Curcol: Tentang Komentar Orang

on
Selasa, 27 Oktober 2015
Yeayy, curcol lagi :D Hobi kok curcol ya *tepok jidat*

Kali ini saya pengen curhat tentang komentar orang -- khususnya komentar tentang ukuran badan *gagal menemukan diksi yang lebih enak* seseorang. Saya benar-benar baru tahu kalo komentar orang atas badan yang kurus itu juga sangat mampu memancing perasaan melankolis, bete, dll. Selama ini saya kira hanya orang-orang gemuk saja yang merasa terintimidasi atas banyaknya komentar. Wajar kali ya, karna selama ini yang lebih banyak terekspos adalah badan gemuk. Lihat iklan-iklan di TV... susu pelangsing banyaaakk. Susu penggemuk? Ada siihh, tapi ga sebanyak susu pelangsing kayaknya. Belum lagi tentang ukuran-ukuran baju nan lutcu yang umumnya lebih bersahabat dengan orang yang berbadan slim. Atas dasar itulah saya mengira bahwa hanya orang berbadan gemuk yang banyak 'diintimidasi'. Orang kurus sih adem ayem aja.

Eh, ternyata enggak loh.. saya salah! Beberapa tahun terakhir ini saya merasakan intimidasi yang nggak kalah bikin nyesek -- terutama setahun terakhir sih. Hampir setiap ketemu teman atau kenala yang udah lumayan lama nggak ketemu, pasti salah satu tema basa-basinya adalah: 'Kok tambah kecil sih?' atau 'Kok tambah kurus sih?' atau 'Kok badanmu makin habis sih?'


sumber
Padahal yaa, padahal... sejauh yang saya ingat, angka timbangan saya itu stabil dan SAMA dengan saat terakhir saya ketemu si orang-orang tersebut. Aneh, kan?! Yang lebih bikin nyesek, raut wajah mereka waktu menyampaikan komentar tentang badan kurus saya itu adalah raut wajah memelas dan penuh simpati. Seolah badan kurus saya merefleksikan hidup saya yang cukup menyedihkan. Huhu. Pengeeennn banget rasanya bilang ke mereka: 'Haiiii... aku baik-baik aja loh, happy-happy ajaa... badan juga segini-segini aja, ga berubah dari dulu!' -_____- Apalagi kalo basa-basi mereka ditambahi kalimat: 'Mbok ya makan yang banyak to'. Rasanya pengen ketawa sekaligus pengen nangis *lebay sih*. Ya soalnya saya bingung harus sebanyak apa lagi saya makan (",)

Yah, tapiii... inilah hidup. Kita nggak pernah bisa mengendalikan apapun yang ingin orang lain katakan. Yang kita bisa adalah mengendalikan apa yang kita sendiri katakan, dan bagaimana hati kita menyikapi. *kibas jilbab*

Jadi, harusnya saya sih cuek aja kalo ada yang komentar saya kurus, dll. Senyumin aja. Kalo perlu jawab aja: 'Iya nih aku tambah kurus.. mbok ya jangan komentar aja, yuk traktir aku makan biar aku gak kurus lagi!' Ahahahaha =P

Kata Pak Ustadz, orang lain itu ketika komentar seringkali asal nyeplos aja. Nggak pake tendensi apa-apa, nggak pake mikir apa-apa. Basa-basi yang kadang basi. Yang bikin ribet seringkali kita sendiri. Dengerin komentar-komentar tersebut pake hati -- dipikir dan dihayati. Jadi, orang yang komentar udah lupa dia ngomong apa, eeehhh kitanya masih termehek-mehek mikirin omongan dia. Omaigat =D *manggut-manggut*

Tentang Ujian

on
Kamis, 22 Oktober 2015
Tentang ujian. Bukan, ini bukan ujian sekolah. Melainkan ujian hidup. hehe

Kalau dengar kata ujian, pikiran kita lebih sering tertuju pada segala sesuatu yang menyedihkan, musibah, dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya. Benarkah begitu? Rasanya tidak.


