Warna-Warni Dunia Kerja

on
Kamis, 30 Januari 2014


Nggak terasa sudah setahun lebih saya berada di dunia kerja, mencicipi cita rasanya, juga berusaha menyesuaikan diri dengan berbagai perbedaan dengan dunia saya sebelumnya. Ya, dunia kerja dan dunia kampus (sekolah), tentu saja berbeda jauh. Kalo saat masih sekolah atau kuliah kita masih seneng grubyak-grubyuk sama temen-temen, hal itu pasti akan sangat jarang bisa kita lakukan sama temen kerja. Kalo saat kuliah ato sekolah kita ‘kompak’ banget menyelesaikan berbagai tugas bersama, bahkan tak segan untuk saling membantu, nggak begitu halnya saat sudah ada di dunia kerja. Meski kita diwajibkan untuk bisa saling bekerja sama, tetap saja masing-masing orang punya jobdesc-nya masing-masing, dan harus mereka selesaikan masing-masing pula. Iya, kan?

Sejauh ini, saya selalu berusaha untuk nggak lepas bersyukur telah ‘diletakkan’ Allah di tempak kerja saya ini. tempat yang memberi saya banyak sekali kesempatan untuk belajar. Belajar lebih banyak hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu saya, juga tentang warna-warni sisi kehidupan. Ya, bukankah kita harus selalu belajar – bahkan dari keburukan sekalipun?

Setahun kerja, saya sudah beberapa kali mengalami pergantian rekan kerja. Dan dari beberapa kali pergantian tersebut, saya mulai bisa menemukan ‘pola’ sikap teman-teman kerja saya (mungkin termasuk saya sendiri). Setiap ada rekan kerja baru, beberapa teman cenderung membangun ‘tembok’. Lalu yang berkembang selanjutnya adalah berbagai ‘kasak-kusuk’ tentang berbagai sikap (yang terlihat) negative dari rekan kerja baru tersebut. Beberapa kali pola tersebut terulang, saya jadi bisa sedikit menarik kesimpulan. Kalo terlihat banyak sekali sisi negative dari rekan kerja baru tersebut, bukan karna dia memang benar-benar seperti itu, tapi semata karna kita yang sudah lebih dulu membangun ‘tembok’ yang menghalangi kita untuk bersedia mengenal dan menilai secara objektif rekan baru kita tersebut. Yah, mungkin mirip-lah sama penyebab orang yang susah move on *yang ini sok tau*.
Kalo soal persaingan dan konflik kepentingan antar rekan kerja sih mungkin sudah termasuk hal klise ya di dunia kerja. Sering denger cerita dan beberapa kali lihat sendiri juga orang yang sibuk cari muka di depan atasan. Apalagi iri-irian soal perbedaan ‘penghargaan’ yang diberikan pada masing-masing karyawan. Hmm…

Sadar ato nggak, kadang ada beberapa dari kita yang menodai jalan rizki yang sebenarnya halal. Contohnya, dengan saling menghasut ato menjatuhkan citra rekan kerja misalnya. Semoga kita masih punya cukup harga diri untuk menghindarkan diri dari cara-cara rendah seperti itu. Kalo soal iri karna adanya perbedaan ‘penghargaan’, saya pikir nggak papa selama kita bisa menempatkan iri itu sesuai porsinya – yang bisa mendorong kita untuk lebih berprestasi lagi.

Satu lagi hal penting yang saya pelajari dari dunia kerja ini adalah: berani mengakui kelebihan teman, dan nggak pegecut untuk mengakui kekurangan serta kesalahan kita. Dan itu sama sekali nggak gampang! Denger atasan memuji hasil kerja rekan kita, kalo kita nggak berjiwa besar sangat berpotensi bikin telinga dan hati jadi panas. Apalagi kalo di sisi lain ternyata ada kerjaan kita yang salah atau kurang sempurna… wah, wah… benar-benar hati yang teramat lapang untuk mengakuinya dengan legowo.

Tidak Ada Judul

Semalam aku mimpi kamu. Aku benar-benar lupa seperti apa kronologi kejadian dalam mimpiku, yang jelas aku ingat ada kamu di situ.

Lalu, pagi ini aku 'bertemu' potongan namamu di beberapa ayat dalam Surah Hud. Aku nggak sedang berusaha menghubung-hubungnkannya. Hanya saja dua hal itu jadi teramat sukses membuat hatiku didera rindu.

