Skripsi Oh Skripsi....

on
Rabu, 19 Oktober 2011
Dulu saat SMA, mendengar cerita kakak laki - laki dan beberapa saudara yang sedang menusun skripsi, pasti anganku langsung melayang membayangkan, kaya' apa sih rasanya skripsi??, kok kaya'nya susaaaahhhh banget.

Dan hari ini, setelah beberapa tahun masa SMA-ku berlalu, aku bersyukur karna akhirnya Allah mengijinkan aku merasakan dan mengalami jatuh bangunnya menyusun sebuah skripsi.

Tiap hari hanya itu dan itu, tentu menimbulkan kebosanan yang teramat. Belum lagi sensasi mengejar - ngejar dosen untuk minta bimbingan di tengah berbagai kesibukan beliau. Oh ya, dalam penyusunan skripsiku, aku berusaha sebisa mungkin untuk jujur. dalam arti, aku menggunakan data yang sebenar - benarnya (tidak manipulasi), serta berusaha mengolah data tersebut sendiri (tidak memakai jasa pengolahan data skripsi). kenapa?? karna aku ingin ilmuku barokah. aku tidak ingin jika skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar "Sarjana Ekonomi", menjadikannya pengurang kebarokahan atas gelar tersebut karna aku mengerjakannya dengan ketidakjujuran.

Tapi, aku juga harus selalu sadar... bahwa untuk melakukan ketaatan sekecil apapun, pasti akan ada cobaannya masing - masing. Begitu pula dengan tekadku untuk mengerjakan skripsi dengan jujur. Pengolahan data yang menggunakan software PLS, dan belum pernah aku pelajari sebelumnya, sempat menimbulkan kesulitan - kesulitan yang tidak jarang kadang membuatku ingin menangis. apalagi saat mengetahui bahwa beberapa teman skripsinya sudah selesai karna ia memakai jasa pengolahan data.

ya begitulah, meski penuh liku dan terjal, aku yakin aku bisa menyelesaikannya dengan pertolongan Allah.
dan aku yakin, Insyaallah April akan ada gelar SE di belakang namaku. gelar yang semoga membuatku menjadi manusia lebih bermanfaat.

Ya Allah.... hanya kepadaMU hamba menyandarkan segala sesuatu......

Jadi Muslim Harus Kaya!!!

