True Story: Jihan

on
Kamis, 14 Juni 2012
Namanya Juhan Awwaliyatus Sholihah, biasa dipanggil Jihan. Ia gadis kecil umuur 7 tahun yang amat cerdas dan pintar menggambar. Kehadirannya ditunggu berpuluh tahun di tengah rumah tangga Ayah Ibunya. Hingga setelah berbagai doa dan ikhtiar, akhirnya Allah mengijinkan Jihan hadir di rahim ibunya di usia diatas 40 tahun.

Layaknya seorang anak yang kehadirannya ditunggu amat lama, Jihan memang cenderung dimanja oleh orang tuanya. Ia amat dekat dengan ayahnya, bahkan jauh lebih dekat jika dibanding dengan Ibunya. Hal pertama yang selalu Jihan lakukan saat pulang sekolah adalah menelfon ayahnya. "Papah, aku udah pulang sekolah. Papah lagi apa? Jangan sore-sore ya pulangnya, adek kangen...". Ya, begitulah... hingga Jihan tak pernah bisa tidur nyenyak tanpa terlebih dahulu melihat ayahnya.

Hingga sebulan lalu, sepenggal cerita sebagai awalan atas cerita-cerita mengharukan tentang Jihan bermula. saat ayahnya, atas saran saudara-saudara, pergi ke rumah sakit untuk check up karna saudara-saudara sedikit merasa khawatir dan ganjil melihat melihat kondisi beliau yang semakin hari terus semakin kurus dan tampak 'layu'. Ah, benar saja... Skenario Allah memang sering tak terduga. Bahkan sakit yang secara logika tidak mungkin tidak terasa pun tak jarang baru terdeteksi saat sudah fatal menjajah tubuh. Ayah Jihan divonis ada tumor di ginjal yang sudah menjalar dan sudah merusaka paru-paru serta jantungnya. Jalan keluar menuurut dokter: cuci darah!

Namun beliau menolak. Bukan karna tak ada biaya, mereka keluarga berkecukupan. Entahlah apa alasannya, yang jelas ia memilih pengobatan alternatif. Ah, tapi siapa pula yang bisa memundurkan ajal barang sedetik. Hanya selang tiga minggu dari vonis dokter, Izrail menjemputnya, hanya selang 3 hari usai mengajak Jihan jalan-jalan ke jogja. Innalillahi Wa inna ilaihi Raji'un...

Tentang beliau yang sudah pergi, tentu kita hanya bisa mengikhlaskan serta mendoakan semoga dilapangkan alam kuburnya. Tapi Jihan? Ah, ia masih terlampau kecil untuk bisa memahami perpisahan serumit ini. Perpisahan yang tak pernah memberi kepastian waktu tentang pertemuan kembali.

Disamping jasad ayahnya Jihan termenung, sembari tak henti bergumam, "Aku sayang Papah, Papahku baik..."
Pada tantenya, Jihan mengeluh, "Papah meninggal karna adek nakal ya pasti? sekarang adek nggak nakal lagi..."

Jihan pun menangis di pangkuan ibunya, mengungkapkan betapa perih hatinya melihat 'ayahnya' di injak-injak di dalam tanah, dengan gaya bicara yang polos khas anak kecil. Bahkan beberapa setelah pemakaman, Jihan lari ke makam ayahnya yang jaraknya tak jauh dari rumahnya, membawakan payung karna merasa kasian jika ayahnya kepanasan serta sendirian. Ah, Jihan...

Weekend kemarin, di hari ke-10 kepergian ayahnya, aku beserta kakak-kakakku berkunjung ke 'rumah duka' itu. Dan Jihan, sejak pagi hingga malam saat kami datang, dengan nada bicara yang seolah menahan sesuatu yang amat bergejolak di dadanya, terus memohon pada ibunya, lalu pada kakakku agar bersedia 'menelfonkan' Papahnya karna ia amat rindu. Ya Allah, bagaimana kami harus menjelaskan...

Hingga sesaat kemudian, saat Andien (keponakanku: 5 tahun) berhasil mengalihkan perhatian Jihan mulai teralih pada buku gambar, kakakku iseng membuka-buka buku pelajaran yang ada di tas sekolah Jihan, yang sejak tadi tergeletak di depan kami. Dan seketika, air mata kakakku menganak sungai. Ia menemukan tulisan khas anak kecil kelas satu SD, di buku itu.
Dan seperti inilah bunyinya:
"Hari Rabu, papahku sayang meninggal dunia. Aku sedih...
Ini salahku Papah, maafkan aku... Selamat tinggal
papahku sayang meninggal dunia..."

Ya Allah, semoga Engkau mengganti kasih sayang papanya dengan kasih sayang yang jauh lebih baik untuk Jihan... Semoga Engkau senantiasa merangkulnya dengan kasih sayang-MU langsung di setiap hari-harinya...

6 komentar on "True Story: Jihan"
  1. mampir jga gan
    ===================
    ngrayudan.blogspot.com
    ===================

    BalasHapus
  2. Kehilangan orang yang sangat kita sayangi adalah sebuah elegi yang sangat tak bisa saya bahasakan, sosok ayah dalam cerita Jihan telah memberikan terlalu banyak kenangan bagi Jihan. Tak mungkin dengan mudah Jihan akan lupa dengan semua itu, kepolosannnya menunjukkan kalau ayahnya memang sangat berharga baginya dan tak mungkin ada yang bisa menggantikannya secara sempurna. Keren ceritanya.

    Follow balik yah kalau berkenan! Salam kenal dariku Blogger Makassar

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju sekali... ah, mungkin terlalu menyakitkan utk jihan. tapi semoga ini justru yang akan membuatnya tumbuh dewasa dg pemahaman hidup yang jauh lebih baik...

      okee...pasti follow balik :)

      Hapus
  3. subhanallah artikel yang sangat menggugah hati ini..

    BalasHapus
  4. terimakasih.. :)
    baru belajar nulis, sembari membagi secuil hikmah...

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)

Signature

Signature