Rintih Hati

on
Senin, 12 Maret 2012
Doa setelah sholat dhuha:
“Wahai Tuhanku, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagunan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Wahai Tuhanku, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh”.

**Allahu Robbi... semoga Engkau senantiasa mengukuhkan hatiku, menjaganya, hingga takkan pernah sedikitpun keyakinan atasMU tergoyahkan... keyakinan bahwa Engkau Maha Kaya, bahkan di tengah sesempit apapun keadaanku.
Duh Allah, Rabb semesta alam... semoga Engkau berkenan untuk menjagaku selalu dari kekejaman waktuu luang yang seringkali menjerumuskan pada kemaksiatan.

Langit yang teramat  luas, bahkan teramat mudah Engkau tegakkan tanpa satu-pun tiang Robb... maka itu, aku percaya... teramat percaya bahwa teramat mudah pula bagiMU mengijabah setiap helai do'aku. Dan kepercayaan itu, semoga senantiasa berbanding lurus dengan kepercayaan-kepercayaan lain atasMU: bahwa Engkau Maha pengabul do'a hamba-hamba yang mau meminta padaMU, dan bahwa apapun yang Engkau kehendaki atas hambaMU adalah selalu yang terbaik....

Engkau Maha Tahu Robb... sedangkau aku tak tahu...
Sungguh aku tak sedikitpun memiliki daya upaya Robb... melainkan dengan pertolongan dariMU...
Semoga Engku Ridho padaku...

Rhosa Al-Rosyid
bersama mendung yang menggelayut di hati dan langit,
Pancur, 12 Maret 2012

Penghujung Kisah Strata Satu-ku (3)

