Cerita Tentang Salah Satu Sudut Negeri Bernama Tedunan

on
Jumat, 29 Agustus 2014
 
“Jika Bhosporus menjadi pemisah sekaligus penghubung Asia dan Eropa, maka jembatan ini menjadi pemisah sekaligus penghubung antara Demak dan Jepara”

Dua minggu yang lalu, untuk ke-tiga kalinya saya berkesempatan silaturahim ke rumah sahabat saya sejak kuliah. Seorang sahabat yang selalu berhasil bikin saya selalu merasa sebagai orang ‘kurang gizi’ saat bersamanya. Haha.

Nama desa teman saya ini adalah Tedunan, kecamatan Kedung. Secara teritori, dsa Tedunan ini ada di wilayah Kabupaten Demak. Tapi dilihat dari letak geografis, jauuuhh lebih dekat dengan Jepara. Setau saya – menurut cerita teman saya tadi – masyarakat di desanya jauh lebih bergantung ke Jepara dalam memenuhi hidup sehari-harinya. Contoh. Pasar. Contoh lain, angkutan umum. Mereka penduduk Tedunan kalo mau pergi-pergi pake kendaraan umum, ya lewatnya Jepara. Nggak ada angkutan umum dari wilayah Demak yang menghubungkan langsung dengan desa tersebut.

Intinya, Desa Tedunan ini ada di wilayah Demak, tapi sepertinya sering ‘lupa’ diperhatikan oleh pemerintahan Demak. Mereka 'bergantung' banyak pada Jepara, tapi tentu nggak pernah masuk sebagai salah satu yang akan diperhatikan oleh Jepara.

Kemarin, teman saya itu mengeluh. 'Bahkan untuk sekedar ngeprint dan fotocopy saja aku harus nyebrang jembatan ke Jepara...', ucapnya.

Ah ya, saya pernah merasakan itu beberapa tahun lalu. Emm, maksudnya merasakan kesulitan nyari tempat ngeprint dan fotocopy-nya - bukan nyebrangnya. hehe. Alhamdulillah desa saya sudah mengalami banyak sekali kemajuan. Hal-hal seperti itu tentu jadi semakin dirasakan oleh teman saya, selain tingkat kebutuhan dia pada fasilitas semacam itu meningkat, juga karna dia sekarang sudah 'terbiasa' hidup di kota dengan fasilitas lengkap.

Kemarin dia juga mengeluh lagi. Yang ini sangat saya pahami, karna memang sangat memprihatinkan di mata saya. Soal air. Ya, daerah ini sangat memprihatinkan soal ketersediaan air bersihnya. Air yang sehat punya tiga kriteria, kan, ya? Tidak berwana, tidak berasa dan tidak berbau. Tapi setahu saya, air di daerah itu nggak ada yang nggak berwarna. Keruh. Yang membuat hati saya sangat miris adalah ketika melihat tetangga-tetangga teman saya dengan 'asyiknya' mencuci baju dan alat-alat masak di air 'kubangan' sekitar rumah mereka. Emm, bentuknya memang menyerupai kali kecil - tapi airnya nggak mengalir, dan ahhh... keruh sekali. Menurut teman saya, nggak semua orang di desanya sudah punya kamar mandi. Masih banyak yang benar-benar menggantungkan hidupnya pada 'kali kecil' tersebut.

ini salah satu 'kali yang biasanya dipake warga. hasil jepretan temn saya. sebenernya banyak, tapi susah di donlot gegara sinyal payah T.T

Sepulangnya saya dari menginap di rumah teman saya itu, saat melihat air bening di kamar mandi rumah, hati saya seketika seperti di siram es. Nyeeessss. Aahh, betapa saya hampir selalu lupa mensyukuri nikmat air bersih yang selalu bisa saya nikmati secara cuma-cuma. Saya tau masih banyak daerah di negara ini yang kekurangan air bersih. Tapi saya baru benar-benar sadar betapa 'sekedar' air pun harus disyukuri saat melihat dengan mata kepala sendiri keprihatinan seperti di desa Tedunan itu.

