Pada Senja Itu (2)

on
Selasa, 28 Februari 2012
Pagi ini aku terbangun dengan senyum tersungging tipis di bibirku. Hujan lagi, amat menyenangkan. Tidak deras, tidak juga sekedar rintik. Saat beranjak bangun dari tempat tidur, aku mendapati senyummu mengembang begitu tulusnya terbingkai manis di tembok kamarku. Ah, aku berharap senyum itu tetap ada padamu.
Sebenarnya aku ingin kamu ada disini bersamaku pagi ini. Seperti biasa mendengarkanku berceloteh tentang kejadian semalam yang amat membahagiakan. “Aku akan menjadi telinga terbaikmu, kapanpun” itu kan yang selalu kamu bilang?! Ah, untuk pertama kalinya kamu ingkar. Tak apa, aku memaafkan.
Kalau pun kamu harus pergi untuk sebongkah cita seperti yang kamu bilang, kamu harus tahu aku amat ikhlas melepas. Tapi sayangnya aku menangkap kelebat dusta tergambar di bola matamu. Apa kamu lupa, aku memahamimu jauh lebih dalam melebihi kamu mengenal dirimu sendiri. Maka, ketika aku tersenyum pagi ini, tetap ada untai tanya yang amat menggangguku. “Ada apa denganmu hingga pergi menjadi sebuah pilihan yang tak boleh di tawar?”
“Kunyuk…!!!” seruku menyebut nama panggilan sayang diantara kita saat melihat siluetmu berjalan mendekat ke arah tempat duduk favorit kita di taman kota.
“Ada apa sih Nyuk ngajak ketemu sore – sore gini?? Aku capek tau’!!” ucapmu dengan ekspresi ‘pura - pura’ sebel.
“Nggak ikhlas yaa????” rajukku manja seperti biasa. Kamu tak menjawab. Hanya tersenyum, lalu mengacak – acak rambutku seperti biasa. Kamu memang tak menaggapi dengan suara, tapi sorot matamu dengan jelas mengatakan, “Nggak mungkin aku nggak ikhlas!”
“Kunyuk…. Aku seneng!!!” pekikku sembari meremas jari – jari tanganmu. Keningmu tampak berkerut. Kamu pasti heran karna jarang sekali aku terlihat sebahagia senja ini.
“Aku mau dilamar Nyuk!!! 3 hari lagi orang tuanya mau dating ke rumah….” Seketika, tanpa peduli kamu belum mempersilakan aku bercerita, kata demi kata penuh bahagia telah tumpah ruah ke telingamu.
Ah, kamu pikir aku tidak tahu perubahan air mukamu senja itu?? bahkan ketika kamu tertawa lebar dan kembali mengacak – acak rambut panjangmu, seolah hendak mengisyaratkan bahwa kamu turut berbahagia untukku. Harusnya kamu sadar, serapi apapun kamu menyembunyikan warna hatimu atasku, bagiku semua itu seterang matahari di siang hari.
Jangan kamu kira hanya kamu yang terluka. Aku justru telah terluka jauh sebelum kamu merasakannya. Aku terluka, bahkan sejak pertama kali aku menyadari kebohonganmu atas persahabatan kita. Aku terluka, karna aku takut melihatmu akan terluka. Aku terluka, karna aku tahu persis bahwa suatu hari aku lah yang justru membuatmu terluka.
Dan setelah akhirnya kamu memutuskan pergi meninggakan aku yang merasa pincang tanpamu, aku hanya berharap satu. Semoga kamu tahu… aku mengagumi segalamu. Tapi aku merasa takkan mampu mengubah perspektif perasaanku atasmu.
Ya, akhirnya hari ini mataku terbuka, dan bersedia menginsafi aneka macam pendapat orang yang meragukan kemurnian persahabatan kita.
***

Pada Senja Itu (1)