“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs Al Anbiya’: 35)

Beberapa minggu lalu, saya bertemu seorang sahabat yang sudah cukup lama nggak ketemu. Agenda rutin bertemu sahabat tentu saja curhat. Hehe.

"Ternyata kebahagiaan itu juga ujian, ya, te..." ucapnya membuaka sesi curhat kami. Dia biasa memanggil saya dengan sebutan tante (tanpa girang :D). Lalu rangkaian curhat mengalir.

Dia bercerita tentang seorang teman kostnya yang sedang mendapat sebuah kebahagiaan, yaitu baru saja bertunangan dengan kekasihnya. Si teman tersebut tak henti-hentinya meluapkan kebahagiannya, tak henti bercerita tentang sosok si tunangannya, dll. Sementara di sisi lain, si sahabat saya itu masih sendiri (belum memiliki calon) sedangkan keinginan menikah sudah cukup besar. Si sahabat saya yang tadinya turut bersukacita atas kebahagiaan si teman lama-kelamaan mulai merasakan perasaan-perasaan berenergi negatif. Sedih karna belum kunjung bertemu seseorang yang ditakdirkan Allah sebagai pasangannya, iri, dan jengah dengan euforia si teman yang tak kunjung usai.

Yup, idealnya tentu saja sahabat saya nggak perlu merasakan perasaan-perasaan negatif terus. Harusnya stay positive. Tapi itu idealnya :)

Dari situ kami diskusi. Bahwa ternyata ujian itu nggak hanya saat kita ditimpa hal-hal yang kurang menyenangkan, tapi juga saat kita sedang dikucuri hal-hal membahagiakan. Saat sedang ditimpa hal kurang menyenangkan kita diuji apakah kita bisa sabar menghadapinya. Sedangkan saat ditimpa hal yang membahagiakan kita diuji apakah kita bisa sabar untuk tidak mengekspresikannya secara berlebihan. Apa itu berarti kita nggak boleh cerita atau berbagi saat sedang bahagia? Tentu saja boleh. Pointnya ada di "jangan berlebihan" dear :) Kita harus ingat bahwa di sekitar kita ada hati-hati yang mungkin harus dijaga karna belum mendapat apa yang kita dapat. Bukan, tentu saja bukan karna teman kita itu adalah teman-teman yang punya sifat iri dan dengki. Tapi karna kita harus menjaga agar tawakal dan prasangka baiknya pada Allah yang mungkin ia bangun dengan susah payah menjadi luluh-lantak begitu gara-gara kita yang tak pandai memanajemen perasaan bahagia.

sumber: google


Kita nggak pernah punya kuasa mengatur perasaan orang lain. Tapi kita Insya Allah bisa berusaha untuk turut menjaga perasaannya :)

Tentang Rizki

on
Rabu, 21 Oktober 2015
"Tentang rizki yang sudah diatur dan tidak akan tertukar, kita semua mungkin akan menjawab 'percaya' jika ditanya. Tapi apakah kepercayaan itu benar-benar merasuk dalam hati dan pikiran kita, itu soal lain. Nyatanya, masih saja ada orang yang 'resah' jika melihat temannya mendapat sebentuk rizki yang tidak ia dapatkan, meski ia ada di sebuah lingkungan di mana pemahaman-pemahaman 'langit' senantiasa ditanamkan. Wallahu a'lam bishawwab."

Wardhani: Wanita Yang Menemukan Cahaya (2)

on
Selasa, 13 Oktober 2015
sumber
Baca cerita sebelumnya di sini, yaa :)

"Justru mungkin karna saya gak tahu banyak tentang Islam itu, pola pikir saya jadi lebih sederhana. Ketika saya tahu bahwa ternyata berjilbab itu wajib dan ada dalam Al-Qur'an, maka saya memutuskan untuk memenuhinya. Titik. Padahal saya belum sholat, belum bisa ngaji, dan lain-lain"

Saya semakin melongo. Sungguh semua itu karna hidayah, tentu saja. Rasa penasaran saya semakin menggelitik. Dengan hati-hati saya bertanya, "Lalu apa respon kakek-nenek Mbak Dhani??"

