#BeraniLebih Percaya Diri Dan Melawan Rasa Minder

on
Kamis, 30 April 2015
Tadi malam seorang sahabat mengirim sebuah link tentang salah satu event lomba melalui Whatsapp. Hadiahnya cukup menggiurkan. Tapi 'penjajah' saya segera menyerang. Penjajah itu apa lagi kalau bukan rasa minder.

"Hadiahnya menggiurkan, pastilah yang ikut buanyaaaakk. Pasti yang ikut yang tulisannya sudah keren dan sudah malang-melintang di event-event lomba semacam ini. Ahh, pasti nggak menang deh!" begitu pikir saya.

Saya lalu mengungkapkan pikiran tersebut ke sahabat saya tersebut. Ia bilang, jangan terlalu sering melihat lawan kalau hal itu membuat kamu jadi minder. Tidak ada salahnya mencoba, rizki kan nggak ada yang tahu... bisa buat sarana belajar berkompetisi juga -- begitu tambahnya. Ia memotivasi saya untuk #BeraniLebih percaya diri dan tidak takut mencoba.

Ah, jangankan mengikuti lomba yang hadiahnya cukup besar seperti ini. Dulu, untuk akhirnya memberanikan diri mengikuti event giveaway yang penyelenggaranya adalah teman sendiri, dan pesertanya adalah orang-orang yang sudah sangat familiar saja saya harus membujuk diri sendiri mati-matian dulu. Padahal setelah memberanikan diri ikut beberapa giveaway, nyatanya nama saya sempat terpilih beberapa kali menjadi pemenang. Artinya, apa yang saya takutkan tidak selalu terjadi -- bahkan lebih sering salahnya.

Rasanya, penyakit minder saya ini sudah menjajah saya sejak masih TK. Saya ingat sekali dulu pernah dinasehati guru saya karena saya terlalu sering sibuk memperhatikan pekerjaan teman saya, sehingga pekerjaan saya justru terbengkalai. Dan saya ingat sekali alasan saya memperhatikan pekerjaan teman saya adalah karena saya merasa pekerjaan dia jauh lebih bagus dibanding pekerjaan saya.

Ah, rasanya rasa minder sudah terlalu lama menjajah saya. Saya tahu saya tidak akan membuat lompatan yang luar biasa jika saya terus-terusan seperti ini. Saya akan semakin jauh tertinggal dari teman-teman saya yang lain. Saya tahu bukan hal mudah untuk menghilangkan sifat minder dalam diri saya yang sudah melekat sekian lama. Tapi saya yakin bukan hal yang tidak mungkin, asal tekad saya teguh. Ya, Bismillah, saya bertekad untuk #BeraniLebih percaya diri dan melawan rasa minder.



Twitter: @Rosa_Alrosyid
Facebook: Rosalina Susanti

Sosok Ibu Mertua (Yang Masih) Dalam Angan

on
Senin, 20 April 2015

Seperti halnya pernikahan, bayangan tentang sosok ibu mertua saya kelak juga sudah mulai terbayang sejak usia saya masih terbilang belia *terus sekarang udah tua, ya?!*

Sayangnya, yang sering terbayang bukannya tentang sosok ibu mertua impian atau idaman – melainkan sosok ibu mertua yang cukup mengerikan, dan semoga saya terhindar darinya. Apa pasal? Karna saya cukup sering disuguhi drama pertikaian #tsaahhh antara menantu perempuan dan ibu mertua. Otak saya seperti terdoktrin bahwa antara dua pihak itu tuh nggak bakal bisa akur. Hingga doktrin itu mulai perlahan luntur ketika melihat kakak perempuan saya dan ibu mertuanya yang seperti teman baik. Sejak saat itu saya mulai percaya bahwa ibu mertua pun nggak semuanya kejam – sama seperti ibu tiri. Yah, main pukul-rata memang nggak pernah bisa dibenarkan.

