Review Himalaya Purifying Neem Face Wash dan Purifying Neem Scrub

on
Senin, 27 Februari 2017
Review Himalaya Purifying Neem Face Wash dan Purifying Neem Scrub. Sebelum nulis review ini, saya geli sendiri ingat komentar Mbak Ninda di postingan saya tentang Mud Mask Jafra.

"Bertanya2 dedeknya ocha cewek apa cowok yaaaa
jadi banyak kosmetik disini hahaha"


Haha. Menurut USG, dedek dalam perut Insya Allah cowok. Justru karna cowok, kata orang-orang, maka wajah saya jadi penuh jerawat. Karna penuh jerawat, maka saya jadi terus mencari-cari produk perawatan kulit yang sekiranya bisa menolong wajah saya ini.

Tapi saya gak percaya sih kalau jerawat-jerawat ini muncul karena saya hamil anak cowok. Teman saya hamil anak cowok wajahnya mulus bersih bersinar kok. Ini semata-mata karena saya kelewatan males aja rawat wajah di trimester pertama dan kedua kehamilan. Gak tau kenapa, bahkan sekedar pakai face wash aja males banget. Apalagi bedak atau pelembab. Yang tetap rutin tiap pagi cuma lipstik.

Kepanjangan yaa pembukaannya =D

Yaudah, yuk mulai ngobrolin Himalaya Purifying Neem Face Wash dan Purifying Neem Scrub.

Kenapa tiba-tiba saya memilih Himalaya Purifying Neem Face Wash dan Purifying Neem Scrub, padahal tadinya kenal produk itu aja enggak?

Iya, tadinya saya sama sekali belum pernah dengar tentang merk kosmetik Himalaya. Yang mengenalkan pertama kali adalah teman saya yang Konsultan Jafra itu. Jadi dia mengaku bahwa dia sendiripun belum total pakai produk-produknya Jafra, karna harganya yang ampuh. Dia lalu cerita bahwa sabun wajah yang ia pakai adalah Himalaya Purifying Neem Face Wash. Menurut beliau ini sabun wajah herbal, gak mengandung paraben, harganya murah, mudah ditemukan di swalayan, dan dia cocok.

Saya kepo dong pasti.

Pas jadwal belanja bulanan sama mas suami ke swalayan, eh mata saya menangkap deretan kosmetik bertuliskan Himalaya Herbals. Duh, dasar jodoh =D Tapi saya gak langsung beli. Baca-baca dulu, menimbang-nimbang dulu, minta pendapat mas suami dulu.

Ohya, kenapa saya merasa harus ganti face wash? Karena face wash yang sebelumnya saya pakai -- face wash yang salah satu brand ambassadornya adalah Inneke -- makin lama makin gak 'menolong'. Setelah cuci muka tetap terasa kotor. Dan komedo makin banyaaakkk. Hiks.

Nah, terus gimana setelah pakai Himalaya Purifying Neem Face Wash dan Purifying Neem Scrub? Saya bahas satu-satu, yaa.

Himalaya Purifying Neem Face Wash


Himalaya Purifying Neem Face Wash teksturnya seperti gel. Baunya gak nyolok, ada aroma-aroma herbalnya gitu. Harganya bisa dbilang murah, karna untuk kemasan berisi 100 ml harganyanya gak sampai 30.000.

Saat dipakai, Himalaya ini gak menghasilkan banyak busa. Di daftar komposisi gak ada kandungan paraben ataupun SLS-nya yang konon punya efek gak bagus. Jadi makin mantep pakai produk ini. Setelah dipakai, rasanya... enak. Gak kering, gak bikin wajah kerasa ketarik, tapi terasa bersih dan segar. Komedo juga berkurang banget dibanding saat masih menggunakan face wash merk sebelumnya. Saya pakainya sehari dua kali, pagi dan sore.


Nah, di belakang kemasan ada keterangan bahwa untuk hasil maksimal, sebaiknya juga gunakan  Purifying Neem Scrub dan Purifying Neem Mask. Akhirnya saya ambil juga deh Purifying Neem Scrub-nya, sedangkan Purifying Neem Mask-nya enggak dulu soalnya kan masih punya Mud Mask Jafra.