Ah, rindu. Kata yang sebenarnya tak lagi ingin kuungkap, apalagi ku besar-besarkan. Memang sudah jalannya seperti ini. Memang seperti inilah fitrah hidup yang harus terjadi.

Aku tau akan selalu ada orang-orang baru yang datang dalam rangkaian hari-hariku untuk memberiku satu lagi pengajaran baru, untuk menggantikan orang-orang terdahulu yang sudah habis masanya lalu melanjtkan perjalanan bersama orang baru. Tapi kamu, satu dari sedikit orang yang membekas cukup dalam dalam hatiku. Terimakasih pernah menjadi sahabatku.

Rasa kehilangan, hanya akan ada jika kau pernah merasa memilikinya. Ya, aku memang pernah merasa memilikimu.

"Inilah hidup, Nok..." begitu katamu.

**Baik-baik disana, ya, Kak... Aku tau kamu nggak bakal pernah baca tulisan ini. Karna dunia kita sudah sangat berbeda, meski nama planetnya tetap masih sama :)

Tabur Tuai

on
Senin, 27 Januari 2014

Pernah denger istilah hukum karma, kan? Percaya? Kalo saya lebih seneng pake istilah tabur tuai sih. Intinya sih kayaknya sama.

Ya, dalam sebuah hadist juga dikatakan bahwa Rasullullah SAW.bersabda,”kama tadiinu tudaanu sebagaimana kamu memperlakukan,maka begitu juga kamu akan diperlakukan“(H.R.Ibnu ’Adi,Arbain Tarbawi). Yah, begitulah… pada dasarnya masing-masing diri kita-lah yang menentukan sendiri nilai diri kita masing-masing. Kalo kita nggak menghargai orang, ya secara nggak langsung kita udah bikin diri kita nggak patut dihargai. Kalo kita suka menyakiti orang ya otomatis orang lain akan enteng saja menyakiti kita, begitu juga sebaliknya.

Dan ajaibnya, hasil yang kita tuai atas tiap tindakan kita, nggak selalu kita dapat dari pohon yang sama yang benihnya telah kita tabor sebelumnya. Emm, gampangnya gini… saat kita berbuat baik ke seseorang, kita juga akan dapet ‘balasan’ berupa kebaikan pula, tapi bukan dari orang tersebut melainkan dari orang lain.  dan sayangnya kita kadang nggak sadar, dan jadi kebawa sebel kalo orang yang udah kita baikin tadi malah nggak terlihat membalas kebaikan kiva secara langsung. Iya, nggak?
Begitu juga saat kita disakitin sama seseorang. Kita nggak perlu loh repot-repot mikir keras buat bales tindakan nyakitin dia ke kita… yakin deh seyakin-yakinnya kalo dia bakal tetep dapet balesan atas tindakan menyakitkannya tersebut. Nggak perlu lewat kita! Tapi ya kita nggak selalu tau sih waktu dia sedang dalam fase ‘menuai’. Bisa aja dia akan tetep terlihat baik-baik saja dan selalu bahagia di mata kita.

Yah, Allah memang Maha Adil sih, ya… kalo misal apa yang kita tuai itu selalu hanya dari pohon yang benihnya kita tabur langsung, ya susah dong. Bisa-bisa kita malah kebawa sebel kalo sering dibaikin sama orang, soalnya langsung mikir harus bales. Hihi. Eh, dan satu lagi… pasti kita jadi males banget pergi takziah! Kenapa? Lhah, kan kalo sekedar mikir soal bales-membales secara langsng, toh orang yang kita takziahi nggak bakal bisa bales buat datang takziah waktu giliran kita yang harus ditakziahi. Hehe

Jepara Berkabung

on
Jumat, 24 Januari 2014
Saya nggak peka kali yaa...
Tapi beneran loh, saya kaya' baru sadar kalo kota saya ini tengah berduka. Banjir dimana-mana. Benar-benar sedang dirundung bencana. Padahal sebelum-sebelumnya nggak pernah sampe kaya' gini.

Iya, saya tuh emang seneng sama hujan. Berangkat plus pulang kerja kehujanan terus ya saya asyik-asyik aja. Pokoknya kemaren-kemaren itu saya masih seneng-seneng aja hujan terus-terusan, dan heran sama temen-temen yang udah pada resah banget ngomongin hujan. Sudah dari seminggu yang lalu juga temen kerja tiap pagi update berita-berita tentang Jepara dari salah satu fanpage di FB. Tapi kok ya saya masih tetep cuek. Kirain cuma dilebih-lebihkan.