on
Rabu, 12 Oktober 2011

Apa kesan pertama yang muncul di benak kita saat membaca judul tersebut ?
“matre banget sih!!”, gitu ya??
Matre?? Emang apa sih tolok ukur untuk bisa dikatakan matre?? Apa saat kita menaruh perhatian agak  besar pada materi, maka langsung bisa dikatakan matre??
Saat ada seorang muslimah yang saat akan menerima pinangan seorang lelaki, lalu dia menanyakan pekerjaan si lelaki tersebut berkenaan dengan kemampuannya menafkahi, maka muslimah tersebut langsung bisa di cap sebagai muslimah matre??
Sebagai muslimah, jelas saya nggak setuju.
Bukankah Islam sendiri juga menjadikan kemampuan menafkahi juga sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi saat seorang laki – laki hendak menikah?!
Saya pernah baca sebuah artikel bahwa seorang muslim itu harus kaya. Diantaranya, hadist* yang menyatakan bahwa Allah lebih menyukai hambaNYA yang kuat daripada yang lemah. Kuat dalam segala hal, tentu saja termasuk kuat dari segi ekonomi.
Bersumber dari sebuah hadist* juga, 3  kunci kebahagiaan seorang lelaki adalah istri yang sholihah, rumah yang lapang, dan kendaraan yang bisa mengantarkan kemana pun ia hendak pergi.
Kunci yang pertama, Istri yang sholihah
Kunci pertama ini jangan dikira tidak butuh uang untuk memilikinya. Eits, tunggu dulu! Tentu saja maksudnya bukan dengan membelikan bermacam – macam barang untuk mendapatkan hati seorang wanita sholihah. Kan yang dibicarakan kalo udah jadi istri ;)
Istri yang sholihah, otomatis dan PASTI ia  berjilbab (mungkin orang – orang yang masih menanggap “yang penting hatinya saja yang berjibab” akan tidak setuju dengan ini!). Nah, seorang muslimah yang merupakan para calon istri sholihah (Insyaallah) itu kebutuhannya banyak.
Bayangkan saja, ketika wanita – wanita yang lain yang tidak berjilbab hanya butuh sepotong kaos lengan pendek atau malah tanpa lengan, seorang muslimah butuh berlapis – lapis baju untuk menutupi auratnya agar tidak tembus pandang dan tidak membentuk lekuk tubuh. Belum lagi jilbabnya lebarnya yang tentu sedikit lebih mahal dibanding jilbab – jilbab berukuran imut.
Ketika trend celana “sangat tipis” yang disebut “leging” (salah nggak nulisnya??) yang oleh banyak wanita tidak berjilbab sudah dengan pede - nya dipake kemana – mana, bagi muslimah tidak lebih hanya dipake sebagai lapisan setelah rok, agar betis tetap terjaga dari penglihatan orang ketika naik motor atau keadaan – keadaan darurat lain.
Bayangkan saja, pakaian muslimah yang berlapis – lapis tentu butuh dana lebih banyak. Kebutuhan kainnya saja lebih – lebih banyak dari wanita pada umumnya yang kadang malah pada kekurangan kain. Saat mencuci pun otomatis juga butuh detergen jauh lebih banyak dong??!! Oh ya, ada yang kelupaan. Apalagi kalo si muslimah ini tipe yang tidak bisa meninggalkan kaos kaki dan decker. Nah lho, tambah lagi kan kebutuhannya. Hehe…
Tapi tentu saja semua itu sebanding dengan apa yang akan didapatkan ketika memiliki istri yang sholihah. Penjelasannya bejibun dibanyak hadist tentang keutamaan punya istri sholihah. Baca sendiri yaaa…
Kunci yang kedua, rumah yang lapang
Gimana mau bahagia kalo ketika lelah sepulang dari kerja, butuh tempat istirahat yang nyaman, eehhh yang ada rumah sumpek, semrawut nggak karuan. Pasti yang ada malah tambah capek ati ngeliatnya.
Uummm… rumah yang lapang nggak harus rumah yang buueesaarr kali ya…meskipun kecil, setidaknya tertata dengan rapi dan bersih. Kan tetep aja butuh pembersih lantai, alat – alat kebersihan, dan tetek bengek lainnya untuk bisa punya rumah yang tertata rapi itu. berarti juga butuh uang kan??!!


Kunci yang ketiga, kendaraan yang bisa mengantar kemana saja
Saatnya berangkat kerja, waktu udah mepet, eeehhh motor ngadat ditengah jalan. Duh, bisa berabe dong…
Belum kalau punya banyak amanah untuk mengisi kajian disana – sini. Kasian dong jama’ah yang udah pada nunggu. Oh ya, apalagi kalo udah punya istri yang sholihah tadi… kalo nggak punya kendaraan yang layak, masa’ tega ngliat istrinya pergi kemana – mana pake bus, berdesak – desakan dengan banyak lelaki yang tidak semua punya akhlak yang baik?! (sudah jadi rahasia umum kalo di bus banyak terjadi pelecehan seksual).
Nah, dari uraian itu tadi sudah cukup jelas kan kalo jadi muslim itu HARUS kaya. Jangan lagi mengatakan “yang penting kaya hati” untuk menutupi kemalasan kita. Ah ya, jadi inget isi dari seminar “7 keajaiban rizki” yang diisi oleh Ippho Santoso di masjid Baiturrahman yang saya ikuti bersama beberapa teman beberapa waktu yang lalu.
Disitu, Ippho Santoso mengatakan bahwa semua ibadah itu butuh uang. Sholat butuh baju, mukena, sajadah. Berarti sholat butuh uang. Lalu zakat, sedekah, apalagi haji.
Bukankah sebaik – baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya?! Gimana mau bermanfaat, bila saat ada tetangga yang sakit dan nggak mampu ke rumah sakit karna nggak punya uang kita diam saja karna juga nggak punya uang?!
Missal, Ibu kita sudah tua tapi beliau belum haji. Suatu hari, kita memergoki beliau menangis tersedu sesaat setelah sholat. Ketika kita menanyai, “kenapa Ibu menangis?”, lalu beliau menjawab, “Ibu rindu sekali ingin menginjakkan kaki di Baitullah…”, apa kita tega mengatakan, “kan kita emang nggak mampu bu, yang pentinga hati kita sudah meniatkan pergi kesana”. Duh!
Tidakkah kita ingin mengatakan kepadanya, “Bu, Insyaallah tahun depan Ibu saya berangkatkan haji”. Haji butuh uang kan??!!
Berarti sudah jelas, bahwa Muslim memang HARUS kaya. Kaya harta, tak hanya kaya hati. Sudahlah, tidak usah membantah lagi!! Jadilah orang kaya!!
Sebenernya himbauan itu nggak hanya buat laki – laki, tapi buat wanita juga. Cuma, berhubung wanita (muslimah) itu tugas utamanya dirumah mengurus rumah tangga dan mendidik anak, maka saya lebih banyak mengutarakan dari sudut pandang lelaki (muslim).
Tulisan ini semata pendapat pribadi saya yang berdasar pada beberapa hadist yang saya temui, dan penjelasannya sebagian besar saya ambil dari penuturan Ippho Santoso di seminar 7 keajaiban rizki, dan dari status – status FB beliau.

