Mereka Bilang itu 'Cinta'

on
Kamis, 30 Agustus 2012
Kalian pernah merasakan gemetar bertemu seseorang? Saat lutut seolah kehilangan dayanya, lalu seketika itu tubuh seperti hendak luruh begitu saja...

Kalian pernah seketika terlonjak bahagia saat melihat seseorang meski hanya kelebatan singkat saja? Saat jantung menjadi berdetak teramat cepat, hinggah suhu tubuh menjadi panas dingin tak karuan rasanya...

Kalian pernah amat tersiksa tidak melihat  sesosok orang meski hanya sehari saja? Saat malam menjadi teramat panjangnya, dan mata menjadi amat nakal tak bersedia memicing meski malam terus beranjak matang...

Kalian pernah merasakan sakit yang tak terkatakan saat melihat seseorang yang membuatmu gemetar dan terlonjak bahagia, juga tersiksa ketika tak melihatnya, tengah berjalan bersama orang lain di suatu siang sambil berbincang hangat tertangkap retina? Saat hanya air mata yang akhirnya bisa mewakili semua kesakitan itu, namun esok hari kamu tetap mengharap pertemuan kembali dengannya...

Kalian pernah merasa amat benci pada seseorang karna merasa ia telah menjadi penyebab atas semua berbagai rasa yang menyesakkan dadamu, tapi tetap selalu menanti saat-saat dimana kamu bisa melewati seuntai rentang waktu, meski tidak hanya berdua, bahkan bertegur sapa pun sama sekali tidak? Saat kamu bisa melihat senymya terkembang meski melalui curi-curi pandang, juga suara celotehnya samar-samar tertangkap gendang telinga...

Apa kalian pernah merasakan itu semua?
Aku pernah...
Aku masih mengingat persis rasanya, meski berbagai gumpal rasa itu telah tertinggal ratusan hari nun jauh belakang sana...

Dulu aku tak tahu apa gerangan nama macam-macam rupa rasa itu...
Lalu aku bertanya, dan mereka bilang itu cinta
Cinta? Seperti itukah cinta?
Aku masih belum yakin... entahlah...


Rosa, 30 Agustus 2012

Sedih dan Bahagia itu...

on
Minggu, 19 Agustus 2012
Malam pertama setelah Ramadhan…

Di sela – sela hiruk ikuk sukacita idul fitri hari ini, tiba – tiba sebersit tentang sepenggal kisah tragis seminggu yang lalu yang menimpa seorang tetangga.
Ingatan yang membuatku amat miris karna membuatku mafhum bahwa selalu ada dua sisi mata uang di dunia ini… air mata dan tawa,  sedih dan bahagia, malang dan beruntung… ah, terkadang bahkan semua itu datang bergiliran dengan amat ironis…

Malam itu malam minggu, tepat seminggu sebelum hari raya idul fitri. Sepasang suami istri berniat membelikan sebuah baju untuk putrid mereka tercinta yang baru berumur 3 tahun. Mereka pergi bertiga dengan memakai sepeda motor, tepat seusai buka puasa. Dan entah apa pasal, bahkan belum genap setengah dari jarak yang akan mereka tempuh, malang datang menyapa tanpa pernah mereka mampu mengelaknya. Kecelakaan tunggal, entah bagaimana kronologisnya… si suami patah tulang di dua bagian tubuhnya, dan si istri gegar otak dan harus menyerah pasrah di hari ketiga pada dekap Izrail. Sedang si putri kecil Alhamdulillah hanya lecet – lecet sedikit… tapi, bukankah luka hatinya amat jauh lebih menganga karna ia harus kehilangan ibunda di usia yang masih amat belia?? 

Ya Allah… bukankah mereka belum lama mengecap manisnya rumah tangga? Bukankah mereka entah berapa menit sebelumnya baru saja berbincang tentang rencana hari raya, tentang baju baru putrid mereka… ah, tapi bukankah sedih dan bahagia memang selalu hanya terhijab sehelai tissue, selalu bersisian dan tak terpisahkan...

Ironisnya… pihak keluarga almarhum, terutama ibunya masih belum bisa benar – benar berlapang dada. Ada nada – nada sedikit menyalahkan si menantu atas kelalaiannya malam itu yang membuat kecelakaan itu terjadi, dan menyebabkan putrinya meninggal. Ada pula slentingan – slentingan “mungkin” dari beberapa kerabat… ‘kalo dulu nggak nikah sama dia, mungkin belum meninggal…’, ‘kalo semalem nggak pergi, mungkin nggak kejadian’, dan kalo – kalo serta mungkin – mungkin yang lain…

Apa hikmah yang aku ambil??