"Nah itu... alhamdulillah sekali Kakek dan Nenek sama sekali gak keberatan. Iya sih mereka sempat kaget, tapi kalau memang aku mantap ya mereka mendukung..."

Masya Allah. Saya masih terus terpana mendengar cerita mbak Dhani. Sesekali mata Mbak Dhani berkaca-kaca. Terutama ketika ceritanya sampai pada moment di mana sang kakek membawakannya tiga potong jilbab berwarna putih sepulangnya dari bersepeda pagi, dan ketika Mbak Dhani bercerita betapa perih hatinya ketika seorang diri mengurusi kematian neneknya -- lantaran orangtuanya tengah berada di luar kota -- yang harus dikremasi. Yah, bagimu agamamu, bagiku agamaku -- mungkin kalimat itu yang menguatkan Mbak Dhani. Ketika kakek dan neneknya mampu berlapangdada membiarkan Mbak Dhani berjilbab demi agama yang ia pilih, maka Mbak Dhani pun harus ikhlas membiarkan jasad neneknya dikremasi sesuai keyakinannya meskipun Mbak Dhani sangat ingin jasad neneknya dimakamkan. Pada bagian ini, saya teringat pada Baginda Rasulullah dan paman tersayangnya Abu Thalib. Betapa begitu besarnya kasih sayang Abu Thalib pada keponakannya, dan kasih sayang Rasulullah padanya tak juga mampu meluluhkan hatinya untuk memeluk Islam, jika hidayah memang belum menyapa.

Kembali pada Mbak Dhani. Lalu apa yang ia lakukan setelah berjilbab? Apakah ia mencukupkan diri begitu saja? Tentu tidak. Mbak Dhani lalu mencari guru mengaji. Pada sang guru ia meminta untuk kembali dituntun bersyahadat demi kembali meneguhkan dirinya sebagai seorang muslim. Mbak Dhani juga belajar mengaji, dan dalam setahun pertama masa belajarnya, Mbak Dhani berhasil dua kali mengkhatamkan Al-Qur'an. Allahu Akbar!

Nah, kisah Mbak Wardhani ini adalah cerminan nyata bahwa memutuskan berjilbab tidak harus menunggu jadi sempurna. Alibi-alibi semacam 'aku belum bisa ngaji masa' pake jilbab?!' dan lain-lain jadi terpatahkan, kan? Justru dengan memutuskan berjilbab, maka kita Insya Allah akan terus terpacu untuk memperbaiki diri. Tapi ya kembalinya ke soal hidayah, sih.

Semoga saja kita bukan golongan orang yang menutup diri dan mengabaikan hidayah padahal ia sudah menyapa tepat di depan mata. Aamiin :)

Bertemu Tere Liye

on
Kamis, 08 Oktober 2015

Tanggal 4 Oktober kemarin, sepulang dari acara study pranikah, saya mampir ke Gramedia Pandanaran Semarang. Bukan, bukan buat borong buku, tapi cuma karna pengen datang di acara launching novel plus booksigning terbarunya Bang Darwis Tere Liye yang berjudul Pulang. Yeayy, seneng! Itu untuk pertama kalinya saya datang ke acara launching buku. Hahaha, kemana aja ya saya selama ini -___-. bahkan saking semangatnya datang ke acara tersebut, yang mana infonya saya dapat cuma dari obrolan teman-teman di grup whatsapp Goodreads Semarang (dan itupun cuma saya simak sekilas), saya sempet salah jadwal. Jadi hari sabtu, tanggal 3-nya, saya udah dengan pede nongkrong di Gramedia yang terlihat sepi-sepi aja. Hihi.