on
Senin, 05 Maret 2012
Bismillahirrahmannirrahiim…
Bercerita tentang penghujung kisah strata satu – ku, tentu saja ada satu hal yang tak boleh terlewatkan untuk turut di bagi. Berharap member manfaat dan pencerahan, entah sekecil apapun itu.
Hari itu, siang menjelang sore tanggal 02 februari 2012, aku dan teman – temanku dating ke kampus. Salah satu dosen, yang kebetulan juga pembimbing skripsiku, Bapak DR. Kiryanto, SE, Msi, Akt berbaik hati bersedia meluangkan waktunya untuk memberi tambahan ‘refresh’ untuk kami menjelang ujian pendadaran, atau biasanya di kenal dengan istilah ujian kompre.
Saat usai membahas beberapa soal yang kami belum paham tentang mata kuliah akuntansi biaya, beliau bertanya, “Sudah tahu siapa besok pembimbingnya?.” Kami spontan menjawab belum, karna memang nama penguji sebenarnya baru akan di umumkan sore hari. Dengan irama jantung yang mulai tak tentu, aku meminta ‘bocoran’ pada beliau yang sudah memegang jadwal untuk pendadaran esok hari.
Kembali beliau berbaik hati, dan menuruti permintaanku. Nama yang beliau sebut pertama adalah namaku. Dan seketika itu, tubuhku menggigil, ketika beliau membacakan 2 dari 3 nama dosen yang tak pernah aku bayangkan dan menjadi momok menakutkan bagi banyak orang justru disebutkan sebagai dosen pengujiku esok. Seketika aku menangis, sesak dicengkeram rasa takut yang teramat. Bayangan – bayangan tentang kemungkinan terburuk berkelebat amat menakutkan. Harus bagaimana aku ceritakan pada keluarga jika kemungkinan itu terjadi?!
Aku pun mencoba mencari dukungan semangat. Selain dari sahabat – sahabatku tercinta yang saat itu ada bersamaku, aku juga mengirim sms kepada kakak – kakakku.
“Mbak, nyaliku ciut banget, aku takut…” itu salah satu sms – ku pada kakak perempuanku.
Tak berapa lama, balasan datang. “jangan ciut!! Kamu lupa kamu punya Allah? Kamu lupa Allah itu Maha? Minta pertolongan sama Allah dari hati terdalam, lalu yakin bahwa semua yang terjadi itu yang terbaik!”
Subhanallah walhamdulillah… aku amat bersyukur cahaya hidayah itu segera menyentuh qolbuku. Sms itu amat menyentakku. Aku tersedu, bukan lagi karna takut, tapi karna aku mulai menyadari sesuatu. Tentang imanku yang ternyata masih teramat rapuh, tentang tawakkalku yang ternyata tak lebih dari setebal kulit bawang, tentang aqidahku yang masih teramat mudah goyah. Astaghfirullah…
Kesadaran serta pemahaman itu kemudian datang bertubi – tubi, menghujam dalam hati. Aku lalu mulai meraba, bahwa mungkin saja Allah hendak menguji imanku atas keputusan tentang 3 pengujiku esok hari. Da ternyata, tanpa sadar aku sempat lupa tentang ke – MAHA-anNYA. Betapa aku juga sempat lupa bahwa lulus atau tidaknya aku, sama sekali bukan berasal dari dosen – dosen penguji itu, melainkan dari – NYA. Betapa aku juga sempat bertanya, “Rabb, bukankah aku meminta agar mendapat penguji yang baik hatinya?!.” Betapa di hatiku juga sempat tersemai rasa iri pada teman – teman yang mendapat dosen penguji yang komposisinya jauh lebih menentramkan hati. Ah, ampuni hamba Rabb
Aku lalu merekonstruksi hati dan pikiranku. Mengokohkan keyakinan bahwa kekuasaan Allah meliputi langit dan bumi. Bahwa hati para dosen penguji ada dalam genggam kekuasaan – Nya yang Maha memiliki kasih tak bertepi.
“Menegakkan langit tanpa satu – pun tiang pun mudah bagi Allah, apalagi sekedar membuatku lulus meski di uji dosen paling di takuti?!” ucapku dalam hati, tak henti – henti.
Rabb… Engkau tahu aku lemah. Engkau tahu aku tak mampu jika tanpa pertolonganMU. Engkau tahu aku tak bisa jika tanpa belas kasihMU… bantu aku Rabb, bantu aku…” itu sepenggal rintihan yang terus aku lirihkan sepanjang malam.
Subhanallah walhamdulillah… betapa Maha Rahman – RahimNYA memang seluas langit dan bumi. Untuk aku, hamba yang masih teramat sering melalaikanNYA saja Allah tak henti – hentinya mencurahkan rahmat – NYA. Dan benarlah, bahwa Allah tak pernah sekalipun ingkar atas semua janjiNYA. Bahwa IA, akan mengabulkan setiap pinta dari hamba – hambaNYA yang mau meminta. Subhanallah walhamdulillah…
Maka, jika hari ini aku sampai pada titik ini, dan mampu menyelesaikan 3,5 tahun dengan baik, dengan segala kurang lebihnya, aku tahu bahwa itu semua adalah berkat pertolongan Allah. Laa hawla walaa kuwwata illa billah…
*Beri aku kemampuan untuk terus mengeja hikmah – hikmahMU yang terserak, dan mampu mensyukuri tiap jenak nikmat yang tak terhitung dariMU Rabb…*

Semoga bermanfaat,
Di tengah dingin dan syahdunya udara pagi,
Pancur, 04 Februari 2012

Aku Pernah Menangis Karena...