Untuk Sang Ustadzah


Siang itu matahari bersinar terik sekali, tapi tak menyurutkan secuil pun niatnya untuk tetap melangkah memenuhi janji untuk hadir membagi ilmu pada kami anak – anak muda yang haus ilmu.
Padahal, beliau pasti tahu bahwa beliau tak akan membawa balasan jasa yang berarti dari kami ketika pulang nanti
Padahal, gaji beliau dari pekerjaan resminya tak lagi perlu tambahan untuk mencukupi segala kebutuhan. Belum lagi gaji suami yang punya jabatan strategis disebuah instansi.
“Kenapa Ibu mau berpanas – panas hanya untuk memenuhi undangan kami, padahal kami tak mampu memberi balasan apapun?”, tanya salah satu dari kami suatu hari seusai beliau menyampaikan beberapa nasehat tentang hak – hak saudara muslim atas diri kita.
Beliau terlihat menarik nafas pelan, lalu tersenyum simpul sebelum akhirnya memberi jawaban yang bagi kami sungguh mengesankan.
“Karna selalu ada kebahagiaan yang tidak pernah saya temui dalam aktivitas saya yang lainnya ketika saya melihat sorot mata antusias kalian dalam mencari ilmu Allah…”, ucapnya pelan sembari menepuk pundak teman kami yang tadi melempar pertanyaan, “Dan agar saya selalu merasa bodoh dengan berbagai pertanyaan dari  kalian, sehingga saya tidak lantas merasa puas kemudian berhenti belajar”, lanjutnya kemudian.
Umurnya berbilang 30 – an. Namun nampak jauh lebih matang dari umur sebenarnya. Senyumnya meneduhkan setiap jiwa, kata – katanya lembut tak pernah menghakimi, nasehat – nasehatnya nyaman tak terkesan menggurui.
Tapi, kembali ada yang mengganjal di hati salah satu teman kami. Ganjalan yang tak kuasa untuk menahan dia tak bertanya meski pertanyaannya sempat membuat kami memicingkan mata kemudian menggumam dalam hati, “Nggak penting banget sih!”.
“Bu, Ibu kan dari segi  penghasilan pribadi sangat cukup. Penghasilan suami, apalagi. Kok Ibu nggak pernah terlihat memakai satu pun perhiasan, cincin misalnya, seperti wanita pada umumnya, kenapa to Bu? Kan Islam juga tidak melarang untuk itu!”
Sang Ustadzah terkekeh pelan, “ada – ada saja kamu ini…”, ucapnya kemudian.
Kami kira, cukup sampai disitu, dan tak perlu ada penjelasan lebih lanjut untuk pertanyaan semacam itu. ternyata kami salah. Beliau tak pernah membiarkan tiap moment berlalu tanpa sebuah madu hikmah yang bisa kita cecap manisnya. Toh kalau diperhatikan lebih seksama, kami akhirnya bisa memahami keheranan teman kami tadi. Beliau sungguh lebih dari mampu untuk membeli berbagai macam perhiasan apalagi sekedar baju – baju mahal seperti pada umumnya kaum hawa.
“Jangan lantas mengira saya nggak suka lho pake’ perhiasan – perhiasan gitu!”, ucapnya sembari masih dengan tertawa tipis.
“Dulu pernah ada 2 cincin dijari saya, Sampai akhirnya ada tetangga yang  rumahnya selang 2 rumah dari rumah saya jatuh sakit…”, beliau berhenti sejenak mengambil nafas. Matanya tiba – tiba nampak mengkristal.
Setelah mengambil jeda, beliau melanjutkan, “Saat saya datang menjenguk, suaminya bercerita bahwa kata dokter istrinya keracunan karna memakan singkong yang sudah tidak layak konsumsi…”, setetes bening akhirnya tak lagi tertahankan.
“Kalian tahu mengapa tetangga saya itu memakan singkong tersebut? karna keadaan yang mengharuskan! ya Allah…”, suara beliau bergetar, membuat kami tertunduk dalam – dalam.
“Saya malu sekali… malu sekali…!! Ditengah kelapangan rizki kami, bahkan masih ada tetangga yang tak bisa makan nasi dan kami sama sekali tidak peduli..”, ucap beliau lagi. Mata beningnya menyapu wajah – wajah kami satu per satu, seperti sedang memastikan kami mencerna dengan baik tiap kalimat yang beliau ucapkan.
“Bukankah Rasulullah bilang bahwa tidaklah termasuk golongan beliau bagi siapa saja yang bisa tidur nyenyak sedangkan ada seorang tetangganya yang tak bisa tidur karna lapar?! Ya, mulai saat itu lah saya malu pada diri saya sendiri jika ada uang yang Allah titipkan, lalu saya belanjakan untuk hal – hal yang kemanfaatannya untuk saya seorang.”
Ya, itulah kisah seorang Ustadzah yang dengan segala pekertinya mampu membuat kami merasa pantas menempatkannya sebagai salah satu tauladan, tanpa diminta. Seorang Ustadzah, yang pantas bergelar Ustadzah, pun tanpa pernah sekalipun meminta digelari sebagai Ustadzah.