Alhamdulillah penantian saya terbayar manis *halah*. Sekian lama mengidolakan tulisan-tulisan Bang Tere Liye, seneng akhirnya bisa lihat orangnya langsung, ngomong cas-cis-cus gak jauh dari saya berdiri (Yep, saya dapet tempat di sebelah kanan panggung persis). Sosok Bang Tere nggak jauh sih sama yang ada di bayangan saya, hampir persis malah. Saya sudah merasa mengenal beliau jauh sebelum hari itu -- melalui karya-karyanya. Ya, Bang Tere seperti wujud nyata dari Dalimunte, Thomas, Danar, dll. Sayangnya, saya gak berhasil dapet tanda tangan beliaunya di novel Pulang. Lha saya beli novelnya hari sabtu, sedangkan hari minggunya gak saya bawa cobaaakkk!! -_______-

Saya jatuh cinta sejak pertama kali membaca novel Tere Liye yang berjudul Hafalan Sholat Delisa. Saya dibuat menangis perih oleh novel itu. Lalu satu-persatu novel Tere Liye saya baca. Belum semua, tapi sebagian besar. Satu hal yang membuat saya amat mengagumi karya-karya Tere Liye, yaitu: Konsistensinya untuk terus mengusung tema yang memuat pesan-pesan kebaikan di setiap karyanya.

Semoga Indonesia akan melahirkan banyak penulis yang punya visi-misi kebaikan seperti bang Tere (dengan cara dan gaya tulisannya masing-masing tentunya). Bukan hanya penulis-penulis yang mementingkan selera pasar, tanpa peduli apakah tulisannya membawa dampak baik atau sebaliknya.

Study Pranikah :)

on
Selasa, 06 Oktober 2015

Hari minggu tanggal 4 oktober 2015 kemarin, saya bersama beberapa teman saya mengikuti sebuah acara yang cetar membahana *halah* =D acara apakah itu?

Oke, stop menghubung-hubungkan antara bahas soal nikah dengan galau. Apa salahnya? Nikah itu ibadah yang mulia, kan? Gak pernah ada yang salah jika yang belum menikah mendamba-dambakan sebuah pernikahan. Apalagi jika ditindaklanjuti dengan mencari ilmu tentang pernikahan yang didambakannya itu. *alibinya keren banget gak sih =P*

Study pranikah ini diselenggarakan oleh Wisata Hati Semarang, bertempat di Wisata Hati Building yang terletak di Jalan Simongan Nomor 69 Semarang. Emm, kami sempat nyasar-nyasar dulu waktu berangkat. Biasaaa, penunjuk jalannya gak oke *tunjuk hidung sendiri* =(

Menurut panitia, acara ini diselenggarakan karena melihat tingginya kasus tentang rumah tangga yang dikeluhkan oleh jamaah Wisata hati Semarang di forum Konsultasi. Nah, kemungkinan salah satu penyebabnya adalah banyaknya orang yang menikah tanpa terlebih dahulu membekali diri dengan ilmu. Berawal dari situlah ide acara ini tercetus.

Study pranikah ini dimulai Pukul 09.00 sampai Pukul 03.00. Kurang sih menurut saya. Banyak materi yang kelewatan. Tapi yasudah, semoga akan Allah kasih kesempatan lagi di lain waktu untuk belajar. Pematerinya ada dua. Yang pertama Ustadzah Diyah Zubair (Huhu, seneeeng ketemu Ustadzah Diyah lagi. Dulu waktu kuliah pernah ikut kajian Minggu pagi di rumah beliau. Cara nyampein materinya selalu ngena sampe hati) yang menyampaikan tema tentang “Apa itu Nikah?”dan Ustadz Syafi’i yang menyampaikan materi tentang “Fiqih Berkeluarga”.

