Fiksi Mini: Tak Mengenal Batas

on
Selasa, 31 Maret 2015
Karang berlari-lari kecil menuju halte biasa ia menunggu Bus antar kota. Sudah hampir dua bulan Karang memilih untuk berangkat kerja menggunakan Bus. Padahal dulu ia paling anti – apalagi Bus Jepara-Semarang selalu overload penumpangnya. Motivasinya? Apalagi kalau bukan agar ia bisa bertemu dengan gadis berbulumata lentik itu. Ah, bahkan namanya saja ia belum tahu. Tapi ajaibnya, gadis itu terus memenuhi rongga dadanya – bahkan sejak pertama kali Karang melihatnya.

Gadis itu selalu sampai di halte tepat waktu – pukul 07.05, tidak lebih tidak kurang. Ia selalu diantar oleh lelaki beruban yang memakai seragam PNS. Pastilah Ayahnya, begitu Karang menduga. Sudah hampir dua bulan, dan pagi ini Karang bertekad menyapanya.

Tak lama kemudian, ekor matanya menangkap sosok yang ditunggunya. Turun dari boncengan, lalu mencium tangan ayahnya. Bersamaan dengannya, sebuah Bus datang. Gadis itu langsung meloncat ke dalam Bus yang sudah kelebihan muatan. Karang reflek ikut melompat. Ah, Tuhan berpihak padanya. Ia berdiri tepat di belakang gadis itu. Karang berpikir – mencari kalimat yang akan digunakannya sebagai pembuka percakapan.

“Kamu tiap pagi diantar Ayahmu, ya?” dengan suara bergetar akhirnya Karang berucap.

Gadis itu menoleh, lalu menggeleng. “Bukan, itu suamiku” sahutnya pelan.

Karang tertegun. Kakinya lemas, hatinya patah. Benarkah cinta tak mengenal batas usia?

oOo
**Fiksi mini ini dipilih Ibu Naning Pranoto sebagai fiksimini terbaik dalam event yang diselenggarakan oleh Raya Kultura tahun lalu.

RESEP IKAN BAWAL BUMBU A LA IBU

on
Jumat, 27 Maret 2015
Kemarin, tiba-tiba saya pengeeeen banget makan ikan bawal yang kayak biasanya dimasakin ibu di rumah. Akhirnya bela-belain ke pasar jam enam pagi, buat beli ikan bawal 2 ekor saja. Haha. Emm, 2 ekor itu kalo ditimbang beratnya seperempat kilogram lebih dikit, harganya Tujuh Ribu Rupiah.

Masaknya gampang, dan yummy menurut teman kost saya yang juga ikut nyicipin. Hehe. Jadi pengen membagi resepnya di sini. Siapa tau ada yang lagi pengen masak ikan bawal. Ohya, Ikan bawal tuh kalo di goreng doang kadang suka beraroma aneh gitu kan, ya? Kayak bau lumpur. Tapi kalo di masak kayak gini nggak akan ada bau kayak gitu lagi. Satu lagi, berhubung saya beneran nggak tahu apa nama masakan ini, jadi saya namain aja Bawal Bumbu A la Ibu. Haha...

Berikut resepnya:

Tahap pertama: Goreng ikan bawal yang sudah dibersihkan dan dicuci. Ikannya nggak perlu dikasih garam, biar tawar aja. Gorengnya juga nggak perlu terlalu kering, ya.

Tahap kedua: Siapin bumbu halus
Bumbu halus:
4 butir kemiri
4 siung bawang merah
2 siung bawang putih
4 buah cabe
1/2 sdt merica
Garam secukupnya
Gula merah aren 1/8 bulatan

Kemudian uleg semua bumbu tersebut hingga halus

Tahap ketiga: Penyelesaian
Panaskan minyak goreng, sedikit aja. Setelah minyak panas, masukkan bumbu halus, dan tumis sebentar hingga berbau harum. Setelah harum, masukkan air kurleb setengah gelas belimbing, lalu masukkan ikan bawal yang sudah digoreng tadi. Setelah ikan masuk, tambahkan daun salam dan serai -- biar aromanya makin harum. Habis itu tinggal ditunggu aja deh sampai airnya berkurang banyak, dan menyisakan bumbu kental. Ohya, kemarin saya tambahin kecap dikit beberapa saat sebelum api saya matikan. Udah, jadi deeehh... ikan bawal siap disantap.