Himalaya Purifying Neem Scrub


Himalaya Purifying Neem Scrub teksturnya seperti scrub wajah kebanyakan produk lain. Hanya saja scrub-nya agak lembut, kecil-kecil. Jadi saat dipakai gak bikin sakit.

Sayangnya, gak ada saran pemakaian harus berapa hari sekali pakainya. Yang jelas saya pakainya gak tiap hari sih, sesekali saja.


Jujur saja, saya jauh lebih suka atau lebih sreg sama Himalaya Purifying Neem Face Wash dibanding dengan Himalaya Purifying Neem Scrub. Mungkin gara-gara saat baca daftar komposisinya, ada dua jenis paraben di dalamnya. Lhah, katanya herbal kok ada parabennya? -_-

Menurut klaimnya, Himalaya Purifying Neem Scrub ini dapat mencegah jerawat, mengangkat komedo dan sel kulit mati dan kotoran dengan lembut. Sejauh ini, saya cukup merasakan pernyataan tersebut sih.

Ohya, untuk harganya gak jauh beda sama Himalaya Purifying Neem Face Wash. Tapi saya lupa berapa persisnya. Hehe.

Kesimpulan:

Sejak memakai dua rangkaian Himalaya Herbals Purifying Neem Face Wash dan Neem Scrub ini, jerawat sudah mulai jarang muncul. Meskipun sesekali masih ada.

Apakah saya akan re-purchase? Sepertinya iya.

Sekarang, masalah terbesar muka saya adalah menghilangkan noda bekas jerawat yang, Subhanallah... menyedihkan :(

Lalu PR terbesar saya adalah, mencari pelembab yang cocok buat kulit muka saya. Ada yang punya rekomendasi kah?

Pertanyaan Seputar BPJS Kesehatan Yang Membuat Saya Galau

on
Rabu, 15 Februari 2017

Pertanyaan Seputar BPJS Kesehatan Yang Membuat Saya Galau. BPJS Kesehatan konon membuat banyak orang bingung dan galau dengan beberapa prosedur dan ketentuannya. Tapi banyak juga yang merasa terbantu olehnya.

Jika ada yang merasa bingung dan galau, menurut saya itu semata karna kekurangpahaman atas prosedur dan aturan yang berlaku di BPJS Kesehatan. Dan saya adalah salah satunya. Saya sempat dibuat galau atas status kepesertaan saya di BPJS dalam rangka persiapan saya menjelang melahirkan yang rencananya ingin memanfaatkan fasilitas dari BPJS.

Jadi begini ceritanya.

Sejak awal hamil, saya gak pernah pakai fasilitas BPJS. Saya periksa di rumah sakit ibu dan anak yang belum bermitra dengan BPJS. Lagipula, domisili saya di Semarang, sedangkan faskes 1 BPJS saya di Jepara (kota asal saya).

Karena saya berencana melahirkan di Jepara, maka saya dan suami berdiskusi sampai akhirnya memutuskan merencanakan persalinan dengan fasilitas BPJS. Nah, tapi di benak saya bermunculan berbagai pertanyaan seputar BPJS yang membuat saya galau. Galau karna setelah browsing berulang-kali, saya gak juga menemukan artikel yang benar-benar sesuai dan menjawab pertanyaan saya. Sempat tanya-tanya ke beberapa teman juga, termasuk para bloger yang belum lama ini melahirkan dengan fasilitas BPJS di antaranya adalah Mbak Muna Sungkar, Mbak Ira dan Mbak Marita. Telepon ke Customer Service BPJS pun sudah saya lakukan. Sayangnya, jawabannya muter-muter, dan dari dua kali telepon, jawabannya beda. Makin galau lah pasti T_____T

Pertanyaannya apa saja sih?

1. Status kepesertaan saya ada di BPJS Jepara, dan berencana melahirkan di Jepara, sedangkan KK (kartu Keluarga) saya sudah pindah menjadi KK Semarang ikut suami. KTP juga sudah KTP Semarang.

Nah lho, terus apakah bisa saya melahirkan dengan fasilitas BPJS sedangkan antara status kepesertaan saya di BPJS dan status kependudukan saya ada di kota yang berbeda??