Untuk tiga nama...


Bila masa SMA tlah berlalu dan kebersamaan tak lagi milik kita,ingatlah waktu-waktu terbaik yang pernah kita lalu berempat dengan segala hitam putihnya...

Bila kamu sedang bersedih,ingatlah bahwa disuatu tempat ada seseorang yang tidak pernah rela melihatmu bersedih...

Bila kamu sedang sendiri tanpa teman yang peduli,ingatlah bahwa disuatu tempat ada seseorang yang selalu berdoa untuk kebaikan serta kekuatanmu..

...dialah aku sahabatmu...

>>rangkaian kata yang tak seberapa itu cukup merangkum betapa indahnya persahabatan kita.meski tak selalu manis,tak selalu damai,tak selalu senyum,tak selalu putih..
Meski riak kecil pun badai kencang tak luput dari perjalanan kita...
Meski jalan hidup sudah harus dipilih sesuai cita masing-masing,saat waktu pun jarak tak lagi berpihak pada kita..tapi ikatan ini smoga masih tetap teguh,tak hanya sebagai sahabat..melainkan "keluarga kecil"..
Aku tidak ingin meratapi masa lalu jika aku mengatakan "aku rindu"..
Aku hanya ingin tetap menyimpan dan menjaga kisah ini sebaik mungkin..agar saat putra-putriku beranjak dewasa kelak,akan aku ceritakan bahwa indahnya masa SMA tidak selalu hanya karna "kisah cintanya"..(meskipun kisah 'monyet' dan 'ke***l' juga sempat menjadi pewarna dalam kanvas kisah ini..:))

ya..begitulah..
Jika tiba-tiba aku ingin menulis saat ini,karna aku ingin kembali mengatakan bahwa betapa aku menyayangi kalian..dan betapa aku tidak mampu melihat ada kesedihan meskipun hanya tersirat dari tatap mata kalian...
Meski hanya doa-doa yang menjadi pengikat kita..kemarin,hari ini,dan semoga selamanya...