Pada materi pertama, Ustadzah Diyah lebih banyak menyampaikan materi lewat cerita. Cerita-cerita nyata yang menggiring kami pada sebuah pemahaman tentang apa itu nikah. Dan saya mewek di dua cerita pertama =’( tentang pasangan suami-istri yang melakukan pemeriksaan karena sudah cukup lama belum dikaruniai keturunan. Saat akhirnya sang suami diberitahu dokter bahwa istrinyalah yang positif mandul, sang suami memaksa dokter untuk mengatakan sebaliknya pada sang istri. Karena apa? Karena sang suami tahu bahwa saat ia mengambil istrinya sebagai pasangan, ia bertanggungjawab penuh pada sang istri, tidak terkecuali sedih dan bahagianya. Masya Allah =’) tapi Ustadzah Diyah bilang laki-laki model begini gak tahu apa masih terbit lagi apa gak =D

Lewat cerita-cerita yang disampaikan Bu Diyah saya mengambil kesimpulan. Nikah adalah sebuah perjalanan di mana kita akan bertemu banyaaakkk sekali hal yang menuntut kita untuk memanajemen hati sebaik-baiknya. Terutama tentang lapang dada. Dan untuk setiap kelapangan dada kita, yakinlah bahwa Allah akan membalasnya dengan kebaikan yang luaaaasss sekali. Duh, jujur saya malu dan jadi pengen ngaca lagi. Pantas saja sampai hari ini Allah belum ijinkan saya berumahtangga, karna pada kenyataannya saya masih belum mampu berlapangdada atas banyak hal.

Materi yang kedua agak berat sih. Tentang Fiqh, dan yang ditampilkan dalam slide presentasinya tuh hadist dan ayat yang menjadi landasan dalam teks aslinya (tulisan arab gundul gituh, ampun dije lah! =D). Yang jelas Ustadz Syafi’i menyampaikan (dan menekankan) tentang pembedaan hak dan kewajiban antara suami dan istri tentang masalah harta. Pemberian materi dari suami ke istri itu wajib hukumnya, yaitu dinamakan nafkah. Suami juga wajib memberikan hal-hal yang sepadan untuk istri, misalnya makanan, tunggangan, fasilitas, dll. Jadi jangan mau ya Girl’s kalo nanti suami kamu makan steak terus kamu Cuma makan tempe. Apalagi kalo suami naik mobil, istri naik angkot. Gak bener itu =P. Nah, kalo istri punya uang sedangkan suami sedang gak punya, maka gakpapa istri membantu suami, dan itu dihitung sebagai sedekah. Panjang sih ya soal ini. Ohya, Ustadz Syafi’i juga menjelaskan tentang urutan saat akad, lalu saat pasangan pengantin berada di kamar berdua untuk pertama kalinya, dan tentang apa itu khiyar. Saya gak bisa jelasin tapinya, postingan sudah terlalu panjang. Hehehe. Maapkeun ya, teman =))

Yuk, isi masa-masa penantian kita (kita?) dengan banyak-banyak belajar dan membekali diri dengan ilmu sebelum benar-benar terjun ke kawah candradimuka bernama pernikahan =))

Ohiya, salah satu teman saya yang juga ikut acara tersebut Insya Allah akan melepas masa lajang awal tahun depan. Happy for you, Dear... meskipun saya ‘patah hati’ kamu tinggal, saya tetap bahagia buat kamu *Kiss* *Kiss*

Wardhani: Wanita Yang Menemukan Cahaya

on
Kamis, 01 Oktober 2015
sumber
Namanya Mbak Wardhani. Bukan nama samaran. Saya sudah minta ijin kok mau menulis tentang beliau di sini :) Wajahnya cantik sekali. Matanya indah menyiratkan keramahan, senyumnya amat meneduhkan. Beliau seorang mahasiswi Pascasarjana Kenotariatan di sebuah Universitas Negeri di Semarang, berasal dari Purwokerto.