Berikut penampakan masakan saya kemarin sore:
Tapi gambarnya sama sekali nggak menarik, apalagi menggoda, ya :((
Maklumlah, fotonya cuma pake kamera HP yang spesifikasinya pas-pasan banget,
dan sudah magrib pula. Jadi pencahayaan kurang.

Selamat mencobaaaaa :)

Gagal Memahami Undang-Undang

on
Selasa, 24 Maret 2015
Jaman masih sekolah dulu, menghafalkan point-point dalam Undang-Undang bisa dibilang seperti makanan sehari-hati. Sayangnya, kayaknya kita hanya ditekankan untuk hafal -- bukan paham. Pasal sekian tentang ini bunyinya seperti ini, pasal sekian tentang itu bunyinya seperti itu. Tapi apakah kita benar-benar telah memahaminya dengan baik? Lebih jauh lagi, apakah Undang-Undang benar-benar diaplikasikan, atau hanya sekedar hiasan formalitas?

Ada dua pasal dalam Undang-Undang yang bikin saya paling bertanya-tanya:

-Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “fakir miskin dan anakanak
terlantar dipelihara oleh Negara” => Bagaimana aplikasinya? Kenapa masih banyak sekali kita lihat fakir miskin dan anak terlantar yang harus jatuh bangun memperjuangkan hidup mereka di atas dua kaki mereka sendiri? Apa maksud 'dipelihara' yang tertera dalam pasal tersebut?


-Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" => Tapi kenapa masih ada profesi-profesi yang membatasi warga negara untuk beribadah? Contohnya paling sederhana, polwan dilarang memakai jilbab. Hei, padahal bukankah jilbab itu termasuk bagian dari ibadah bagi wanita muslim? Bukankah itu berarti negara memasung kemerdekaan para polwa yang ingin berjilbab?

Ah, entahlah. Saya bukan orang yang dengan semangat berapi-api mendukung dan meneriakkan ditegakkannya khilafah di Indonesia. Pemahaman saya masih sangat jauuuuhh tentang itu. Tapi hal-hal sederhana semacam dua point tadi, cukup sering mengusik lamunan saya. Mungkin saya saja yang memang nggak bisa memahami Undang-Undang dengan baik. Wallahu a'lam.

Curhat Wajib Pajak Baru: LAPOR SPT TAHUNAN 1770SS

on
Senin, 23 Maret 2015
Tahun ini untuk pertama kalinya saya punya kewajiban sebagai wajib pajak untuk melaporkan SPT Tahunan 1770 (Orang Pribadi). Gara-garanya, ya karna saya udah punya NPWP :( Jujur, ya, saya nyesel punya NPWP. Dulu bikin NPWP karna dipaksa sama atasan, demi kepentingan administrasi yang berkaitan sama tugas saya di kantor. Padahal gapapa loh ga punya NPWP. *biarin dibilang bukan warga negara yang baik* *blogpost ini mengandung ajaran sesat*

Tapiii, berhubung NPWP nggak bisa ditarik atau dicabut (kecuali si pemilik NPWP meninggal -_-), yasudahlah saya terima nasib saja.


