut. Bilang bahwa saya salah besar jika mengira kuliner yang menarik untuk dijepret itu hanya kuliner-kuliner di tempat makan keren. Bilang bahwa hal sesederhana apapun bisa jadi objek jepretan yang menarik, asalkan kita pintar mencari sisi terbaiknya dan memakai teknik yang benar saat menjepret.

Nah, weekend minggu lalu itu akhirnya mas suami membuktikannya pada saya. Dengan menggunakan Asus Zenfone Laser 2 milik saya, beliau mulai mengambil beberapa gambar pisang molen.


Saat melihat hasilnya, saya nyengir sendiri. Benar-benar gak nyangka jajan pasar harga lima ratus rupiah per bijinya, bisa jadi tampak menarik setelah dijepret menggunakan Asus Zenfone.



Saya jadi penasaran, kok bisa sih bagus gitu hasil jepretannya. Kok selama ini hasil jepretan saya standar banget, padahal kualitas kamera HP saya ini sama sekali gak buruk, bahkan sudah memiliki teknologi PixelMaster Camera yang membuat gambar menjadi empat kali lebih terang (HDR Mode), empat kali lebih sensitif cahaya (Low Light Mode) dan empat kali lebih detail (Super Resolution).


Kata mas suami, itu karena selama ini saya gak pernah berusaha meng-explore fitur kamera yang telah disediakan oleh Asus Zenfone Laser 2 dengan teknologi PixelMaster Camera ini. Pakainya cuma mode auto dan beautification terus. Hehe. Padahal Asus Zenfone telah menyediakan banyak sekali fitur kamera, termasuk mode manual yang bisa diatur fokusnya, aperture-nya dan shutter speed-nya seperti kamera DSLR.


Seperti saat menjepret pisang molen tersebut, mas suami menggunakan mode manual, yang disesuaikan dengan kondisi cahaya saat itu. Dengan bantuan laser focus yang dimiliki Asus Zenfone Laser 2, yang dapat mengurangi blur saat pengambilan gambar.

Sekarang pikiran saya jadi lebih terbuka. Foto bagus sama sekali bukan ditentukan apakah objeknya sesuatu yang 'wah' atau tidak. Hal sesederhana apapun bisa jadi foto yang bagus dan menarik asalkan menggunakan teknik pengambilan yang baik.

Sepertinya sudah saatnya saya mulai belajar fotografi dengan perangkat yang saat ini saya punya dulu, yaitu Asus Zenfone Laser 2. Nanti kalau sudah pintar, mungkin upgrade perangkat menjadi Asus Zenfone Laser 3 bisa dipertimbangkan *kedipin mas suami. Haha.


Artikel ini diikutsertakan pada Blogging Competition Jepret Kuliner Nusantara dengan Smartphone yang diselenggarakan oleh Gandjel Rel

Signature

Signature