Ahya, saking kepikirannya soal drama menantu vs ibu mertua ini, saya sampe pernah nulis tentang itu. Dan tau nggak... postingan itu merupakan postingan dengan angka viewer paling tinggi di blog saya. Saya jadi narik kesimpulan bahwa tema tentang hubungan menantu wanita dan ibu mertua ini merupakan tema yang menghantui banyak pihak.

Sepupu saya ada yang juga takuuuuuttttt banget sama bayangan sosok mertua. Saking takutnya, dia sampe berdoa dapet suami yang yatim piatu biar nggak ngerasain punya mertua. Dan beneran loh, dikabulin sama Allah! :D. Jujur nih ya, saya sempet terinspirasi sama kisah sepupu saya itu, dan sempet iseng berdoa kayak dia. Jadiii, saya sempat selalu bertanya-tanya ‘apakah dia jodohku?’ tiap punya temen cowok yang ibunya sudah nggak ada. Ahihihi, Ya Allah... nggak banget, ya! Tapi saya sudah taubat, Insya Allah. Saya meralat doa yang sempat terlontar itu, dan semoga Allah belum meng-ACC SK pengabulannya. Aamiin. Ampun ya Allah, ampuuunnn.....

Menurut saya, agar hubungan antara menantu wanita dan ibu mertua bisa harmonis, kunci pertamanya – salah satunya – ada di tangan si menantu, sih. Seberapa bersedia menantu memahami si ibu mertuanya. Seberapa lapang dada si menantu untuk menyisihkan egonya untuk menerima suami satu paket sama ibunya. Yah, kalo saya pikir-pikir, nggak mudah lho rasanya ada di posisi seorang ibu yang harus ‘merelakan’ anak laki-lakinya menikah. Anaknya – yang ia timang-timang dan sayang-sayang sejak bayi, setelah dewasa – ganteng, mapan, dll – k ini harus ia lepas untuk ‘wanita lain’ yang mungkin akan lebih banyak menyita waktunya. Jadi kita para menantu wanita (kita?) harusnya lebih sabar, ya, menyelami perasaan si ibu mertua yang (mungkin) sedang dibakar api cemburu. Lhah, kalo si menantu apa-apa diambil hati yawis, pertumpahan darah *halah* pasti terjadi.

Emm... Pernah denger, kan, tentang aturan dalam Islam bahwa yang nomor satu bagi wanita setelah menikah adalah suaminya, sedangkan yang nomor satu bagi laki-laki yang sudah menikah TETAP ibunya?! Aturan ini sempet bikin agak gimanaaaa gitu sih buat saya. Semacam: kok nggak adil? Dia nomor satu buat saya tapi kenapa saya bukan yang nomor satu buat dia? Dll. Beberapa waktu lalu seorang teman juga sempet bertanya tentang ini sama saya, dengan mata berkaca-kaca – nggak tau kenapa sih tapi.

Alhamdulillah saya dapet jawaban yang bikin saya bisa berdamai dengan hati saya sendiri. Tapi sayangnya saya lupa dapet jawaban ini dari mana – entah denger dari siapa atau baca di mana. Yang jelas, kurang lebih seperti ini penjelasan bebasnya.

Kenapa yang nomor satu bagi seorang istri adalah suami? Karna suami adalah laki-laki yang tadinya bukan siapa-siapa kita, nggak punya ikatan darah sama kita, kenal belum lama, dan dia tiba-tiba bersedia ‘mengabdikan’ hidupnya bagi istri; menanggung hidupnya – jasmani dan rohani, bahkan sampai dosa-dosa sang istri pun suami harus ikut bertanggungjawab.

Lalu kenapa yang nomor satu bagi suami tetep harus ibunya? Ya karna dia nggak akan bisa menjalankan tugas beratnya sebagai seorang suami kalo bukan karna ibunya.