Alhamdulillah, sudah lega karna tadi pagi sudah berhasil lapor SPT Tahunan. Saya memilih lapor lewat e-filing daripada lapor manual ke KPP. Lebih efisien waktu dan tenaga, nggak usah antri lama-lama di KPP :)

Nah, bagi teman-teman yang sudah punya NPWP, jangan lupa lapor SPT Tahunan, yaaa. Meskipun penghasilan belum melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) alias belom kena pajak alias nihil, tetap harus lapor. Maksimal tanggal 31 Maret ini -- untuk lapor SPT Tahunan 2014. Kalo nggak lapor, atau telat malah bakal kena denda loh. Duh, sayang banget, kan, uangnya bisa buat beli eskrim daripada buat bayar denda :p

Ah ya, kalau pengen lapor pake e-filing juga, harus tetep datang ke KPP dulu untuk minta E-FIN. Syaratnya, bawa KTP sama Kartu NPWP aja. Setelah dapet E-FIN, masuk ke efiling.pajak.go.id dan registasi deh. Ahh, setelah itu pasti temen-temen udah pada bisa deh, kan pinter-pinter semuaaa *alibi males jelasin* :D

Yuk, yuk... orang bijak bayar pajak *OHYA???!!!*

Meneladani Khadijah Atau Fatimah?

on
Jumat, 20 Maret 2015

Sayyidah Khadijah dan Sayyidah Fatimah adalah dua nama wanita luar biasa yang pasti sudah sangat akrab di telinga para muslimah. Dua wanita yang amat dicintai Rasulullah dan sama-sama mendapat jaminan surga. Dua nama tersebut kemudian menjadi nama yang paling terkemuka untuk menjadi tolok ukur keteladanan bagi para muslimah.

Bahkan, kisah mereka dalam memperjuangkan cinta sejati – yang kebetulan mewakili dua sisi yang berbeda – juga sering dijadikan banyak wanita sebagai tolok ukur. Sayyidah Khadijah memilih memperjuangkan cinta dengan mengambil inisiatif terlbih dahulu. Ia meminta seorang perantara yang dapat dipercaya untuk menyampaikan pada Muhammad tentang maksud mulianya. Sedangkan Fatimah berbeda. Ia memilih diam, menyimpan rapat perasaannya pada Ali. Fatimah mencintai dalam diam, hingga takdir Allah yang membuat ia akhirnya dipersatukan dengan cinta sejatinya.

Saya sering membaca tentang curahan hati seorang muslimah yang mengibaratkan penantian dan kisah cintanya seperti kisah Sayyidah Fatimah Radhiyallahu anha. Tapi ada perbedaan mencolok yang juga sering didapati. Jika Sayyidah Fatimah menyimpan rapat perasaannya pada Sayyidina Ali hingga – konon – bahkan setanpun tak dapat mengetahuinya, maka ini menjadi bagian yang teramat sulit hati ini. Menyimpan perasaan tapi sibuk stalking berbagai akun socmed si dia? Menyimpan perasaan tapi sering kirim sinyal melalui status-status galau, berharap dia membaca? Yah, mungkin saya juga pernah melakukannya (pengakuan dosa :D).

Seorang teman pernah bilang (FYI, teman saya ini laki-laki dan sudah menikah), “salahnya banyak wanita yang belum menikah tu mereka menunggu, menunggu, menunggu. Padahal kan nggak ada salahnya kalau mereka ambil inisiatif telebih dahulu dengan mengajak menikah!”

Waktu itu saya cuma melongo. Nggak tahu harus komentar apa. Iya, mungkin memang begitu. Tidak ada salahnya wanita ambil inisiatif terlebih dahulu. Meskipun tentu saja dibutuhkan persiapan mental yang jauh lebih mapan sebelum melakukannya. Karan akan selalu ada dua kemungkinan: diterima atau ditolak.

Yang disayangkan, dalam kelaziman budaya masyarakat kita, masih saja ada yang menganggap bahwa nggak seharusnya wanita menawarkan diri terlebih dahulu. Stigma bahwa meneladani sikap Sayyidah Fatimah yang menyimpan rapat perasaannya seolah jauh lebih mulia, sedangkan menawarkan diri terlebih dahulu seperti yang dilakukan Sayyidah Khadijah adalah memalukan sepertinya terbentuk secara tidak sengaja. Padahal sama sekali nggak seperti itu sebenarnya. Dua cara tersebut sama-sama mulia – kita pasti setuju tentang itu. Tapi tentu saja kita harus menimbang dengan matang sebelum meutuskan untuk meneladani satu dari dua cara memperjuangkan cinta tersebut.