Yang pertama tentang larangan berandai – andai dengan berkata ‘kalo – mungkin’. Aku baru mulai paham apa alasannya. Menurutku dengan berkata seperti itu membuat kita akan amat jauh lebih sulit untuk berlapang dada menerima berbagai ketentuan Allah. Di tiap kecelakaan, mungkin memang 90% selalu ada unsur kelalaian. Tapi jika udah terjadi, bukankah kita hanya patut mengambil pelajaran agar lebih hati – hati, lalu bertawakal yang sudah terlanjur terjadi?

Lalu aku juga sempet merenung tentang ‘kalo nggak nikah sama dia…’
Betapa  tiap takdir itu saling bertautan, terangkai menjadi sebuah jalan cerita, dan membentuk sebuah kisah dan sejarah bagi masing – masing jiwa. Keputusan kita hari ini akan menentukan jalan cerita kita selanjutnya, dan takdir kita hari ini akan terhubung rapi dengan takdir kita selanjutnya… begitu kan? Yang jelas, aku percaya Allah nggak akan sedikitpun salah atas segala keputusan-NYA, meski bukan pula berarti kita jadi pasrah berpangku tangan atas hidup kita.

Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari marabahaya, serta menjaga kita senantiasa ada dalan kebaikan dan lindungan-NYA…


NB: Mohon maaf lahir batin atas segala khilaf yang mungkin terselip di beberapa tulisan.
Happy Idul Fitri 1433 H, semoga kita termasuk orang – orang yang kembali pada fitrah

Rosa, 19 Agustus 2012


Entah Harus apa Judulnya...

on
Jumat, 17 Agustus 2012

Ramadhan telah menjemput penghujungnya…
Ah, terlalu naïf kah jika selalu ada sedih menyambangi di detik – detik menjelang perisahan, sedangkan terlalu banyak detik yang begitu saja terlewat dengan banyak hal tanpa guna
Terlalu naïf kah jika selalu berharap pertemuan kembali di tahun – tahun berikutnya, sedang tiap kesempatan bertemu yang di berikan-NYA tak pernah membuat kita benar – benar memuliakan Ramadhan dan mengesampingkan dunia…
Menyesal… hanya itu yang selalu tertinggal saat Ramadhan beranjak pergi meninggalkan…
Menyesal karna selalu menyadari ada teramat banyak waktu tersiakan di bulan mulia ini… saat penduduk langit riuh turun ke bumi menjemput tiap untai doa dari mulut – mulut kita, sementara kita? Sibuk entah oleh urusan apa yang amat remeh temeh…
Tapi Rabb… ijinkan kami tetap berharap atas pertemuan kembali…
Ijinkan kami tetap berharap bahwa kami tetap mendapat kemuliaan Ramadhan – MU, meski hanya sepercik saja…
Ijinkan kami Rabb… ijinkan kami…
Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…. Laa ilaa ha illallah huwallahu akbar…. Allahu Akbar, Walillahilkham….

Rosa,
Sehari menjelang Idul Fitri 1433 H

Ini Pendapatku, Bagaimana Pendapatmu??

on
Selasa, 07 Agustus 2012

Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, saya (dan mungkin juga kalian) sudah mendapatkan penanaman pemahaman tentang kita sebagai makhluk social. Bahwa kita hidup di tengah – tengah masyarakat yang harus saling mengharagai hak serta kewajiban masing – masing individu, saling toleransi, dan lain sebagainya.

Tentu saja saya setuju dengan penanaman itu. Kenyataanya kita memang nggak akan pernah bisa hidup sendiri tanpa pertolongan orang lain, bahkan sebanyak apapun harta kita. Selain itu, hidup bermasyarakat menurut saya juga secara nggak langsung ngasih kita sebuah ‘kontrol’, atau yang lebih sering disebut sebagai control social. Seperti apa contohnya? Yah contoh paling gampang  kita merasa malu melakukan perbuatan – perbuatan yang di luar norma.

Emm, tapi jujur aja… saya kadang juga merasakan dampak negative dari status kita sebagai makhluk social. Ini sekedar pendapat saya pribadi sih, jadi jangan di debat (kalo ditanggapi tentu saja boleh). ‘Gara-gara’ status sebagai makhluk social, kita secara tidak sadar seringkali seolah ‘dipaksa’ untuk selalu memikirkan ‘omongan’ orang – orang di sekitar kita. Dan seringkali kita ngrasa tersiksa oleh itu semua. Bahkan malangnya kadang kita lebih memilih tersiksa asal nggak ‘dikomentarin’ sama orang-orang sekitar.

Contohnya? Yang paling sederhana dulu… anak – anak ABG sekarang malu kalo nggak punya pacar karan takut dianggap ‘kampungan, de el el’ oleh teman – temannya, meskipun mungkin beberapa dari mereka tau dan sadar bahwa pacaran nggak ada manfaatnya tapi banyak mudhorotnya. Yang lebih serius lagi… banyak banget nggak sih sekarang yang ‘memaksakan diri’ membeli sesuatu (mobil, de el el) demi menjaga gengsi dan pendapat orang, meski mereka harus setengah mati berjuang untuk membayar angsuran tiap bulan dan menjaga agar asap di dapur tetap mengepul. Ah, banyak… banyak sekali konsekuensi yang harus ditanggung dari status kita sebagai makhluk social.

