Tentang Menjadi Orangtua dan Menjadi Anak

on
Sabtu, 12 Desember 2020


Saat melihat cuitan itu, hati saya langsung tergelitik untuk menuliskannya.


Sejak saya merasakan dua peran, yaitu menjadi orangtua dari anak saya, sekaligus menjadi anak bagi orangtua saya, saya jadi sering tergelitik oleh hal-hal semacam ini.


Tentang doktrin-doktrin bagaimana seharusnya hubungan anak dan orangtua, yang rasanya seringkali menempatkan orangtua di posisi yang egois. Doktrinnya sama sekali nggak salah -- (iyalah, masa' perintah yang ada dalam Al-Qur'an saya anggap salah?) -- cuma sepertinya perlu dipahami lebih luas lagi.


"Anak harus membahagiakan orangtua. Emangnya orangtua nggak bisa membahagiakan dirinya sendiri?"


Kebahagiaan itu sebenarnya sumbernya dari dalam diri sendiri kan? Maka tugas untuk membahagiakan orang lain -- meskipun itu orangtua sendiri -- bukankah terlalu berat jika si orang yang ingin dibahagiakan tidak bahagia dari dalam dirinya sendiri?


Nggak jarang kita lihat para anak yang mati-matian berusaha membuat pencapaian, demi ingin membuat orangtuanya bahagia, toh pada akhirnya harus kecewa. Karena nyatanya, si orangtua tetap saja nggak merasa bahagia. Masih kurang, kurang, kurang. Sialnya, yang jadi kambing hitam adalah si anak. Selalu menganggap si anak yang 'bermasalah' karena nggak bisa membahagiakan orangtuanya. padahal yang seperti ini sebenarnya sih orangtuanya yang emang masih ada masalah di dalam dirinya.


"Anak harus membahagiakan orangtua?". Mohon maaf, bukankah (pada umumnya, kecuali kasus-kasus tertentu), sejak si anak lahir, bahkan ketika baru hadir dalam bentuk janin aja anak sudah memberikan kebahagiaan untuk orangtuanya? Bukankah hal pertama yang dibawa anak memang adalah kebahagiaan untuk orangtuanya?


Kenapa tiba-tiba begitu anak tumbuh, anak harus menanggung tugas begitu berat dengan di 'harus-haruskan' membahagiakan orangtua -- yang definisi kebahagiaannya -- seringkali terlalu rumit?


Sama halnya dengan 'anak harus berbakti pada orangtua'.


Masalahnya, definisi berbakti versi orangtua itu kadang terlalu egois. Ada beberapa orangtua yang menganggap si anak nggak berbakti, hanya karena si anak tidak menjalankan beberapa kehendaknya. Lhadalah, padahal si anak itu kan juga manusia yang punya kehendak. Yang adakalanya nggak selalu selaras dengan orangtua.

 

Ego. Sekali lagi tentang ego sebagai orangtua, yang seringkali membuat kita merasa berhak atas sepenuhnya hidup anak. Merasa selalu lebih tau yang terbaik untuk anak. Lalu ketika anak ternyata nggak sependapat, si orangtua kadang dengan serta-merta menganggap anaknya nggak berbakti. Duh Gusti...


Sedihnya lagi, ketika orangtua merasa anaknya nggak berbakti atau nggak bisa membuatnya bahagia -- atau katakanlah memang si anak melakukan kesalahan, orangtua kadang dengan 'enteng' mengatakan kalimat-kalimat menyakitkan bagi si anak.


Kalimat-kalimat menyakitkan itu, mungkin akan mudah dilupakan oleh si orangtua. Pun dengan kesalahan anak. Karena apa? Pada dasarnya, kasih sayang orangtua ke anak memang jauh lebih besar dibanding kasih sayang anak ke orangtua. Karena itu, orangtua mungkin akan jauh lebih mudah memaafkan kesalahan anak, sekaligus melupakan kalimat menyakitkan yang terlontar pada anak.


Tapi apa kabar hati si anak yang tersakiti oleh kalimat kita? Mungkin itulah kenapa banyak kasus tentang anak yang menyimpan luka pengasuhan. Sama sekali bukan karena anak tidak berterima kasih atas segala jasa baik orangtua. Tapi karena pada dasarnya, anak nggak dianugerahi rasa sayang sebesar orangtua, sehingga nggak semudah orangtuanya berlapangdada.


Lagipula, doktrin tentang 'anak harus berbakti pada orangtua' dan 'anak harus membahagiakan orangtua' itu sebenarnya ada doktrin lain yang sayangnya kadang dilupakan oleh kita para orangtua sendiri.


Apa itu?


Tentang keharusan mendidik dan mengasuh anak sebaik mungkin. Tentang keharusan menjadi teladan bagi anak, dan memperlakukan anak dengan baik. Kewajiban ini sejatinya jauh lebih dilaksanakan kan, sebelum segala keharusan tentang anak terhadap orangtua itu?


Jika orangtua sudah melakukan itu terlebih dahulu, sepertinya -- Insyaa Allah, tanpa 'diharus-haruskan' pun, anak pasti akan punya keinginan dan berusaha sekuat yang ia bisa untuk berbakti pada kita.


Tentang membahagiakan, sekali lagi, anak jauh lebih dulu membawa kebahagiaan untuk kita orangtuanya, sebelum kita membahagiakannya. Coba ingat-ingat perasaan kita saat moment pertama kali USG dan melihat si anak yang baru berupa titik kecil di layar. Bahagia, kan?

 

Semoga kita nggak memakai perintah Allah pada anak untuk berbakti dan berlaku baik pada orangtua, sebagai pembenaran untuk membumbungkan ego kita sebagai orangtua.

Be First to Post Comment !
Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)

Signature

Signature