Jika masih merasa mampu menyimpan perasaan, memperjuangkan melalui doa sekaligus menjaga kehormatan perasaan, mungkin meneladani sikap Sayyidah Fatimah adalah pilihan yang mulia. Tapi jika perasaan sudah semakin meletup-letup, benak tak bisa lepas dari bayangan wajah si dia, mungkin menyiapkan mental untuk meneladani cara Sayyidah Khadijah menjadi pilihan yang lebih bijak. Yang jelas, niat utama yang harus terus diluruskan: Lillati ta'ala. Wallahu a’lam bisshawab :)

Kalau ada yang memperjuangkan cinta dengan caranya Sayyidah Khadijah, boleh dong dibagi ceritanya ;)

[Hijab Syar'i or Hijab Model?] Merasa Menjadi Diri Sendiri Dengan Jilbab Sederhana

on
Rabu, 11 Maret 2015
 “Perumpamaan wanita yang berjilbab dengan wanita yang tidak berjilbab itu seperti emas murni yang belum ditambang, dan mutiara yang telah diolah. Mereka sama-sama bernilai. Bedanya, kalau emas murni bebas dijamah para penambang yang seringkali tangannya kotor penuh lumpur. Sedangkan mutiara yang telah diolah, diletakkan dalam kotak kaca. Tak semuanya boleh menjamahnya, hanya orang-orang tertentu yang punya hak yang bisa”

Kata-kata tersebut diucapkan oleh Mbak Inas – pengisi mentoring mingguan di kampus dulu. Kata-kata yang membuat kemauan saya untuk berjilbab lebih baik terpantik, kemudian menjelma menjadi kobaran tekad.

“Saya takut diomongin para tetangga, mbak, kalau saya pakai jilbab. Kan saya bukan anak pesantren,” ucap saya saat masih dalam masa pertimbangan untuk memulai berjilbab di rumah. FYI, sebelumnya saya sudah pakai jilbab, hanya saja cuma ketika bepergian atau saat kuliah.

“Memangnya yang harus pakai jilbab hanya yang dari pesantren saja? Ocha pilih mana, nggak diomongin tetangga tapi Allah nggak ridho sama Ocha, atau diomongin tetangga tapi Allah ridho sama Ocha?” jawab Mbak Inas.

Beberapa hari setelah obrolan itu, Alhamdulillah saya benar-benar memutuskan untuk memperbaiki jilbab saya – terutama ketika di rumah.

Beberapa tahun belakangan ini, keputusan untuk berjilbab mungkin bukan keputusan yang ‘luar biasa’ dan aneh lagi. kalangan artis muda yang dulu masih amat jarang yang berjilbab pun yang berhijrah terus bertambah jumlahnya. Meski begitu, bukan berarti keputusan tersebut tidak perlu lagi kita apresiasi.

Entah kapan tepatnya dan siapa pencetus pertamanya yang membuat mode jilbab di Indonesia menjadi amat berwarna seperti hari ini. Berbagai macam tutorial cara berjilbab menjamur di Youtube. Dan jilbab tak lagi dilabeli kuno dan kampungan seperti entah berapa tahun silam.

Saya pernah turut mencoba mengubah gaya berjilbab saya dengan meniru beberapa tutorial jilbab yang tekun saya tonton di Youtube. Ya, di tengah ketidakstabilan kondisi hati saya setelah lepas dari lingkungan pergaulan kampus yang amat kondusif, saya berusaha ‘mengupgrade’ penampilan menjadi sedikit lebih modis. Tapi tidak lama. Karna pada akhirnya, saya sadar saya tengah membohongi hati saya sendiri. Saya tidak nyaman dengan gaya berjilbab seperti itu. Saya merasa sedang tidak menjadi diri saya sendiri. Saya masih selalu jatuh cinta setiap melihat muslimah engan jilbab panjangnya. Rindu mengetuk-ngetuk, dan akhirnya saya memutuskan untuk kembali menjadi diri saya sendiri: berjilbab dengan sederhana.