Baru sadar kemaren, waktu Mbak Nita sms kalo wilayah deket tempat tinggalnya juga banjir parah ternyata. sampe pada ngungsi gitu. Ya Allah... bener-bener tercengang. Terus tiga hari yang lalu pagi-pagi juga salah satu temen whatsapp saya, katanya dia ikut kebanjiran. Lagi-lagi saya ngiranya yah paling cuma di halaman, dan cuma semata kaki lah yaa. Eh ternyata dapet kabar dari Mbak Nita lagi kalo wilayah tempat tinggal temenku yang itu tu sampe pada harus ngungsi semua. Saya langsung coba hubungi dia lagi, karna setelah whatsapp dia yang ngabarin dia kebanjiran, dia nggak bales apa-apa lagi. Dan hasilnya? Nihil! Saya belum bisa hubungi dai sama sekali sampe hari ini. Nomornya nggak aktif. Ya Allah... saya cuma bisa berdoa semoga dia dan keluarganya tetep dalam lindungan Allah.
Ds. Tigajuru-Jepara


*Pray for Jepara*

Jadi, Dandan Buat Siapa?

on
Rabu, 22 Januari 2014
Saya sebenarnya belum lama tahu tentang sosok Pakdhe Cholik. Tentu saja bukan karna beliaunya kurang terkenal, tapi karna saya kuper dan terhitung blogger baru.  Sejak kemarin saya melihat beberapa postingan teman di WeBe tentang giveaway 2 Hari-nya Pakdhe, tapi harus menahan penasaran hingga hari ini karna koneksi internet yang payah sekali sejak kemarin. Hari ini Alhamdulillah koneksi membaik, dan saya bisa membayar rasa penasaran itu, lalu memutuskan untuk turut menyemarakkan giveaway ini sebagai salah satu tanda perkenalan dengan Pakdhe :)

setelah beberapa saat menyelami beberapa tulisan Pakdhe, saya langsung tertarik pada sebuah tulisan berjudul “Wanita BerdandanUntuk Siapa?”. Ehm, oke… saya cukup sering kepikiran tentang hal ini, karna di sekitar saya cukup banyak saya temui realitas yang cukup disayangkan.

Ya, saya jauh lebih sering menjumpai fenomena seorang wanita yang heboh sekali menata penampilannya saat di luar rumah, tapi saat di dalam rumah… hmm, daster robek-robek selalu jadi busana andalannya. Padahal kalau dipikir-pikir, apa untungnya ya dandan buat orang lain yang bukan siapa-siapa? Mengharap pujian? Apa nggak lebih seneng dipuji suami dan anak-anak? Okelah, saya juga wanita, saya tahu mempercantik penampilan itu sudah jadi semacam fitrah. Berarti mungkin jalan tengah terbaiknya ya seperti nasehat pakdhe dalam tulisannya tersebut, “Sesibuk apapun, wanita sebaiknya tetap berpakaian rapi di rumah”.  Jadi harus tetap imbang.

Nah, bagaimana dengan wanita yang masih lajang seperti saya? Kalau saya pribadi sedang terus berusaha mengingatkan hati agar ngak berpikir buat terus mempercantik penampilan dengan niat utama menarik lawan jenis. Saya terus menggarisbawahi nasehat salah seorang penulis favorit saya, bahwa seorang laki-laki yang mencintai hanya karna tampilan fisik bukan mustahil suatu saat juga akan dengan mudah pergi karna alasan yang sama pula ketika ada tampilan fisik yang jauh lebih menarik.

Tulisan ini diikutsertakan dalam event Giveaway 2 Hari Pakdhe Cholik

Januariku

on
Senin, 20 Januari 2014

20 Januari? Ada apa? Hari lahirku. So?

Alhamdulillah udah nggak seheboh dulu menyambut tanggal itu. Kalo aku bilang sih itu sebagai salah satu tanda kedewasaan. Lebih kalem dan bijak memaknai hal-hal yang lebih hakiki.