Baru tiga kali kami bertemu di forum kajian buka puasa sunnah Senin-kamis di Wisata Hati Semarang. Meski begitu, saya sudah merasa dekat dengan beliau. Saya jatuh cinta pada parasnya yang ayu sejak pertama kali bertemu. Meski saat itu belum muncul rasa simpatik yang amat besar seperti saat ini. Penampilannya amat modis. Jauh lah pokoknya dari kesan 'tipe-tipe kebanyakan' cewek yang 'hobi kajian'. Ehehehe. Ternyata? Wuihh, saya melongo. Setelah basa-basi perkenalan, dia cerita (dan bermaksud mengajak saya pula) bahwa hampir setiap hari sepulang kerja (beliau kuliah hanya weekend, sisanya kerja) beliau datang ke kajian, di tempat-tempat berbeda. "Daripada diem di kost, Mbak.. waktunya terbuang sia-sia," katanya. Mulai saat itu lah simpati saya tumbuh. Kagum.

Pada pertemuan ketiga, saya semakin dibuat terkagum-kagum. Entah dari mana obrolan kami berawal. Yang jelas, saat itu saya tiba-tiba bercerita bahwa saya kadang masih sering 'kaget' melihat 'perbedaan', karna sejak kecil terbiasa hidup di lingkungan yang homogen.

"Kalau saya justru kebalikannya, Mbak... saya sudah terbiasa hidup di lingkungan heterogen, bahkan di dalam keluarga juga heterogen sekali" Kata Mbak Wardhani.

"Oh ya, Mbak?" Sahut saya dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. Ya, saya segera menangkap sinyal akan segera mendapat cerita menarik dari gadis berparas bidadari itu. Dan benar saja, cerita mengagumkan mengalir tanpa sungkan dari mulutnya.

Mbak Wardhani berasal dari keluarga yang menganut beberapa agama berbeda. Ayahnya seorang muallaf sejak masih muda (Waktu kuliah kalo saya gak salah ingat). Tapi ya begitulah. Saat itu ayahnya baru 'sekedar' berstatus Islam, belum menjalankan konsekuensi jika sudah berislam. Kerabat banyak juga yang muallaf. Tapi banyak juga sepupu yang pindah agama (keluar dari Islam) karna menikah dengan pria non-muslim. Kakek-Nenek Mbak Wardhani beragama Budha. Dan bersama merekalah Mbak Wardhani tinggal, sejak remaja hingga kuliah. Jadi masa remaja Mbak Wardhani amat 'berwarna'. Islam, tapi kadang juga ke vihara.

Sampai akhirnya dekapan hidayah menyapa Mbak Wardhani saat ia duduk di bangku SMA. Saat sedang rapat OSIS (FYI, saat itu Mbak Dhani ketua OSIS), seorang anak rohis menegur Mbak Dhani.

"Dhan, agama kamu apa sih?" Tanya si anak Rohis.

"Islam lah!" Jawab Mbak Dhani.

"Islam kok gitu? Nggak pake jilbab, nggak pernah sholat juga!"

JLEB! Mbak Dhani terdiam. Ego darah mudanya terusik. Tapi dia nggak marah, dia memilih berpikir.

"Emang harus ya orang Islam pake jilbab?" Lanjut Mbak Dhani.

"Harus dong, wajib! Ada di Al-Qur'an"

Mbak Dhani kemudian mencari tahu dari berbagai sumber tentang wajibnya jilbab bagi muslimah. Dan nggak lebih dari dua minggu sejak ditegur si anak rohis itu, Mbak Dhani mantap mengenakan jilbab -- sampai hari ini. Duh, Allahu Akbar... betapa saya berkaca-kaca saat mendengar cerita ini langsung.

"Kok bisa sih, Mbak? Yang mengenal Islam dengan baik sejak kecil saja nggak segampang itu lho memutuskan berjilbab. Banyak banget pertimbangan, banyak banget yang dipikirkan. Kok Mbak Dhani seberani itu?" Tanya saya keheranan.

((Bersambung)) -->> #TersinetronIndonesia. Ahahaha =D

Signature

Signature