Tapi tentu saja bukan berarti berjilbab modis itu salah. Saya tidak termasuk dalam lingkaran yang punya keyakinan seperti itu. Saya justru prihatin saat beberapa orang – sesama muslim – justru ramai-ramai mencemooh para muslimah yang memilih berjilbab modis. Hei, kita sama-sama muslimah, kita saudara! Bukankah lebih baik jika kita saling mendukung? Jika ada saudara kita yang memilih berjilbab modis, jangan serta-merta dijudge bahwa niatnya untuk tabarruj. Sejak kapan kita diberikan hak untuk menilai niat seseorang? Rasanya lebih baik dan lebih bijak jika kita saling mendoakan agar selalu diberi keistiqomahan dalam kebaikan. Iya, kan? :)


Jangan Egois

on
Rabu, 04 Maret 2015
Beberapa hari ini air di kost saya sedang nggak lancar. Gara-gara itu, kami (para penghuni kost) jadi beberapa kali ‘terpaksa’ ngungsi sholat di musholla pom bensin sebelah kost. Dan saat mengungsi sholat itu saya mendapati beberapa hal yang menggelitik untuk dituliskan.

Seringnya saya mengungsi sholat di musholla pom bensin saat waktu sholat maghrib dan isya’. Tahu kan maghrib itu waktunya sempit? Di hari pertama mengungsi, kesalahan terbesar kami adalah tidak membawa mukena sendiri – ngandelin mukena fasilitas musholla. Waktu sampai di musholla, ternyata kami harus antri, karena ada beberapa orang (yang sepertinya seumuran kami) juga tengah hendak sholat, dan sudah menggunakan mukena. Yang saya heran sekali, sudah tahu ada yang mengantri mukena, bisa-bisanya loh mereka itu bercanda dulu sebelum sholat. Nggak cuma bercanda, mereka juga pake acara debat tentang siapa yang harus menjadi imam. Tadinya saya cuma geleng-geleng. Tapi melihat jam yang sudah hampir jam setengah tujuh, ya akhirnya saya ‘terpaksa’ menegur. Fiuuhh, saya juga salah sih. Pertama, ya itu tadi – nggak bawa mukena sendiri. yang kedua, karena saya sempet nggrundel di hati. hehe

Kejadian kedua yang juga bikin nananana terjadi tepat di hari berikutnya – pas sholat magrib juga.  Di hari kedua kami sudah lumayan pinter sih (baca: sudah bawa mukena sendiri). tapiii, ujian hatinya ganti masalah tempat. Musholla pom bensin luasnya seberapa, sih? Bisa bayangin, kan?! Kalo gak salah ukurannya Cuma 3x3. Hari itu yang transit buat sholat maghrib lumayan banyak. Kami (lagi-lagi harus antri). Yang bikin kami harus ngelus dada, ada seorang ibu-ibu (masih lumayan muda) yang setelah menyelesaikan sholat maghrib masih khusyuk dzikir pake tasbih, lalu masih sempet sholat sunnah ba’diyah maghrib juga. Iyaa, saya tahu dzikir dan sholat rawatib itu baik (yaiyalah!). Tapi gimana yaa… waktu itu yang antri banyaaakkk – cewek-cowok, posisi beliau itu di tengah-tengah. Apa iya masih bijak memperpanjang dzikir dan sholat sunnah, sementara di lain sisi beliau membuat beberapa orang jadi antri lebih lama, dan sholat (wajib) di akhir waktu.

Hm, jadi merenung. Jangan-jangan selama ini masih sering ‘egois’ dalam beribadah. Jangan lupa, kalau kita ingin masuk surga, orang lainpun sama – ingin masuk surga juga. Surga luasnya seluas langit dan bumi kan, ya? Jadi, daripada mengedepankan ego untuk masuk surga sendirian, lebih baik toleh kanan-kiri, siapa tahu ada yang mau masuk surga juga. Gandeng dan bantu biar bisa masuk surga bareng. Jangan egois :)

Signature

Signature