Aku pernah menangis karena kamu yang tak jua mengerti atas keputusanku. Yang tak juga percaya bahwa ini tak hanya berat untukmu, melainkan juga untukku.
Aku pernah menangis karena sebuah kesadaran atas perbedaan. Perbedaan yang sama – sama membangunkan kita pada sebuah kedewasaan bahwa bersatu, adalah sebuah ketidakmungkinan.
“Perbedaan ini seharusnya tidak menjadi penghalang untuk kita!” itu katamu.
“Perbedaan ini adalah hal utama yang membuatku mampu mengambil keputusan se – menyakitkan ini!” itu jawabanku.
Bersatu denganmu adalah salah satu episode yang amat aku inginkan untuk ada dalam lembaran sejarah hidupku. Duduk bersama menikmati senja, saling menggenggam tangan menguatkan saat badai menerpa, lalu tersenyum memaklumi kala pikun telah menjadi karib kita. Tapi kamu harus tahu… bahwa aku memiliki impian yang jauh lebih aku inginkan dari itu semua. Tersenyum sambil bercengkrama di atas dipan – dipan, menikmati aliran sungai yang airnya lebih lembut dari susu serta lebih manis dari madu. Dan itu tak mungkin aku dapatkan jika aku tetap memilihmu sebagai pelengkap separuh hidupku.
“Lalu siapa yang salah?” tanyamu disatu senja pada pantai cinta yang menjadi tempat favorit kita.
Aku terdiam. Karna aku tahu, kamu tak butuh jawaban. Jika memang harus ada yang di salahkan, biarkan aku yang menjadi tumbal. Aku yang membukakan pintu ketika kamu mulai mengetuk – ngetuk pintu ketertarikan. Aku yang terlampau meremehkan benih keakraban yang kian hari kian memabukkan. Aku yang telah membiarkan semua harap tumbuh dan merekah bersama jalin rasa yang kian mengakar menyatukan hati kita. Aku yang pernah teramat naif   mengharapkan kamu akan bersedia berkompromi untuk menghapus semua perbedaan. Ya, mungkin memang aku yang paling patut untuk disalahkan…
“Apa memang tak lagi ada jalan?” tanyamu kemudian.
Aku menggeleng lemah, jengah. Jerih mengingat ibu dan ayahku yang amat terluka ketika asal – usulmu aku sebutkan. Payah menjelaskan bahwa tak akan ada kesepakatan yang aku iya – kan dengan tetap membiarkan perbedaan ini tetap ada.
Senja itu, kamu lalu berjalan mendekati ombak yang ramah menerjang. Aku lalu mengikutimu, berdiri terpaku tepat di belakangmu. Diam – diam, aku mengusap ujung mataku yang basah, entah oleh apa. Gundah ini sungguh amat menyiksa, ketika harus melihatmu yang pernah selalu menjadi penjaga nyala api semangatku, kini justru tampak begitu tertatih menerima semua keputusanku.
Terkadang aku tak percaya. Lalu terus bertanya, benarkah sebegitu cintanya hingga tampak amat sulit untuk menerima bahwa kita tak akan pernah berlabuh pada satu dermaga?! Kemudian kembali bertanya, murnikah semua rasa yang kamu persembahkan, karna terlalu banyak yang mengatakan bahwa tak mungkin tanpa tendensi lain atas cinta yang kamu pautkan.
Entahlah. Aku bahkan tak pernah benar – benar berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang memenuhi angan. Yang aku tahu, bahwa di luar perbedaan yang membentang, pribadimu sempurna untuk terus ku kenang.
Tiba – tiba kamu membalikkan badan, hingga wajah kita tepat berhadapan.
“Lalu bagaimana?” tanyamu.
“Kita cukupkan!” jawabku, sembari sekuat tenaga memejam mata, menahan bulir – bulir air yang mendesak – desak ingin segera keluar.
Kamu mengangguk – angguk samar. “Tuhan memang satu, kita yang tak sama…” begitu katamu, mengutip kata – kata dari sebuah lagu sembari menepuk – nepukkan tangan pada bahuku, seolah ingin selalu menguatkan.
Aku tersedu. Memandangmu yang segera berlalu menjauh dariku, dari pantai cinta tempat favorit kita. Memandang punggung bidangmu, yang pernah aku harapkan menjadi penyangga seluruh sisa hidupku di dunia. Hingga tak lagi nampak siluetmu di penghujung senja, aku masih dengan sedu sedan yang tak pernah ingin aku tunjukkan.
Dan hari ini, akhirnya aku tahu. Bahwa cinta memang tak pernah salah. Kita – lah yang terkadang amat ceroboh lalu menempatkannya pada tempat yang salah, yang dari kejauhan tampak begitu indah.

Signature

Signature