Tapi segala keprihatinan atas daerahnya tersebut, justru bikin saya semakin bangga sama temen saya itu. Karna dia sedang berjalan menembus batas-batas 'kewajaran' masyarakat desanya -- terutama dalam hal pendidikan. FYI, teman saya ini sedang melanjutkan studinya di UGM -- ngambil program profesi akuntansi sekaligus S2. Nah, maka dari itu saya berkali-kali bilang sama dia setiap dia ngeluh.

"Yakinlah, berbagai keterbatasan itu justru akan bisa kamu ceritakan pada anak-cucumu untuk memotivasi mereka nanti. Itu juga akan menjadi sisi dramatis buat hidupmu saat nanti kamu sudah sukses. Siapa tau nanti kamu sampe bikin biografi, jadi kan bisa kayak Dahlan Iskan, Jokowi, dll. Dahlan Iskan dengan sepatunya, Isty dengan kekurangan air bersihnya. Hehe"

Ah ya, penduduk asli desa itu juga ada yang kini sukses di perantauan. Punya perusahaan, dll Emm, semoga lain waktu saya bisa menulis kisah beliau sebagai inspiring people.

Sahabat Baru :)

on
Kamis, 28 Agustus 2014
Dulu, awal-awal saya gandrung sama facebook, sempat ada perasaan nggak nyaman di hati. Apa sih manfaatnya? Pertanyaan itu berkali-kali melintas tiap saya buka facebook. Tapi ya sebatas melintas saja – nggak pernah sampe bikin saya sampe bertekad, ‘oke, stop pake facebook!’. Hehe

Tapi, enggak dengan sekarang. Alhamdulillah, sekarang bagi sava facebook dan berbagai akun socmed lainnya nggak sekedar jadi ajang galau dan buang-buang waktu tanpa guna. Saya menemukan banyak sekali orang-orang berenergi positif yang lalu jadi teman saya. Benar-benar teman seperti artian teman pada umumnya. Berbagi banyak hal, saling support, saling silaturahim, dll. Beberapa yang bisa saya sebut adalah: Mbak Ella, Mbak Rohma, Mbak Esti, Mbak Susi, dan Jiah.

Beberapa minggu terakhir ini, saya kembali menemukan sahabat baru. Bukan dari facebook sih aslinya awal kami saling mengenal, tapi dari blog. Emm, sebenernya awalnya saya ngefans sama satu orang ini. pertama ketemu blognya langsung ‘jatuh cinta’. Makanya bagi saya jadi masih terasa WOW banget kalo lihat sekarang kami jadi akrab seperti layaknya sahabat dekat. Kami nggak sungkan berbagi banyak hal yang mungkin (terutama bagi saya), nggak pernah bisa dibagi sama orang lain. aneh, ya?! Padahal ketemu aja belum pernah loh! Hehe. Emm, nggak aneh juga sih. Kata Mbak Mentor saya di kampus dulu, saat kita ketemu sama orang yang satu ‘frekuensi’ sama kita, kita akan langsung ngrasa dekat – meskipun baru kenal. Yah, semoga frekuensi kita adalah frekuensi ‘keinginan untuk jadi wanita yang lebih baik di mata Allah’ ya, Mbak… aamiin...

Eh eh, saya belum nyebuv nama, ya?! Hehe. Oke, orang yang sedang saya ceritakan ini adalah Primadita Rahma Ekida – author-nya blog theprimadita.blogspot.com. banyak yang udah kenal blog itu, kan, pasti?! Kenapa saya nge-fans sama Mba Prima ini? yang sudah sering baca blognya pasti bisa mengira-ngira lah, ya. Yang belum pernah baca, y abaca dong. Hehe. Pokoknya yang jelas, saya ngrasa ni orang energinya positif banget. Tulisannya enak dibaca. Ringan, sarat makna tapi enggak terkesan menggurui.

