Kesiapan Mental Menjadi Seorang Ibu

on
Selasa, 25 Maret 2014
Beberapa hari setelah anak dari salah satu sepupu saya lahir, saya menanyakan kabarnya pada Ayahnya – si sepupu saya itu – karna belum sempat menengok langsung lagi.

“Gimana Dedek bayi? Udah mulai ngASI, kan?”

“Nggak Mbak, nggak mau si dedeknya. Lagipula airnya dikit banget!”, jawab sepupu saya. Oh ya, dia memang adik sepupu saya, tapi usianya jauh lebih tua dari saya.

Saya tertegun mendengar jawabannya. Terlebih ketika di melanjutkan dengan cerita bahwa si Dedek diberi SuFor. Oke, mungkin saya akan terkesan sok tua sekali bicara soal ini. dengan status saya yang masih single, tahu apa saya soal ASI, merawat bayi, dll? Mungkin akan ada yang berpikir seperti itu – terutama orang-orang di sekitar saya. Tapi saya nggak peduli. Saya ingin tetap mengungkapkan apa yang ada di kepala saya, di sini.

Jujur seperti ada rasa sedih mendengar jawaban sepupu saya tadi. Tidak perlu saya paparkan detail, pasti sudah banyak sekali yang tahu – bahkan jauh lebih tahu dari saya – soal keutamaan ASI bagi anak dibanding Sufor. Ah, jelas sekali soal ini. mana ada ciptaan manusia yang mampu menandingi ciptaan Sang Pencipta Manusia?!

Semakin sedih saat mengingat bahwa istri dari sepupu saya itu sepenuhnya di rumah – alias nggak kerja di luar rumah. Ya Allah… beberapa kali saya mendengar cerita dan membaca kisah para ibu yang mati-matian tetap berusaha memberikan ASI eksklusif di tengah kesibukan mereka yang luar biasa di luar rumah. Juga kakak ipar saya sendiri yang amat pilu ketika akhirnya ia tidak berhasil melakukan hal tersebut karna manajemen waktu pemerahan ASI yang gagal ia kelola. Lalu ini? Dia ada di rumah dan ‘ikhlas’ melihat anaknya terlelap karna jasa dot?!

Kalau sepupu saya bilang si Dedek bayi nggak mau menyusu ibunya, dan ASI si Ibu nggak sedikit sekali, bukankah hal tersebut bisa dicari sebab dan jalan keluarnya?? Si Dedek nggak mau mungkin karna posisi menyusuinya yang masih kurang tepat. Dan bukankah produksi ASI bisa meningkat seiring semakin seringnya ASI dikenyot oleh si bayi?! Bagaimana mungkin ASI bisa keluar banyak jika si bayi tidak berusaha dirangsang untuk terus mengenyot. Kurang lebih seperti itu yang saya tahu. Revisi saya jika ada yang salah.

Ah ya, ada satu hal lagi yang hendak saya ceritakan. Jadi, sepupu ipar saya melahirkan sekitar jam delapan malam, di rumah Bidan desa – tidak jauh dari rumah saya. Paginya, sekitar jam delapan lebih saya sempat menengok mereka – ibu dan bayinya – yang ternyata belum dibawa pulang. Seperti biasa, saya selalu excited tiap lihat bayi – tidak bisa menahan hasrat untuk menggendong dan menciumnya walau sebentar. Dan eh… betapa saya heran dan kaget saat si ibunya tiba-tiba bercerita bahwa dirinya malah belum sama sekali menggendong, ah, sekedar mendekap dan menciumnya pun belum katanya – sejak semalam setelah si bayi lahir. Bilang saya berlebihan. Tapi sungguh saya kaget. Eh, heran. Bagaimana bisa? Dalam benak saya, saat seorang wanita melahirkan, bahkan itu anak pertama, hatinya pasti sudah disesaki rasa rindu ingin segera mendekap dan mencium buah hatinya secara langsung. Tapi ini? Entahlah.

Kalau saya boleh jujur – dan lagi-lagi sok tahu – saya memang seperti tidak melihat binar kebahagiaan yang luar biasa dari sorot matanya. Seperti… emmm, biasa saja, datar. Apa karna dia masih ‘terlalu’ muda untuk jadi ibu? Ah ya, saya lupa bilang kalau usia sepupu ipar saya itu jauh lebih muda dari saya.

Dari beberapa potongan cerita di atas, menurut saya salah satu penyebabnya adalah kurangnya ilmu. Ya, sungguh cerita tentang sepupu saya ini hanya satu dari sekian banyak cerita serupa di sekitar saya. Dan saya prihatin sekali melihat amat rendahnya kemauan belajar seorang calon ibu di sekitar saya. Nggak cuma soal ASI, MPASI, dll seputar perawatan saat buah hati masih bayi, tapi lebih jauh lagi – soal cara mendidik, membentuk karakter, dll.

Dan hal tersebut, menurut ke-soktauan saya ini membuat banyak sekali wanita yang menjadi ibu tanpa dibarengi kesiapan mental sebagai seorang ibu yang perannya vital sekali bagi anak. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Lahirnya generasi fotocopy! Fotocopy dari generasi-generasi sebelumnya, yang cenderung tidak mengalami banyak perbaikan. Yaiyalah, kan mereka di didik dengan system yang sudah turun-menurun – yang juga diterima bapak-ibunya dulu.

Ya, begitulah ocehan sok tahu saya kali ini. saya sangat paham mengubah paradigma tentang dua paragraph terakhir di atas tidak mudah – sangat tidak mudah bahkan. Ini menyangkut banyak sekali hal. Tapi apa boleh buat, saya belum bisa berbuat apa-apa. Jadi, saya nulis saja di blog ini, semoga ada manfaatnya – sekecil apapun itu. Aamiin.
6 komentar on "Kesiapan Mental Menjadi Seorang Ibu"
  1. Saya juga waktu melahirkan ga langsung banyak ASI nya cuma karena keinginan kuat ingin menyusui langsung biar dikit tetap saya susukan atau pake sendok dulu sampe ASInya akhirnya keluar banyak..

    BalasHapus
  2. Menjadi ibu ternyata juga harus banyak belajar, karena susahnya melebihi yg ngantor :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Katanya si gitu mbak.. Saya baru ngrasain ngantornya doang si soalnya, jd blum punya perbandingan :D

      Hapus
  3. Yang kita lihat belum tentu seperti yang kita pikirkan mbak :)
    Pasti ada alasan yang mungkin kita ga tau..
    Memang mbak, jadi ibu harus banyak belajar dulu ya..

    BalasHapus
  4. @Mak Arifah... Iya ya Mak, mungkin saya terlalu under estimate >.<

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)

Signature

Signature