2. Menurut artikel Mbak Ira, jika BPJS-nya mandiri (bukan sebagai penerima upah), jika ternyata harus melahirkan melalui proses Sectio Caesar, maka si bayi sudah harus didaftarkan BPJS sejak masih dalam kandungan. Jika tidak, maka biaya atas si bayi gak bisa dicover oleh BPJS.

Karena menurut dokter saya harus bersiap untuk kemungkinan SC (meski kemungkinan melahirkan normal masih terbuka), saya ingin mengantisipasi segala sesuatu, salah satunya dengan mendaftarkan si adek sejak sekarang.

Tapi pertanyaannya, apakah bisa saya mendaftarkan bayi saya sedangkan di database BPJS saya dan suami belum tergabung dalam satu KK? Saya masih tergabung di KK bapak saya (di Jepara) dan suami juga masih tergabung di KK orangtuanya (di Semarang).

Serius, dua pertanyaan tersebut sempat membuat saya galau berat.

Sampai akhirnya, hari jum'at kemarin saya dan mas suami menyempatkan datang ke kantor BPJS Jepara langsung (sampai minta ijin kerja), untuk bertanya.

Meskipun niatnya hanya untuk bertanya, kami membawa dokumen lengkap. Untuk jaga-jaga. Dokumen-dokumen yang saya bawa diantaranya adalah:

1. KK baru saya di Semarang
2. KK lama orangtua saya
3. Fotocopy kartu BPJS saya, suami, dan seluruh anggota keluarga saya
4. Fotocopy KTP saya, suami, dan seluruh anggota keluarga saya
5. Fotocopy buku nikah
6. Fotocopy buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak)

Sesampainya di kantor BPJS, Alhamdulillah antrinya gak banyak. Setelah giliran saya tiba, segera saya tumpahkan segala pertanyaan seputar BPJS yang bikin saya galau.

Dan jawabannya adalah...

Ternyata BISA dan GAK MASALAH.

Jadi, BPJS itu ternyata gak mempermasalahkan perbedaan status wilayah kepesertaan yang tercatat di BPJS dan status wilayah kependudukan si peserta. Yang penting adalah faskesnya. Selama faskes saya masih di Jepara, ya fasilitas BPJS akan tetap bisa saya gunakan di Jepara, meskipun KK dan KTP saya di Semarang.

Nah, soal pendaftaran si adek yang masih dalam kandungan juga ternyata gak ada masalah sedikitpun. Gak masalah meskipun saya dan suami terdaftar di BPJS yang berbeda wilayah, dan lagi meskipun kami belum melaporkan perubahan KK kami.

Saya kira, melaporkan perubahan KK itu ada syarat dan prosedur tertentu. Eh, ternyataaa... Kemarin saat saya menyodorkan KK terbaru ke mbak frontliner BPJS, mbaknya cuma bilang, "oh, ini mbaknya masih di KK lama, ya? Sekalian saya ubah ya data KK-nya dengan KK yang baru ini".

Udah, gitu doang.

Duh, Gustiii... Simpel gitu ngapain kemarin saya galau gak habis-habis =D Salahkan CS BPJS yang bilang gak bisa dan jelasin muter-muter waktu saya telfon -_____-

Demikian cerita kegalauan saya tentang pertanyaan-pertanyaan saya seputar BPJS. Siapa tau ada teman yang juga menyimpan pertanyaan yang sama :)

REAKTIF

on
Rabu, 08 Februari 2017

Apa sih reaktif itu?

Menurut KBBI, reaktif adalah...

reaktif/re·ak·tif/ /réaktif/ a sifat cenderung, tanggap, atau segera bereaksi terhadap sesuatu yang timbul atau muncul

 Sedangkan reaktif menurut definisi serampangan saya sih: SENGGOL BACOK! =D

Bicara soal reaktif, dulu saya reaktif sekali orangnya.

Kalau ada yang bicara sesuatu yang kurang cocok sama pendapat saya pribadi, langsung saya bantah. Gak kenal sekalipun.