Satu lagi yang paling penting. Dulu, sebelum saya benar-benar kenal sama Mba Prima ini, saya kira Mba Prima lahir dan tumbuh dengan kehidupan ‘sempurna’, makanya dia bisa kayak gitu. Tapi ternyata enggak loh. Mbak Prima mengalami ujian paling berat bagi seorang anak sejak usianya masih sangat belia. Emm, lagi-lagi, yang udah sering baca blog dia pasti tau deh. Jadi saya pikir, artis Indonesia yang belakang lagi heboh soal bipolar bla bla bla itu, mungkin bisa berkaca pada kehidupan Mba Prima juga. hihi

Naahh, kebetulan Mba Prima ini sedang mengikuti ajang World Muslimah 2014. Waktu kemarin saya tanya apa motivasi ikut ajang begituan, Mbak Prima jawab, “aku honestly mau spread the news to the world kalau muslimah banyak yang berkontribusi untuk lingkungan sekitar dan concern juga ke isu2 yang lagi trend”. Dan katanya, World Muslimah ini gak mengedepankan kecantikan fisik seperti ajang-ajang kecantikan pada umumnya, melainkan kecantikan hati – yah, kecantikan hati menurut ‘mata manusia’ melalui ukuran-ukuran tertentu tentunya.

Ya, saya setuju sama Mba Prim. Masih banyak yang ngira kalo jadi muslimah itu kudu pendieemmm, di rumah teruuusss, menutup diri dari dunia luar – simpelnya kuper. Enggak! Harus ada orang-orang yang membuka mata dunia bahwa menjadi sholihah bisa seiring sejalan dengan menjadi sosok yang bener-bener melek soal dunia – meski bukan berarti jadi cinta dunia loh, ya! Bukannya yang penting sholihah di mata Allah, ya? Mungkin bakal ada yang bilang gitu. Oke, saya sangat-sangat setuju soal itu. Tapia pa iya kita bakalan menutup mata ketika figur-figur wanita yang bermunculan saat ini dan kemudian menjadi panutan generasi muda di dominasi sama sosok yang jauh dari nilai-nilai Islam? Saya sih enggak.

So, buat kamu – laki-laki maupun perempuan yang setuju sama saya, yuk dukung Mbak Prima di ajang World Muslimah 2014 ini. Dia mengedepankan profesi blogger-nya loh disini. Soalnya dia mendedikasikan keikutsertaannya (dan nanti kalo sampe menang) adalah untuk para pembaca blognya. Yeeeyyy!!

yuk vote Mba Prima ;)
Kalo videonya bisa ditonton di sini, jangan lupa like yah :))

Oh ya, sambil jangan lupa doakan Mba Prima supaya niatnya tetep Lillah, dan focus utamanya tetep ridho Allah, yaaa…:))

**saya lagi belajar jadi TIMSES. Kalo sukses, siapa tau 5 tahun ke depan saya bakal ditawari jadi TIMSES salah satu pasangan capres dan cawapres. Kalo iya, saya berjanji akan jadi TIMSES yang tegas berkata TIDAK pada kampanye hitam XD #Apasih #Abaikan

Menjadi Tempat Curhat

on
Selasa, 26 Agustus 2014
Beberapa hari ini hari-hari saya berwarna. Beberapa orang teman secara hampir bersamaan mempercayai saya sebagai 'telinga' untuk mendengar hala-hal yang sedang mereka rasakan cukup menyesakkan dada.