Kalo dulu nggak sabar ketemu tanggal itu karna penasaran dapet surpraise apa dari temen-temen, siapa yg ngucapin pertama, dapet kado apa, dll... Sekarang lebih ke 'ya Allah, aku udah makin tua ternyata.. Dan aku masih gini-gini aja'.

Kalo dulu sampe bisa jadi alasan kuat buat ngambek kalo ada temen yg alpa ngasih ucapan, sekarang justru berharap banget mereka sibuk mendoakan dalam diam.

Anyway, segala puji hanya bagi Allah yang masih ngijinin aku bernafas sampe hari ini, menghujani aku dengan rahmat tanpa putus, ditengah seringnya lalaiku.

**Terimakasih juga atas 'kado dari langit' luar biasa yang menemani perjalananku ke kantor tadi pagi, Robb :)

Wanita Harus Irit!!!

Seperti biasa, pagi sebelum mulai kerja saya biasanya blogwalking dulu, meski nggak selalu meninggalkan jejak. Hehe. Nah, waktu kemarin lagi BW ketemu sama postingan Mbak Rani Saputra tentang irit yang ternyata sedang diikutkan salah satu event giveaway. Saya langsung tertarik, selain karna emang lagi rajin mencicipi sensasi ikut GA, temanya juga “saya bangeeet”! hihi

Soal irit, jangan ditanya deh! Sifat itu seperti sudah menjadi bawaan orok dalam keluarga saya. Sejak kecil, salah satu doktrin yang ditanam kuat oleh Bapak-Ibu pada saya dan 2 kakak saya adalah “Nggak boleh pake uang untuk hal-hal yang kurang ada manfaatnya!”

Salah satu pengalaman melakukan pengiritan dalam keseharian yang nggak mungkin terlupakan tentu saja saat kuliah di Semarang dan harus kost. Bapak-Ibu selalu ngasih uang saku PAS buat kami. Tentu saja nominalnya nggak sama, seseuai dengan nilai uang di jaman kami masing-masing. Tapi prinsip dasarnya tetep sama. Uang saku dikasih pas buat seminggu. Jadi mau nggak mau seminggu sekali juga harus pulang untuk minta uang saku lagi. Hal ini dilakukan menurut Bapak-Ibu, selain biar irit, juga biar kita tetap terkontrol pergaulannya.

Dengan uang saku pas tersebut tentu saja saya harus memutar otak biar bisa meng-cover semua kebutuhan saya selama seminggu. Buat makan, fotocopy, ongkos angkos angkot, dll. Waktu itu sava sempat mencoba trik pengiritan dengan cara makan sehari dua kali aja. Tapi baru beberapa hari berjalan, saya nyerah. Saya emang paling nggak bisa kalau nggak makan tiga kali sehari. Maka saya putuskan untuk mengganti trik, karna buat apa irit tapi jadi mengorbankan kesehatan diri?! Saya lalu mengganti siasat dengan cara membeli roti tawar plus ceres. Jadi untuk sarapan pagi saya ganti dengan makan setangkup roti aja. Cukup berhasil, tapi tetap aja tak berselang lama saya bosan. Nasi tetap jadi makanan favorit yang tak tergantikan.

Lalu bersama teman sekamar yang juga lagi pengen irit, akhirnya kami sepakat untuk iuran untuk belanja ke pasar, dan masak. Wow, hasilnya memukau. Dengan budget minim, kami bisa masak sup plus mendoan, dan sisa sayurnya kami tumis. Jadi bisa buat makan pagi, siang sore. Tapi berhubung kesibukan kuliah nggak memungkinkan untuk kami selalu masak sendiri, pada akhirnya langkah irit yang paling langgeng adalah dengan cara memilih menu-menu sederhana nan ekonomis. Rames, nasi kucing, atau nasi plus telur penyet adalah beberapa pilihannya. Meski masa-masa kost sudah berakhir, bukan berarti pengiritan juga tutur berakhir. Sampai sekarang saya tetap melanggengkan kebiasaan tersebut dengan membawa bekal makan siang dari rumah saat kerja. Selain karna males jajan keluar yang jaraknya cukup jauh, lidah saya emang kurang bisa cocok sama masakan produk warung. Dan jauh lebih irit tentunya! Haha