Pagi ini hujan amat menyenangkan. Tidak deras, tidak juga sekedar rintik. Dan hujan seperti ini selalu mengingatkanku tentangmu. Pada teduh pandanganmu yang tak pernah bosan aku nikmati pendarnya. Pada rengek manjamu yang selalu aku nikmati bagai lantun irama mendamaikan jiwa. Ah, sedang apa kamu disana? Biasanya selalu sms-mu yang pertama kali ku baca saat terjaga. Mengapa pagi ini tak ada? Ah iya, aku lupa… semalam kamu pasti sibuk sekali. Sibuk menyambut pangeran yang selama ini kamu impikan. Iya kan?!
Setelah semua kegagalanku membujuk hatiku untuk berani jujur padamu, setelah segenap ketakutanku yang terus menghantui tidurku jika kamu akhirnya mengetahui gemuruhnya hatiku, akhirnya aku harus mengakui bahwa ternyata aku tak cukup tegar saat harus melepasmu. Dan  pergi dari kota itu, menjadi satu – satunya jalan keluar yang mampu aku raba di tengah guitanya perasaanku.
Namun aku lega, aku bahagia. Karna sampai saat yang mengharuskan aku harus menjauh darimu, kamu tetap menyimpan namaku di hatimu sebagai sahabat terbaik tanpa celah, seperti yang selalu kamu ucapkan dulu. Aku lega, dan aku bahagia karna akhirnya kamu menemukan sebongkah hati yang tampak begitu tulus mencintaimu, yang aku yakin kan selalu menjagamu jauh lebih baik dari yang selama ini aku lakukan untukmu.
Kamu mungkin tak tahu tentang betapa luluh lantaknya hatiku senja itu. Saat binar matamu berpendar amat mengagumkan, lalu dengan nada riang menumpahkan segala cerita yang menjadi penyebab utamanya. Tapi aku berharap kamu memang takkan pernah tahu.
“Kunyuk… Aku dilamar...” pekikmu sembari meremas jari – jariku yang masih terasa gemetar setiap bertemu denganmu.
Ah, maafkan aku. Maafkan aku yang tak benar  - benar menjadi pendengar terbaikmu senja itu. Entahlah… daya pendengaranku seperi lumpuh seketika mendengar sepenggal kalimat itu.
Aku yang salah. Memang aku, bukan kamu! Harusnya aku bisa lebih membentengi hatiku agar tak seceroboh itu mencintaimu. Harusnya aku menuruti nasehatmu, bahwa selamanya aku harus menganggapmu sebagai adik dan bukan yang lain yang lebih dari itu. harusnya aku tak selemah itu membiarkan perasaanku padamu sedikit demi sedikit berbelok arah hingga akhirnya sempurna berubah hanya karna terau sering melihat tawa riang dan pendar matamu.
Aku tak tahu betapa marahnya kamu jika mengetahui apa yang selama ini aku tutupi dengan rapatnya di balik dada bidangku. Dari sejak  putih abu – abu masih jadi pakaian keseharian kita, hingga kini kemeja dan dasi menjadi gantinya, aku masih selalu sama. Amat jera melihatmu sedih atau menangis, apalagi jika itu karnaku. Jangankan melihat, membayangkan saja aku tak berani. Dan ketidakberanian itu yang membuatku lebih memilih untuk membohongimu, Meski hatiku pun bernanah karnanya. Semoga kamu memaafkanku.
***

Penghujung Kisah Strata Satu - ku

on
Senin, 13 Februari 2012
Aku pernah menangis karena ini
Dulu... beberapa tahun yang lalu...


Aku kira aku takkan lagi menangis untuk alasan serupa
Aku kira takkan lagi ada luka karna sebab yang sama...

Aku salah...
Hal ini masih amat terasa menyesakkan

Ya... dengan perih yang sama...
Hari ini aku tau aku tetap tak bisa menanggapnya biasa

Kalau perpisahan membuat kita mengerti arti sebuah pertemuan, semoga pertemuan yang baru tak lantas membuat kita melupakan indahnya kebersamaan...
Kalau dengan kehilangan kita bisa tau arti seseorang, semoga kita tak harus menunggu saat telah benar- benar kehilangan untuk tau arti seseorang...