Pertama sahabat saya yang baru saja kehilangan suami tercintanya untuk kembali ke pangkuan Sang Pencipta beberapa waktu lalu. Ia mengajukan sebuah pertanyaan yang tak mampu saya jawab, karna saya pun merasa belum mampu. "Bagaimana caranya sholat khusyuk? Sholat tanpa kepikiran banyak hal?". Saya berusaha menghindari nasehat, "yang sabar, ya..." pada dia. Karna saya yakin diatas segala gundahnya, ia pasti sudah sangat berusaha untuk sabar. Saya hanya mengatakan dengan tegas, "Saya tau ini berat sekali buat kamu, tapi saya yakin kamu kuat. Setidaknya kamu punya alasan untuk tetap kuat -- demi anakmu".

Yang kedua -- ah, yang ini cukup bikin saya ikut geram. Lagi-lagi tentang ulah tak berperasaan makhluk bernama lelaki. Bahkan dalam kasus ini saya menjadi 'kunci' terungkapnya jawaban bagi kecamuk rasa penasran seorang teman - sebut saja namanya Tri. Saya tau beberapa waktu lalu ia tengah pedekate... em, tepatnya di-pedekate-in seorang lelaki yang juga saya kenal. Cerita terakhir yang saya tau, Tri belum benar-benar menyambut perasaan si lelaki. Hingga beberapa hari lalu saya mendengar si lelaki dan keluarganya melamar seorang wanita. Saya cukup kaget. Lalu dengan hati-hati saya mencoba bertanya pada tri -- tentang bagaimana cerita terakhirnya dengan si lelaki tersebut. Saya benar-benar mengira mereka sudah nggak ada apa-apa. Tapi jawaban Ti mencengangkan. "Yang saya tau dia masih pacarku, Mbak. Hingga dua hari lalu dia tiba-tiba bilang 'mungkin kita memang gak jodoh'...". WHAT??!! Padahal selama ini si lelaki selalu bilang serius sama si Tri, tapi belum siap datang ke rumah -- ke orangtua Tri. Nyatanya? Yang bikin lebih heran, setau saya si lelaki adalah orang dengan pengetahuan agama cukup baik. "Lalu harus pada yang seperti apa aku letakkan kepercayaan, jika pada orang yang menurutku baik saja seperti ini?", tanya Tri pada saya. Menurut saya pribadi, lelaki yang benar-benar baik nggak akan bilang suka dan serius TAPI nggak siap datang ke orangtua.

Yang ketiga, tentang curhatan seorang teman, yang saya anggap sebagai adik. Ia menceritakan tentang kegundahan hatinya karna baru saja mengetahui tentang masa lalu calonnya. "Kenapa kita harus memaafkan, Mbak?", tanyanya saat itu. "Ya karna kita juga ingin orang lain bisa memaafkan kita", jawab saya. Rasanya nggak adil mengecap seseorang berdasar masa lalunya. Bukankah Sayyidina Umar -- seseorang yang berdiri di garda terdepan pembela Islam, dulunya pernah menjadi seseorang yang berdiri di garda terdepan memusuhi Rasulullah?

Yang keempat, tentang seorang sahabat yang akhirnya mengaku jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Aaahh! Apa memang nggak ada persahabatn murni antara laki-laki dan perempuan? Harusnya ada. Tapi sepertinya nggak ada. Emm, tapi saya yakin ada. Cuma mungkin jarang. Saya pernah bersahabat dekat dengan lelaki, dan seingat saya nggak pernah sedikitpun ada perasaan lebih terhadapnya. Jadi saya pikir sepertinya ada. Meskipun keberadaannya sudah semakin langka.