Yah, kira-kira begitulah. Yang jelas, aturan-aturan yang tampak kurang adil di mata kita, semata karna keterbatasan ilmu kita dalam memahami ketentuan-Nya tersebut.

Yup, sekali lagi saya mengingatkan diri sendiri dan siapapun yang baca tulisan ini: jangan cuma berdoa dapet suami yang baik, tapi berdoa juga dapet ibu mertua yang baik :)

Emm, saya mau menyampaikan sebuah kalimat untuk (calon) ibu mertua saya yang masih dirahasiakan Allah – dimanapun berada (siapa tau salah satu yang baca adalah ‘beliau’, haha):
Ibu, terima kasih telah merawat dan mendidik (calon) imam saya dengan baik. Saya janji akan menjadi istri yang selalu berusaha membantu beliau untuk mempersembahkan bakti terbaiknya padamu.

Random...

Lagi-lagi saya harus ada di situasi seperti ini
Antara iya dan tidak
Antara yakin dan ragu
Antara hendak manju dan mundur

Lagi-lagi saya harus ada di situasi seperti ini
Dan saya masih tetep nggak tahu harus mengambil keputusan apa

Ya, karna sekali lagi...
Saya pernah merasa yakin
Keyakinan yang akhirnya mengkhianati saya

Hingga akhirnya saya merasa tak lagi bisa mendefinisikan keyakinan saya sendiri

Udah sih, gitu aja! :p
Doakan saya bisa ambil keputusan terbaik, ya :)

Resep Pancake Lembut Untuk Ponakan Paling Ayu

on
Rabu, 08 April 2015
Hari Jum'at pas tanggal merah kemarin, ponakan saya -- seperti biasa -- minta dimasakin yang agak aneh-aneh sama tantenya yang aneh cantik ini *nggak boleh protes*. Dan kemarin, yang diminta sama si Andien adalah pancake. Sebenernya udah beberapa kali sih saya bikinin si Andien pancake. Cuma, dari beberapa kali percobaan sebelumnya, hasilnya selalu bantet -_-. Mungkin karna saat itu saya asal nyomot resep dari sumber yang kurang bisa dipercaya.

Memang bener ya, hasil itu nggak akan mengkhianati usaha. Karena saya nggak nyerah buat nyoba, kemarin akhirnya pancake saya bisa lembuutttt dan nggak bantet. Yeay!!!

Saya nyomot resepnya dari web masak favorit saya. Buat yang pengen ikutan nyoba, saya copy-in disini, yaa :)

Bahan:
- 110 gram tepung terigu serba guna (Mis. Segitiga Biru) --> saya nggak pake Segitiga Biru sih, hehe
- 1 1/4 sendok teh baking powder  (gunakan yang double acting, pastikan masih fresh, cek masa pakainya)
- 1 1/2 sendok makan gula pasir
- 1/4 sendok teh garam
- 1 butir telur ayam ukuran besar, kocok lepas
- 135 ml susu cair ( atau bisa diganti dengan 3 sendok makan susu bubuk full cream + 130 ml air aduk rata) --> Saya pake 1 sachet susu kental manis putih
- 2 sendok makan mentega atau 40 gram, cairkan. Jika menggunakan margarine, skip penggunaan garam di resep.
- 2 sendok teh white vinegar, bisa dibeli di supermarket. Bisa diganti dengan air jeruk nipis --> Saya pake dua sendok jeruk nipis

Cara membuat:
Dalam mangkuk kecil campurkan susu cair dan white vinegar (atau air jeruk nipis/lemon), aduk rata dan diamkan selama 5 menit agar susu menjadi asam. Fungsinya sebagai pengganti buttermilk, untuk membuat tekstur pancake menjadi lembut dan empuk.
Dalam mangkuk terpisah aduk bahan kering: tepung terigu, garam, baking powder dan gula hingga rata dan gumpalan di tepung menghilang.Siapkan mangkuk ukuran sedang, masukkan mentega cair (pastikan mentega telah dingin ketika dicampur telur), telur kocok dan susu. Aduk semua bahan hingga tercampur rata. 