Selain soal makan, pengiritan yang sangat penting buat dilakukan, terutama untuk kaum hawa adalah soal fashion. Titik ini juga sepertinya yang paling sering gagal diatasi. Iya, nggak? Tapi tentu saja tidak dengan saya. Saya bersyukur bukan termasuk wanita yang mudah sekali menjadi korban mode. Yah sebut saja saya cupu atau nggak modis. Hal itu bikin saya nggak kalang kabut nurutin gengsi beli macam-macam model baju dengan harga selangit. Bagi saya baju yang nyaman dipakai, menutup aurat dan bersih sudah lebih dari cukup. Tapi bukan berarti nggak perlu trik untuk bisa jadi lebih irit. Diantaranya, memilih baju dengan warna-warna yang bisa dipadu-padankan dengan jilbab yang sudah saya punya, atau sebaliknya, membeli jilbab warna netral yang bisa dipasangkan dengan beberapa baju. Alhamdulillah-nya lagi, saya punya ibu dan kakak yang pintar jahit baju. Nah, jadi semakin bisa irit deh. Tinggal browsing model baju di internet, terus beli kain, nanti ‘disulap’ deh sama kakak atau ibu jadi baju yang 11-12 sama model yang ada di internet itu! Hehe


Jadi, mari menerapkan pola hidup irit mulai sekarang! Apalagi sebagai wanita, kita akan jadi pengelola utama gerak perekonomian keluarga kita. Irit bukan pelit, irit demi masa depan yang lebih baik! Haha




Tak Mampu Memilih

on
Sabtu, 18 Januari 2014

Ketika ada beberapa pilihan di hadapan, dan saya tak juga mampu memilih, maka mungkin lebih baik saya sejenak berhenti

Menyendiri dalam sepi, lalu meletakkan kembali hati
Jikalah hidup hanya hitam dan putih, mungkin takkan jadi serumit ini
Sayangnya ada abu-abu, hingga orang yang memilih kita belum tentu akan jadi yg kita pilih, begitupun sebaliknya

Saya akan tetap disini
Menunggu tanpa ragu dia yang pasti akan tetap datang, tak peduli saya masih setia dalam penantian, atau justru memilih bosan dan berkelana ke banyak lintasan kisah pencarian

Ketika Curanmor Menghantui

on
Kamis, 16 Januari 2014
Beberapa waktu belakangan ini di daerah tempat saya tinggal cukup marak kasus curanmor. Terakhir, malam selasa kemarin Om saya yang menjadi korbannya. Hemm, ikutan nyesek waktu pertama denger kabar itu. Apalagi Om saya yang kena musibah itu bisa dibilang kondisi ekonominya menengah-ke bawah. Belum lagi motor itu masih tergolong baru (tapi bekas). Yah bisa dibilang harta bendanya ya cuma motor itu. Dan nggak cuma motor, HP-nya pun ikut di gasak. Masya Allah...

Tak urung saya dan keluarga, juga saudara-saudara yang rumahnya saling berdekatan pun ikut resah. Selasa kemaren, waktu ngobrol-ngobrol santai, selain masih membahas tentang keprihatinan kami pada musibah yang menimpa Om, kami juga membahas 'upaya' peningkatan kehati-hatian agar musibah serupa tak sampai menimpa kami.

Ada sodara yang bilang mau beli rantai+gembok buat motonya. Ada juga yang bilang mau mengganti kunci rumahnya dengan yang lebih bagus, ada pula yang berseloroh bilang motornya mau dimasukin kamar.

Tapi tak lama kemudian kami serentak terdiam. Dan ajaib, ketika ternyata 'hidayah' itu seperti menyentuh hati kami secara hampir bersamaan. Kami lalu melirihkan istighfar. Betapa saat membahas berbagai upaya tadi, secara nggak sadar kita telah mengesampingkan rasa pasrah pada Sang Maha Pemilik Jagat Raya ini. Betapa kami seperti lupa bahwa harta tak lebih dari sekedar titipan, dan tak satu pun musibah yang menimpa selain memang telah digariskan oleh-Nya.

Lalu apa kita nggak lagi perlu waspada, karna toh semua sudah ada 'ketentuan-Nya"?! Tentu saja tetap perlu! Bukankah manusia diciptakan dengan akal salah satunya untuk berikhtiar? Terus gimana baiknya? Mungkin yang terbaik adalah tetap meningkatkan kewaspadaan, dengan terus meng-upgrade keberserahan kita pada-Nya. Wallahu a'lam...