Ahh, baiklah... sepertinya cerita saya sudah terlalu panjang. Emm, saya bersyukur beberapa orang memercayai saya sebagai tempat mencurahkan perasaannya. Selain itu artinya mereka punya sedikit kepercayaan pada saya, saya juga belajar dari cerita-cerita mereka. Saya jadi tau warna-warninya hidup. Dan yang utama, saya kembali belajar bahwa setiap orang punya 'ujiannya' sendiri-sendiri. Nggak pernah ada hidup yang benar-benar buruk, dan nggak pernah ada hidup yang benar-benar baik-baik saja. Yang terpenting, pastikan saja Allah selalu di hati kita, seperti apapun kondisinya :)

Ahmad Nasikun: From Zero To Hero

on
Jumat, 22 Agustus 2014
Beberapa hari lalu saat blogwalking secara acak, nggak sengaja nyasar ke blog milik salah satu kakak kelas saya di SMP dulu. Seneng, kagum, geleng-geleng kepala… campur-campur saat itu rasanya. Kenapa? Ini cerita singkatnya.

Namanya Ahmad Nasikun. Putra asli Jepara – tepatnya desa Plajan. Saya juga bener-bener baru tau kalo beliaunya berasal dari desa Plajan setelah baca blognya. Kebetulan saya sudah pernah ke desa itu. Jauuhhh lah kalo dari pusat kota Jeparanya – kalo nggak mau dibilang terpencil (11-12 sama desa saya sih kalo soal terpencilnya, haha). Oh ya, di desa Plajan juga tempat asal dari World Peace Gong yang sering dibawa ke mana-mana itu. Di lokasi Monumen Gong perdamaian dunia itu juga ada kumpulan tanah dari Negara-negara sedunia, loh.

Emm, oke, kembali ke soal Mas Nasikun. Yang bikin saya jadi penasaran adalah: beliau berasal dari Desa Plajan. Trus kok SMP-nya di SMP negeri 1 Pecangaan, ya? Fyi, jauuhh bangettt lho itu. Oke, lupakan soal itu.

Saat saya duduk di kelas 1, Mas Nasikun duduk di kelas 3. Namanya sering disebut-sebut oleh guru saat tengah memberikan selingan motivasi ditengah jam pelajaran. Anak orang kurang mampu, orangnya ceking, pendiam, kalo bicara agak gagap, tapi luar biasa pintar -- begitu garis besar cerita para guru. Penasaran banget waktu itu. Hingga akhirnya saya bisa melihat sosoknya secara langsung meskipun dari jauh adalah saat test semester. Kami seruangan waktu itu. Kesan saya? "Masa' sih Mas itu pintar?!"

Tapi waktu akhirnya membuktikan segalanya. Saat kelulusannya, SMP kami dibuat 'heboh' oleh berita diterimanya beliau di SMA yang konon keren banget -- di Kota Semarang. Dengan beasiswa tentunya. Sampe di situ, saya nggak banyak dengar cerita lagi tentang beliau. Hingga saya menemukan blognya, dan jadi tau cerita luar biasa tentang hidupnya yang saya lewatkan. Ternyata kini ia tengah melanjutkan sekolah di Korea. Saat SMA dia juga sempat ke Amerika. Saya terperangah membaca deretan pencapaian luar biasanya.

dr blog Mas Nasikun
  1. 1st rank of Dept. of Electrical Engineering and Information Technliogy student with 3.92 GPA (2nd in Fac. of Engineering, Top 10 in UGM) on February 2012 Graduation (2012)
  2. 1st rank in Best Student (Mahasiswa Berprestasi) Competition of Universitas Gadjah Mada (2010).
  3. 1st rank in the class from 1st year of Elementary School to 3rd year of High Scholi (1994-2007)
  4. Recipient of Rector Award during 62nd Anniversary (Dies Natalis) of Universitas gadjah Mada for University Networking Support (2012).
  5. Participant of Students Exchange Program to Daejeon University held by ASEAN University Networks (AUN) and Republic of Korea (2009).
  6. Best Paper Award in WCOMLIS (World Congress of Muslim Librarians and Scientists) 2011 in IIUM (International Islamic University Malaysia), Malaysia, 2011
  7. Participant of Student World Forum (SWF 2011) in Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand organized by Academic Consortium 21 (AC21) (2012).
  8. Bronze Winner in International Category of English Essay Writing held by Korea Times (2010).
  9. Recipient of Student Research Grant from PPKB UGM for Web-based application research on Insect Identification for Entomliogy Students Group (2011).
  10. Recipient of KGSP (Korean Government Scholarship Program) for Korean Language and Master Degree in South Korea (2012-2015).