Kalau ada kejadian yang belum terlalu saya pahami, saya juga gak sungkan untuk langsung bereaksi.

Apalagi kalau ada yang nyinggung ego saya. Langsung deh mulut merepet ngomel macem-macem. Berusaha menunjukkan bahwa saya tersinggung.

Dulu waktu masih sering naik bus, kadang orang yang duduk sebangku sama saya ngajak ngobrol. Lalu pernah suatu kali, isi obrolan yang dilempar sama si teman sebangku saya itu mengandung pendapat yang gak sejalan sama pendapat saya. Langsung deh saya debat. Habis-habisan debatnya, sampe otot leher keluar semua.

Itu dulu.

Sekarang udah enggak?

Masih. Tapi udah gak separah dulu.

Lama-lama saya merasa, jadi orang yang reaktif itu bikin capek. Dan kadang bikin malu.

Sifat reaktif itu bikin emosi meletup-letup sekali. Dan emosi yang meletup-letup itu bikin capek. Contohnya cerita saya dengan teman sebangku di bus itu.

Kalau dipikir-pikir, buat apa sih saya segitunya mendebat pendapat orang yang gak saya kenal? Apa ngaruhnya buat hidup saya? Gak ada sama sekali!

Lalu saya dapat pelajaran dari seorang teman sekamar. Suatu hari saat dia naik bus, teman sebangkunya (yang sudah bapak-bapak) melempar pertanyaan basa-basi. Kuliah di mana, semester berapa, asli mana, fakultas apa, dll. Saat teman saya tersebut bilang bahwa ia kuliah di fakultas psikologi, eh si bapak berkomentar panjang lebar tentang fakultas psikologi. Mau jadi apa setelah lulus nanti, prospeknya gak cerah, dll.

Kalau saya ada di posisi teman saya, sudah pasti bakal saya debat habis-habisan. Tapi teman saya enggak. Dia cuma senyum.

Saya protes. Kok enggak dibantah, biar dia tau dia salah dan sok tau?! Teman saya jawab, "buat apa? cuma habisin energi. Enggak tak debat pun gak ada pengaruhnya sama sekali kok buat hidupku!"

Iya juga ya =D

Jadi reaktif itu melelahkan menurut saya. Kadang juga memalukan.

Saya pernah beberapa kali emosi gak jelas dengan sangat norak. Lalu akhirnya, saya malu sendiri. Karna kemarahan saya ternyata gak beralasan. Saya belum benar-benar paham apa yang terjadi, tapi sudah terburu-buru bereaksi. Nah lhoo, malu sendiri kan akhirnya?

Sekarang apa saya udah gak reaktif lagi?

Mungkin lebih tepatnya berusaha mengurangi. Berusaha lebih kalem. Kalau ada kejadian atau dengar sesuatu, ya diem dulu aja. Dicerna dulu. Dipahami dulu. Belum bisa sepenuhnya sih. Kadang masih reaktif. Tapi reaktifnya berusaha lebih 'elegan', dan gak sekonyong-konyong. Salah satunya dengan cara nulis di blog ini.

Tulisan ini salah satu bentuk reaksi saya atas kritikan yang saya terima. Saya nulisnya gak seketika setelah dikritik, melainkan nunggu beberapa hari. Biar nulisnya dengan kepala yang cukup dingin.

Pada jaman dimana hoax bertebaran dan berbagai macam berita simpang-siur tak terkendali serta tak jelas sumbernya, sifat reaktif rasanya berbahaya sekali, ya?

Hobi share berita yang judulnya 'WOW' tanpa membaca terlebih dahulu isinya, contohnya. Itu salah satu bentuk reaktif yang bahaya sekali. Atau share berita yang belum jelas benar-enggaknya. Saya sempat jadi bagian orang yang seperti itu. Tapi lama-lama saya mikir. Iya kalau yang saya share bener, kalau salah bukannya saya akan malu sendiri? Bukannya saya seperti memperlihatkan kebodohan saya sendiri?

Sekarang, saya mau berusaha untuk gak reaktif lagi. Saya ingin jadi orang yang pandai mengendalikan diri =)

Ada yang mau sama-sama dengan saya belajar mengendalikan diri?

Signature

Signature