Sedihnya lagi, control social yang merupakan dampak baik dari status kita sebagai makhluk social toh nyatanya (menurutku) udah nggak  berjalan sebagaimana mestinya. Anak gadis menginap dirumah ‘pacarnya’ sudah dianggap masyarakat sebagai ‘hal biasa’ sebagai dampak perubahan zaman. Intinya, sekarang ini kita udah nggak bisa ngandelin ‘omongan orang’ sebagai tolok ukur baik dan buruk. Jadi, harus pinter – pinter deh nyaring opini masyarakat yang terbentuk untuk hal – hal tertentu. Ya karna sekali lagi, nggak selamanya pendapat lebih banyak orang itu benar, dan pendapat sedikit orang itu salah.

Oh ya, jadi pengen ikut komentar tentang kasus yang sedang hangat saat ini. Nggak tau sih ini ada hubungannya apa nggak. Yaitu tentang kasus H. Rhoma Irama yang ‘dituduh’ mengangkat tema SARA dalam salah satu kesempata khotbah seusai sholat tarawih. Saat itu intinya beliau mengatakan bahwa umat muslim dilarang memilih pemimpin dari golongan non-muslim, karna sanksinya adalah menjadi musuh Allah. Lalu, mulailah masyarakat (melalui berbagai media) rame – rame berkomentar, ada yang  mendukung, tidak sedikit yang mengecam. Katanya Bang Haji merusak persatuan bangsa dengan ceramahnya itu, bahkan ada yang menganggap beliau menghina agama lain dengan itu. Nah lho… dimana letak menghinanya?? Beliau kan menyampaikan itu di masjid. Jadi apa salah kalo beliau menyampaikan apa yang ada dalam Al-qur’an?? Kalau, (maaf sekali sebelumnya) seorang pendeta khotbah di sebuah kebaktian, menyampaikan bahwa kami (yang tidak beragama nasrani) adalah domba tersesat, apa itu berarti menghina dan kami berhak pula marah – marah dan mengecam?? So, harus dibedakan mana yang menghina, dan mana yang menyampaikan ajaran agama. Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu J

Pesen saya sekali lagi, pinter – pinter menyaring opini public yang saat ini semakin liar terbentuk yaahh… jangan mudah terprovokasi (dalam hal apapun, diluar kasus Rhoma Irama). Lalu bagaimana solusinya untuk menentukan sikap? Kembali pada kaidah – kaidah agama saya pikir menjadi jalan keluar terbaik J

#maaf ya tulisannya kacau dan mungkin bikin pusing waktu dibaca, hehe


Rosa
7 Agustus 2012 (Malam ke-19 Ramadhan)

Kadang (atau seringkali?)

on
Senin, 06 Agustus 2012

Kadang aku bertanya, mengapa aku harus ada disini hari ini

Meskipun sebenarnya aku tahu jawabannya… bahwa jika hari ini aku ada di titik ini, maka suatu hari aku aka nada di titik dimana aku tahu bahwa tempatku saat ini-lah yang mengantarkanku atau menjadi perantara untuk aku ada di tempat selanjutnya di masa yang akn datang…

Kadang aku bertanya, mengapa aku harus mengenal seseorang

Meskipun akhirnya aku menyadari bahwa dating dan perginya seseorang dalam hidupku merupakan satu rangkaian yang tiada terputuskan… dan bahwa setiap orang yang hari ini ada, tidak mungkin dihadirkan tanpa maksud… semua membawa misi untuk aku pelajari…

Kadang aku bertanya, seperti aku di hari – hari ke depan

Meskipun aku sangat mengerti bahwa hidup menjadi tak indah lagi tanpa dinamika dan teka – teki tentang waktu yang akan dating… pastilah langit akan hampa tanpa ribuan doa yang bergemuruh meluncur dari hati – hati penuh harapan, dan pastilah dunia akan sepi tanpa helaian nafas – nafas perjuangan dan ikhtiar…

Dan kadang aku bertanya… mengapa aku harus mengambil keputusan ini kemarin

Tapi kemudian aku sadar… bahwa mengapa Allah terkadang membiarkan kita salah melangkah, ialah tak lain agar kita tidak merasa ‘besar’… ialah agar kita mau belajar dari kesalahan – kesalahan yang ada… ialah agar kita selalu teguh meyakini bahwa kita bukan apa – apa tanpa pertolongan-NYA…

Laa hawla walaa kuwwata illaa billah…

Signature

Signature