3,5 tahun kebersamaan kita...
indah pun luka... tawa pun linang air mata...
semoga kita tetap mencatatnya dengan hias pelangi di lembar kehidupan kita

Aku bersyukur pernah menjadi potongan bagian hidup kalian
Aku bahagia pernah melewati ribuan hari bersama kalian
Aku mencintai kalian... semoga selamanya... karena Allah...

Janji masa depan nan cemerlang, semoga kan kita genggam :)
Amin Ya Rabb....

Untuk U5-Akuntansi Unissula, semuanya... tanpa kecuali.... :)

Cerita Penghujung Strata 1-ku

on
Sabtu, 04 Februari 2012


Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillah…

Entah bagaimana aku harus mengungkapkan betapa bersyukurnya hati ini. Ah, tapi bukankah rasa syukur memang seharusnya tidak hanya termanifestasi pada sekedar ucapan ‘Alhamdulillah’ saja, tapi juga harus pula termanifestasi pada sebuah sikap syukur nyata?! Meningkatkan ketaatan padaNYA, salah satunya.

Setelah 3,5 tahun yang amat melelahkan… yang tidak hanya berwarna merah jingga, tapi juga hitam dan tosca… yang tidak hanya berisi tawa, tapi juga sedu tak terkira… yang tidak hanya terasa indah, tapi juga tak jarang terasa perih memilukan…

Subhanallah walhamdulillah… setelah 3,5 tahun akhirnya gelar S.E resmi tersemat di belakang namaku. Bukan, bukan ‘sekedar’ gelar duniawi yang bermaksud aku banggakan disini, tapi betapa di dalam gelar itu terkandung banyak sekali arti.

Betapa dalam gelar itu tercermin betapa besar kasih sayang dan pengorbanan orang tua serta kakak – kakakku. Helai demi helai doa mereka yang membumbung dan meriuhkan langit sebagai kekuatan utamaku, juga tiap tetes peluh mereka yang tak pernah ragu menetes karnaku… ah, semoga aku tidak pernah lupa bahwa aku tak boleh berhenti hanya pada S.E saja tanpa tindak lanjut nyata… semoga aku selalu ingat bahwa mereka punya hak atas senyum bangga melihat aku menjadi manusia berguna.

Bapakku bukan orang kaya. Bukan pula pegawai kantoran yang tiap akhir atau awal bulan tinggal coret nota bayaran. Bapakku hanya orang kampung dengan pendidikan seadanya. Tapi kalian harus tahu… SAYA BANGGA padanya!! Bapak, dengan segala keterbatasannya mampu mengantarkan ke  - 3 anaknya merasakan bangku kuliah, yang bagi masyarakat desa merupakan suatu kesempatan yang amat langka. Bapak, dengan segala kekurangannya selalu menanamkan keyakinan di dada kami, bahwa esok… janji masa depan yang lebih baik harus kami rengkuh dalam jiwa.

Ibuku… ah, tentu saja tak perlu banyak kata. Ridho Allah, aku yakin 90% karna ridho beliau pula.

Dua kakakku… hemm, mereka bahkan kadang tak jarang mengesampingkan ego mereka demi aku.

Subhanallah walhamdulillah…

Bapak, Ibu, Mbak Nita, Mas Mansyur, serta dua iparku… S.E ini aku persembahkan sebagai tanda baktiku pada kalian. Aku selalu berdoa agar aku mampu untuk terus mengikutinya dengan banyak tanda bakti lainnya.

*Allah, bantu aku… Engkau tahu, bahwa tanpaMU, aku tak mampu…*
***

Bersama rintik hujan yg amat menyenagkan,
Bersama rasa syukur yang terus menggema di dada,
Pancur, 03 Februari 2012

Signature

Signature