Lalu saya merinding baca tulisannya yang berjudul 'Hidup Adalah Anugrah'

Teringat kembali masa dimana saat masih berseragam putih-merah dulu setiap pagi buta kami menyingsing fajar menuju sekolah kami tercinta. Sekolah di pojokan desa yang lebih sering kami gunakan sebagai tempat bermain kasti dan kelereng dibandingkan dengan mempelajari Geografi. Tak terasa satu setengah windu telah terlewat dan kini saya bisa bangun di negeri bersalju, dimanjakan oleh musim dingin yang membuat matahari lebih malas bangun, salah satu negeri dengan transformasi ekonomi tercepat di penjuru planet ini.
Betapa indahnya ketika jiwa ini diberikan karunia untuk bisa merasakan sendiri betapa kerja keras dan sifat pantang menyerah akan selalu diberikan-Nya hadiah terbaik, jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang kita harapkan. Saat dulu hendak meninggalkan bangku sekolah demi membantu ekonomi orang tua, kini saya hati saya bisa merasa tentram melihat senyum di wajah penuh keletihan beliau yang penuh kebanggaan membicarakan dimana anaknya sekarang belajar. Ketika dulu selama 12 tahun tidak pernah keluar dari desa bernama Plajan, berkat kemurahan-Nya, Tomyam di Siam Paragon Bangkok bisa masuk ke lambung; kaki yang dulu hanya terbiasa dengan tanah sawah pun bisa merasakan dinginnya udara di sekitar The Mall, Washington D.C. saat musim dingin; hingga sekarang ketika banyak kawan hanya bisa menonton Boys Before Flowers, saya bisa menikmat belajar bahasa Korea di kampus tempat drama tersebut dibuat.
Seketika itu muncul kata 'From Zero To Hero'. Ya, Mas Nasikun yang tadinya 'bukan siapa-siapa' -- nggak lebih dari anak kampung yang mungkin secara hitungan matematis akan begitu-begitu saja hidupnya, telah menjemput takdir baiknya. Takdir yang pasti nggak datang serta merta begitu saja, tapi ia perjuangkan dengan sepenuh upaya dan bongkah-bongkah doa. Saya jadi ingat kata-kata Mas Assad dalam buku 'Notes From Qatar' yang baru semalam saya tamatkan. Ia berkata bahwa manusia sebenernya punya kemampuan untuk menembus batas-batas limit yang ditentukan oleh kebanyakan orang. Tergantung seberapa kuat manusia itu yakin dan seberapa keras perjuangannya. Dan saya melihat bukti nyata atas kalimat itu dalam sosok Mas Nasikun.

Lalu saya malu pada diri saya sendiri. Saya masih disini-sini saja, belum kemana-mana. Apa pencapaian luar biasa yang sudah saya buat selama 20 tahun lebih ada di dunia? Belum ada. Apa karna saya tidak pintar? Atau karna saya nggak bisa? Bukan! Saya tau itu semata-mat karna saya nggak pernah benar-benar berjuang untuk itu.

Seperti kata Mas Nasikun dalam tulisannya yang berjudul Bersungguh-Sungguh dalam Hidup berikut ini:

Salah satu jurang pemisah antara kondisi kita sekarang dan keberhasilan yang seharusnya bisa kita raih sekarang adalah perbedaan jarak antara rencana dan eksekusi tersebut. Kita sering punya rencana, tetapi tidak sanggup mengeksekusi, dengan segala alibi kita. Konsekuensinya jelas: kita tidak bisa ke tempat yang seharusnya bisa kita capai. Semakin jauh jarak tersebut, maka makin lebar pula jarak kita dengan impian kita.
Begitulah cara kita menjemput kesempatan: kita “layakkan diri” untuk capaian yang kita harapkan. Ketika kita senantiasa bersungguh-sungguh dan konsisten atas apa yang kita kerjakan, maka berbagai kesempatan besar akan menjemput kita di masa depan. Setelah melalui proses yang benar dalam kerja-kerja keras itu, maka hasil yang sesuai, nan layak kita terima, yang pantas dengan kapasitas diri kita, akan datang.
Yup, fix! Saya semakin tau bahwa ternyata selama ini saya masih sangat-sangat-sangat belum sungguh-sungguh berusaha mencapai apa yang saya impikan. Doa saya untuk Mas Nasikun, semoga beliau tetap istiqomah dalam kebaikan dan ada dalam jalan yang lurus. Hingga suatu hari, ia akan menjadi salah satu sosok bersinar yang membawa Indonesia menjadi negeri yang jauh lebih cemerlang dari hari ini. Aamiin.

Luka Yang Menyembuhkan Luka

on
Kamis, 21 Agustus 2014

Dua malam terakhir ini, saya mendengarkan lagu tersebut – entah berapa puluh kali. Di malam pertama saya kembali mendengarkannya setelah beberapa lama sengaja menghindari lagu ini… emm, oke… perih. Ya, akhirnya saya merasa harus jujur pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak benar-benar baik saja. Emm, tidak… saya baik-baik saja. Mungkin lebih tepatnya saya harus mengakui bahwa saya tidak sebaik-baik saja seperti yang selalu berusaha saya tunjukkan pada sahabat-sahabat saya.

Meski perih, saya justru memutuskan untuk terus mengulang-ulang lagu tersebut. Karna saya ingin membuktikan pada diri sendiri, bahwa rasa sakit bukan untuk dihindari. Bahwa rasa sakit harus tetap dihadapi. Bahwa rasa sakit seringkali justru menjadi obat bagi rasa sakit itu sendiri. Apa orang-orang bilang? Katarsis, ya?

Dan benar saja. Entah diputaran keberapa, saya mulai bisa menikmati lagu itu lagi – meski belum sama persis seperti saat pertama kali saya tau lagu ini. Ah, oke, tidak perlu diratapi. Saya menyebut ini sebagai konsekuensi hidup – dimana kita harus siap menghadapi setiap konsekuensi dari keputusan-keputusan kita. Sepahit apapun yang saya telan hari ini, semoga menjadi ‘obat’ terbaik di masa depan.

Ya, mungkin saya memang tidak benar-benar baik-baik saja. Tapi setidaknya saya tetap yakin mampu melewatnya dengan baik. Setidaknya saya tetap yakin bahwa Allah membersamai saya melalui banyak sekali orang baik yang Ia pinjamkan untuk saya.

Dan akhirnya, se-menikmati apapun saya mendengarkan lagu Marry Your Daughter ini, tetap saja tak sedikitpun mampu mengalahkan syahdu dan amat leganya mendengar suara Ustadz Yusuf Mansur membaca Surah Al-Mu’minun : )

Tentang Ibu

on
Rabu, 20 Agustus 2014
Tiap kali sayaingin menulis tentang Ibu, saat itu pula lidah saya tiba-tiba kelu. Kemampuan merangkai kata seketika menguap entah ke mana. Mungkin karna memang nggak akan mampu saya rangkai kalimat yang benar-benar dapat menggambarkan betapa luar biasanya ibu saya. Mungkin juga, saya belum punya cukup bakti yang pantas saya ceritakan.

Emm, semalam saya nggak sengaja dengar saat ibu berbisik-bisik lirih setelah sholat - berdoa. Ah, rintihannya begitu perih mengiris. Apalagi jika ingat, bahwa nama saya pastilah salah satu yang paling banyak beliau sebut. Seketika saya berbisik dalam hati, "Ridhoi tiap doa beliau, Rabb..."