Tambahkan tepung terigu ke dalam kocokan telur dan susu, aduk ringan dan sebentar saja dengan spatula hingga semua bahan basah dan tercampur.  Jangan mengaduk berlebihan.

Siapkan pan datar anti lengket, oleskan sedikit mentega. Tuangkan satu sendok sayur adonan ke atasnya. Tunggu hingga keluar gelembung-gelembung kecil di permukaan adonan, anda boleh mengintipnya untuk melihat apakah dasarnya telah kecoklatan.Balik adonan untuk memasak sisi sebelahnya,  jangan di tekan, biarkan pancake matang. Jika telah kecoklatan, angkat. Lakukan hingga semua adonan habis.Pancake siap disajikan dengan madu dan topping lainnya.

Dan ini hasil pancake saya, taraaaa:


Berhubung saya nggak punya cetakan, hanya pake teflon, jadi pancakenya melebar dan tipis. Trus sebenernya pengen pake toping es krim. Berhubung males keluar rumah buat nyari es krim, akhirnya pake pisang hasil petikannya Bapak dari kebun sendiri deh. Hehe :)

Tentang Akademi Menulis Jepara (AMJ) dan Mas Adi Zamzam

on
Senin, 06 April 2015
Duluu sekali, saya juga sempet sedih mendapati Jepara nggak punya banyak pilihan kegiatan positif bagi warganya (terutama anak muda). Irii sekali lihat teman-teman di kota lain yang punya banyak kegiatan bareng teman-teman sekotanya. FLP lah, taklim lah, dll. Lalu dua tahun belakangan, saya mulai mengenal satu per satu orang asli Jepara yang membuat saya sungguh kagum. Mungkin mereka bukan orang-orang dengan catatan prestasi luar biasa. Mereka sederhana. Tapi bagi saya kesederhanaan mereka mengagumkan.

Beberapa bulan lalu, salah satu mimpi saya menjelma nyata. Mimpi yang menjelma nyata itu bernama: Akademi Menulis Jepara (AMJ), yang dilaunching bulan Januari 2015 lalu di Perpustakaan Daerah Jepara. Berawal dari keinginan saya belajar nulis dari penulis-penulis lokal Jepara, saya mengajukan usul untuk bikin acara kumpul semacam workshop kecil-kecilan gitu. Tapi Masya Allah, realisasinya jauuhh melampaui apa yang saya bayangkan. Usul tersebut digodok oleh Mas Kartika Catur Pelita, Mas Adi Zamzam dan Mba Ella Sofa. Lalu terbentuklah kesepakatan

ini usulan saya saat itu
Pertemuan Akademi Menulis Jepara diadakan tiap sepekan sekali, diisi dengan berbagai materi seputar menulis yang simple dan aplikatif, diampu secara bergantian oleh Mas Kartika Catur, Mas Adi Zamzam dan Mba Ella Sofa. Karna berbagai keterbatasan, saya nggak bisa rutin hadir ke pertemuan AMJ. Dan kebetulan, beberapa kali saya hadir selalu bertepatan dengan materinya Mas Adi Zamzam tentang serba-serbi penulisan cerpen. Ohya, FYI, cerpennya Mas Adi ini sudah mewarnai berbagai koran di Indonesia. Nggak cuma cerpen, resensinya pun sudah sering muncul di media.

Foto usai launching AMJ
Nggak butuh waktu lama, saya langsung ngefans sama beliau. Lebih bangganya lagi, ternyata kami satu almamater di SMP, meskipun beda angkatan jauuuhh. hehe. Mas Adi tuh orangnya sederhanaaaaa sekali. Tadinya menulis hanya pekerjaan sampingannya. Dulu pekerjaan utamanya adalah tukang bordir. Kini bisa dibilang menulis pekerjaan utamanya, sedangkan yang lain sampingan. Mas Adi Zamzam belaja menulis otodidak. Beliau selalu menekankan dua hal utama yang dibutuhkan seseorang yang bilang pengen jadi penulis.