**Semoga Allah memberikan kesabaran dan ganti yang jauh lebih baik dan lebih banyak untuk si Om, dan semoga si pelaku lekas bertaubat dari 'profesinya'

Warna-Warni Mahasiswa

on
Rabu, 15 Januari 2014


“Boleh bangga jadi mahasiswa, tapi jangan bangga jadi yang terlama!”

Pertama kali lihat tulisan itu seingat saya di gedung Fakultas Psikologi Universitas tempat saya kuliah dulu. Saya yang sejak awal kuliah bertekad untuk bisa lulus dalam waktu 3,5 jelas dong langsung mengamini, *sambil ketawa ngikik. Hihi

Dulu waktu masih lugu saya sempet mikir, masa’ iya ada sih mahasiswa yang ‘sengaja’ memperlama kuliahnya dan jadi nggak lulus-lulus? Nggak mungkin lah kayaknya… pasti semua pengen cepet wisuda, jadi sarjana, terus kerja.

Eh ternyata enggak lho… saya salah. Mahasiswa ternyata ada banyak warnanya. Nah, saya lagi pengen iseng mengidentifikasi warna-warna motif mahasiswa yang berhasil saya tangkap. Cekidot!

Yang pertama warna mahasiswa yang putih polos. Yang kaya’ apa? Itu lhooo… yang rutinitasnya nggak lebih dari sekedar kampus-kost-kampus-kost. Eh, tambah warung makan ding! Hihi. Pokoknya tipe mahasiswa yang menganggap yang penting cuma kuliah, yang laen nggak penting.

Yang kedua warna mahasiswa merah menyala. Nah, yang ini tipe mahasiswa yang semangatnya berapi-api sekali menyandang gelar mahasiswa. Jadi mereka nggak bakal melewatkan berbagai aktivitas yang nggak mungkin bisa mereka lakukan lagi kalo udah nggak jadi mahasiswa. Yaaa misal, jadi aktifis BEM, atau Himpunan Mahasiswa, dll. Trus jadi panitia macem-macem acara dengan memakai jas almamater kebanggaan, ato bahkan melakukan berbagai aksi di jalan mengkritisi berbagai kebijakan.

Yang ketiga warna mahasiswa biru langit. Mahasiswa tipe ini tu, emm… tipe-tipe yang udah jauh lebih awal mempersiapkan masa depannya. Saking semangatnya mempersiapkan masa depan, mereka sampe rela loh melewatkan banyak sekali moment manis sebagai mahasiswa. Mereka lebih memilih kerja sampingan, daripada ikut organisasi-organisasi kemahasiswaan ato ikut seminar-seminar. Bahkan kadang ada yang udah saking asyiknya kerja, kuliahnya malah jadi ganti posisi sebagai “sampingannya”. hehe

Emmm… warna apa yaa… warna-warni mungkin. Eh, pelangi! Ya, pelangi! Tipe ini tu yang pengen nyicipin semuanya. Ya ikut organisasi, ya kerja kalo ada emang jadwalnya memungkinkan, tapi juga kuliah sama sekali nggak dikesampingkan. Jadi berbagai kegiatan di luar kuliah nggak bakal bikin mereka cuek sama nilai kuliah. Naaahh, kalo yang ini kayaknya tipe saya dan teman-teman saya banget ni. Hehe… narsis yah! Tapi bener loh. Kita tu ikut organisasi kampus, yah meskipun nggak militan banget sih. Kita juga pernah sok-sokan mengorbankan masa liburan semester buat kerja jadi surveyor – yang akhirnya diwarnai isak tangis. *itu bener2 episode tak terlupakan! Dan hebatnya, kami Alhamdulillah bisa menuhin target lulus 3, 5 tahun. Bahkan beberapa diantaranya lulus cumlaude loh! Tapi aku nggak sih! Haha

Nah, warna terakhir menurut analisa saya tu warna mahasiswa abu-abu! Duh, warna yang ini saya nggak bisa banyak jelasin. Intinya, ini tu tipe mahasiswa yang sukanya make’ waktu buat hal-hal nggak manfaat dan cenderung negative. Kalo ada mahasiswa yang baca tulisan ini, saya Cuma mau bilang “HINDARI!!”.

Oke, sekian hasil analisa nggak penting saya. Yang perlu digarisbawahi plus distabilo, tulisan ini sarat unsure subjektifitas! hehe

Signature

Signature