**spesial aku tulis untuk 3 nama:
Wahyu Putri Utami, Wachid Amilludin, dan Novi Andrianto.

Selamat Jalan Teman…


Ah, Septi…
Pagi ini wajahmu begitu jelas membayang di pelupukku
Semalam, episode – episode ketika kita masih tinggal dalam naungan atap yang sama pun berkelebat mengganggu nyenyak tidurku
Bukankah baru kemarin rasanya aku menemuimu untuk meminjam helm…?
Bukankah baru kemarin aku melihat kamu masih tampak bugar, dengan senyum terkembang laksana bunga bermekar kala semi tiba…?
Ah, Septi…
Sore kemarin tiba – tiba aku mendengar namamu di sebut
Disebut dalam sebuah rangkaian kalimat yang di awali kata ‘Innalillahi wainnailaihi roji’un’
Bukankah kamu masih begitu belia?
Bukankah masih banyak sekali asa yang ingin kamu perjuangkan dengan segenap ikhtiarmu?
Sayangnya, aku pun tau… kamu tak pernah punya pilihan lain atas takdir langit yang telah tergores sempurna dalam lauhul mahfudzNYA
Ketika sebuah kecelakaan tunggal yang terjadi saat malam tengah di puncak kematangan, mengantarmu pada dekapan Izrail yang mulia
Ah, Septi… semoga penutupanmu adalah Khusnul Khotimah…
Jika hari ini aku menulis, dan menangis… bukan karna aku ingin memberatkan langkahmu disana
Jika hari ini aku menulis, semata karna aku ingin mengenang beberapa saat kebersamaan kita
Meski aku dan kamu tidak dekat, pun tak sekalipun saling mencurahkan isi hati, namun bukankah tak sekalipun pula aku dan kamu berselisih?!
Kamu yang dulu sering menjadi teman sahurku untuk puasa sunnah…
Kamu yang kala pagi masih berembun sudah mengajakku beli bubur dan ketan karna kuliahmu jauh lebih awal...
Kamu yang tak pernah ingin merepotkan hingga sering sekali tampak sendiri membeli makan…
Ah, Septi…
Kenangan kita memang tak banyak… kebersamaan kita pun tak tertera dengan pena emas
Namun kepergianmu, tetap saja menggoreskan selaksa luka yang nyeri menyelusup di dada
Kamu, membuatku pernah merasakan kehilangan seorang temann yang terjemput ajal untuk kali pertamanya
Ah, Septi…
Nyeri sekali rasanya wajah ayumu pucat pasi dengan kapas disana – sini senja kemarin…
Gemetar kaki dan dadaku melihat tubuh lincahmu terbujur kaku tak berdaya, tak bernyawa
Septi… benarkah itu kamu, orang yang pernah tinggal satu kost denganku?
Benarkah itu kamu yang ternyata lebih dulu pergi kea lam keabadian?
Ah, ternyata memang benar, itu kamu…
Akhirnya, aku hanya mampu menggumamkan sebait doa untukmu…
Semoga Allah mengampuni segala dosamu serta menyambut kedatanganmu dengan kemuliaan…
Semoga Allah menggantikan rumahmu di dunia dengan rumah yang lebih indah disana… semoga Allah menggantikan keluargamu di dunia dengan keluarga yang lebih baik pula disana…
Semoga kepergianmu mampu memberikan pelajaran untuk kami yang sering sekali lalai… bahwa apapun yang kita kejar dan dapatkan di dunia, kematian akan tetap dating merampasnya, tanpa perlu permisi atau mengetuk pintu sebelumnya…
Semoga kepergianmu menjadi pengingat bagi jiwa – jiwa rapuh kami, bahwa tak ada yang lebih dekat dengan kita melainkan ajal…
Allahummaghfirlaha, warkhamha, wa afihi, wa’fu anha, waj’alil jannata matswaha…

**Aku dedikasikan untuk temanku “Septiya Anggraeni”
yang terjemput ajal pada  Senin petang, 10 Oktober 2011

Aku tulis bersama lantunan “Khusnul Khotimah” (Opick)
Selasa fajar, 11 Oktober 2011

Signature

Signature