Baca, baca, baca! Latihan, latihan, latihan!

Ini lhoh sosok Mas Adi Zamzam
Pertemuan AMJ Sabtu kemarin

Dan dua hal itu tercermin jelas dari apa yang beliau kerjakan. Mas Adi sempet menunjukkan buku tulis tebal yang isinya adalah draft cerpen-cerpen beliau. Ya, sebelum mengetiknya di komputer, beliau selalu menuliskannya dulu di buku. Ia menulis setiap hari, rutin, meskipun kuantitasnya nggak selalu banyak. Yang lebih mengagumkan, Mas Adi sama sekali nggak pelit ilmu. Sama sekali nggak segan membagi 'rahasia dapur'-nya untuk kami. Bahka beliau tidak mendapatkan sedikitpun benefit secara materi dari membagi ilmunya di AMJ (Mas Kartika Catur dan yang lain juga enggak, sepenuhnya sukarela). Masya Allah, semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang jauh lebih banyak.

Ohya, konon Mas Adi Zamzam sekarang punya taman baca di rumahnya. Huaaa... kereeennn. Langsung saya masukin ke agenda untuk mengunjungi taman bacanya suatu saat. Semoga ada kesempatan. Aamiin.

Random Tought: Merantau, Doa Ibu, dan Kebaikan-Kebaikan

on
Rabu, 01 April 2015
nyomot dr Tumblr

Pagi-pagi bangun tidur, buka jendela, dan supraaaiiisee... ternyata banjir (lagi)! Hahaha. Eh, enggak surpraise sih sebenernya, lha wong hampir tiap hujan (meskipun cuma hujan beberapa jam semalem) pasti banjir :|. Parah deh, ya... apa memang nggak ada solusi untuk mengatasinya? Apa bener dalam beberapa tahun ke depan wilayah Kaligawe-Semarang akan tenggelam? Ah, entahlah. Keep khusnudzon saja yang penting :)

Saya suka miris kalo lihat penduduk asli sini. Hampir tiap tahun mereka harus menyiapkan dana khusus untuk meninggikan lantai rumah. Waktu musim hujan baru akan tiba, saya seperti mengendus aroma keresahan di tiap gerak langkah para bapak-ibu yang rumahnya sekitar kost-an saya. Iya, miris. Karna saya pribadi justru selalu menyambut datangnya musim penghujan dengan amat sukacita. Em, ternyata bener ya, merantau membuat kita melihat dunia dengan cara berbeda. Termasuk saya. Meski merantaunya nggak jauh-jauh amat, dan masih sering (banget) pulang, tapi amat sangat cukup membuat saya menemukan cara pandang berbeda tentang desa tempat kelahiran saya. Kalo dulu suka ngedumel ke Ibu, 'Kenapa sih punya kampung halaman pelosok gini! Mau ke mana-mana susah, mau cari apa-apa susah, bla bla bla'. Yup, jaman saya masih anak sekolahan, mau ke warnet aja saya harus menempuh jarak kurang lebih 8km loh :D Sekarang sih udah mending, jalan beberapa langkah udah nemu warnet :)).

