Pada Senja Itu (1)

on
Selasa, 28 Februari 2012
Pagi ini hujan amat menyenangkan. Tidak deras, tidak juga sekedar rintik. Dan hujan seperti ini selalu mengingatkanku tentangmu. Pada teduh pandanganmu yang tak pernah bosan aku nikmati pendarnya. Pada rengek manjamu yang selalu aku nikmati bagai lantun irama mendamaikan jiwa. Ah, sedang apa kamu disana? Biasanya selalu sms-mu yang pertama kali ku baca saat terjaga. Mengapa pagi ini tak ada? Ah iya, aku lupa… semalam kamu pasti sibuk sekali. Sibuk menyambut pangeran yang selama ini kamu impikan. Iya kan?!
Setelah semua kegagalanku membujuk hatiku untuk berani jujur padamu, setelah segenap ketakutanku yang terus menghantui tidurku jika kamu akhirnya mengetahui gemuruhnya hatiku, akhirnya aku harus mengakui bahwa ternyata aku tak cukup tegar saat harus melepasmu. Dan  pergi dari kota itu, menjadi satu – satunya jalan keluar yang mampu aku raba di tengah guitanya perasaanku.
Namun aku lega, aku bahagia. Karna sampai saat yang mengharuskan aku harus menjauh darimu, kamu tetap menyimpan namaku di hatimu sebagai sahabat terbaik tanpa celah, seperti yang selalu kamu ucapkan dulu. Aku lega, dan aku bahagia karna akhirnya kamu menemukan sebongkah hati yang tampak begitu tulus mencintaimu, yang aku yakin kan selalu menjagamu jauh lebih baik dari yang selama ini aku lakukan untukmu.
Kamu mungkin tak tahu tentang betapa luluh lantaknya hatiku senja itu. Saat binar matamu berpendar amat mengagumkan, lalu dengan nada riang menumpahkan segala cerita yang menjadi penyebab utamanya. Tapi aku berharap kamu memang takkan pernah tahu.
“Kunyuk… Aku dilamar...” pekikmu sembari meremas jari – jariku yang masih terasa gemetar setiap bertemu denganmu.
Ah, maafkan aku. Maafkan aku yang tak benar  - benar menjadi pendengar terbaikmu senja itu. Entahlah… daya pendengaranku seperi lumpuh seketika mendengar sepenggal kalimat itu.
Aku yang salah. Memang aku, bukan kamu! Harusnya aku bisa lebih membentengi hatiku agar tak seceroboh itu mencintaimu. Harusnya aku menuruti nasehatmu, bahwa selamanya aku harus menganggapmu sebagai adik dan bukan yang lain yang lebih dari itu. harusnya aku tak selemah itu membiarkan perasaanku padamu sedikit demi sedikit berbelok arah hingga akhirnya sempurna berubah hanya karna terau sering melihat tawa riang dan pendar matamu.
Aku tak tahu betapa marahnya kamu jika mengetahui apa yang selama ini aku tutupi dengan rapatnya di balik dada bidangku. Dari sejak  putih abu – abu masih jadi pakaian keseharian kita, hingga kini kemeja dan dasi menjadi gantinya, aku masih selalu sama. Amat jera melihatmu sedih atau menangis, apalagi jika itu karnaku. Jangankan melihat, membayangkan saja aku tak berani. Dan ketidakberanian itu yang membuatku lebih memilih untuk membohongimu, Meski hatiku pun bernanah karnanya. Semoga kamu memaafkanku.
***
Be First to Post Comment !
Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)

Signature

Signature