Makanya itu, merantau memang jadi salah satu cita-cita sejak dulu kala. Meskipun cita-cita tersebut agak bertolakbelakang dengan mental saya yang suka nggak tahan menanggung rindu :D. Nah, sekarang gimana memandang kampung halaman setelah merantau? Bak surga! Kalo musim panas, pnasnya nggak nyengat banget. Tetep bisa menikmati sejuknya hembusan udara dari gesekan daun-daun di rimbunnya pepohonan. Kalo musim hujan juga nggak pernah sekalipun khawatir banjir. Justru semakin bertambah-tambah kenikmatannya karna kalo hujan sehari-hari gitu ngendon di rumah bareng keluarga, makan tempe goreng sama sambel doang pun rasanya tiada tara (Bo'ong sih, saya nggak doyan tempe goreng :p). Kata beberapa orang di sekitar saya, paling enak tuh emang tinggal di desa (kami). Nggak punya uang bakal tetep bisa makan, soalnya segala sayur mayur ada di sekitar rumah. Tapi dari dulu saya menyangkal pendapat itu. Bosen kali yee kalo makannya daun singkong mulu', hihi. Bukan berarti nggak cinta kampung halaman karna pengen enyah dari situ, justru kecintaan saya pada kampung halaman semakin berlipat-lipat setelah saya meninggalkannya sejenak :)
Alhamdulillah, sekarang ibu saya sudah mulai berdamai dengan keinginannya untuk mempertahankan saya agar terus ada dalam genggaman beliau. Di manapun berada, semoga kebaikan selalu melingkupi saya, begitu lirihnya hampir setiap waktu. Dan luar biasanya doa ibu memang sama sekali tak ada yang meragukan.

Seperti bulan Februari lalu, saat di sini lagi banjir juga -- bahkan lebih gedhe dibanding banjir pagi tadi. Saya waktu itu masih keras kepala, ngotot tetep bawa motor. Padahal motor saya matic :D. Berangkatnya sih alhamdulillah lancar jaya, bahkan menikmati banget proses menerjang banjir -- seruuu, bagi saya. Haha. Ohya, bahkan sempet sambil melamun segala, 'Saya nggak nyangka bakal jadi setangguh ini :p'. Pulangnya? Nah lhooo... tepat sebelum melewati rel kereta api, di titik yang bisa dibilang paling tinggi banjirnya, motor saya tiba-tiba PET, matiikkk! Sumpah rasanya saya mau langsung nangis darah T.T ... mata sudah berkaca-kaca, tapi nggak jadi nangis karna ada bapak-bapak yang tiba-tiba datang.

'Mbak, ke sini, mbak... ke sini...' teriak bapak itu sambil menunjuk ke tepian jalan yang nggak banjir.
'Nggak kuat, pak...' ucap saya nggak berdaya. Nuntun motor dalam keadaan nggak banjir aja saya mringis-mringis, apalagi di tengah air berarus cukup deras gitu :'(

Bapak itu langsung sigap menghampiri dan mengambil alih motor saya. Lalu beliau membuka -entah apa- di bagian bawah motor saya, yang lalu dari situ keluar air banyaaakk banget. Setelah airnya habis beliau lalu berusaha menghidupkan motor saya dengan cara manual -- yang mana saya blas nggak kuat. Haha. Ternyata si bapak itu gagal. Lalu tiba-tiba datanglah beberapa orang yang dengan sukarela membantu, sampai akhirnya motor saya hidup, yeayy!! Alhamdulillah!!

Saya beneran bersyukuuuuurrr banget atas kejadian itu. FYI, saat itu yang motornya mati nggak cuma saya loh. Yang lain banyak! Tapi kenapa beberapa orang tadi serta-merta bantuin saya, bahkan sebelum saya meminta pertolongan? Dan saya percaya, mereka adalah perpanjangan tangan Allah yang terhantar melalui untaian doa-doa ibu saya :')

Ya, kita sering hanya terfokus berharap ketiban kebaikan-kebaikan besar sebagai alasan untuk bersyukur dan mengingat betapa Allah itu Maha Baik. Kita sering luput memperhatikan, bahwa sungguh, kebaikan-kebaikan kecil itu selalu melingkupi hidup kita... terus-menerus... asalkan kita juga selalu berusaha menyibukkan diri dengan kebaikan -- sekecil apapun :)

Signature

Signature