Saya jadi tiba-tiba inget lagu tentang Ibu. ini:


Fiuhh... di hati rasanyaaaa.... nyeeesss...

Selain lagu itu, ada satu lagi lagu tentang ibu yang saya sukaaaa banget. Pesona Potretmu dari Ada Band:


Kalo denger lagu Pesona Potertmu, selain langsung terbayang wajah Ibu, saya juga langsung terbayang wajah dua sahabat laki-laki saya waktu SMA: Amil dan Andri. Amil, laki-laki dengan hormat luar biasa pada Ibundanya, terlebih setelah ayahandanya tiada (Apa kabar, kak? sudah hampir 6 taun gak ketemu, ya... semoga duniamu selalu baik-baik saja :) ). Lalu Andri. Laki-laki yang 'bersahabat dekat' dengan ibunya, lalu harus mengikhlaskan ibunya kembali Sang Pencipta beberapa tahun lalu.

Ah, Ibu... sosok luar biasa yang entah bagaimana saya harus menggambarkannya. Yang jelas, saat mendengar lirih doa ibu semalam, saya jadi semakin tau, apalagi yang harus saya khawatirkan sedang saya tau doa ibu selalu membersamai langkah saya.

Semoga saya mampu menjadi orang yang punya kekuataan untuk tidak akan menyakiti sosok bernama ibu. Semoga saya mampu menjadi orang yang tidak akan pernah membiarkan diri saya menjadi alasan orang lain menyakiti ibunya. Aamiin.

Resep Pizza Praktis Suka-Suka

on
Senin, 18 Agustus 2014
Judul postingan ini kenapa gak jelas sekali, ya :D
Whatever!

Gegara Mbak Rohma pamer bikin pizza pake magic com - dahulu kala (soalnya memang udah lama banget), saya jadi penasaran pengen nyobaik bikin juga, dan akhirnya: ketagihan! Saya sudah 3 ato 4 kali bikin, dan alhamdulillah hasilnya selalu cukup memuaskan. Dari Ibu yang memuji bilang enak (padahal beliau sebelemnya gak pernah tertarik sama makanan 'aneh2' gini), lalu Andien - ponakan saya yang lahap banget sampe hampir ngehabisin entah 3 ato 4 potong, sepupu yang juga bilang enak sampe bilang mau order segala, dan terakhir saya bawa buat temen-temen di kantor dan semua orang langsung rame-rame minta resepnya (meskipun gak tau deh pada diprakteklin beneran apa gak).

Saya memang lumayan suka masak. suka nyobain resep-resep yang rada aneh-aneh. Emm, maksudnya saya cenderung jarang masak masakan-masakan yang biasa Ibu saya masak, seperti pecel, sup, dll. Soalnya pasti kalah sama beliau :|. Tapi anehnya, saya kalo masak tuh gak disiplin. Gak pernah pake gelas takar, timbangan, dll gitu. Jadi suka asal cemplang-cemplung. Soalnya, beberapa kali sok-sokan patuh pada resep kok ya malah gak jadi :(( Seringnya pasti di air sih, suka terlalu encer kalo airnya ngikut di resep. Trus ibu saya bilang, masak itu harus pake hati, pake feeling -- jangan kayak ngerjain matematika yang pake rumus pakem. Emm, gak tau sih prinsip itu bener apa gak. Itu tidak lebih hanya prinsip dari seorang cheff andalan keluarga saya :)))

Nah, ini niihh salah satu penampakan pizza saya :D

Oke, berhubung ada beberapa orang yang minta resepnya, saya akan coba menulisnya di sini, tapi -- sekali lagi, ini resep suka-suka a la saya. Takaran-takarannya juga bakal gak jelas, gak kayak resep-resep pada umumnya. hehe

Bahan:
3/4 gelas belimbing Tepung terigu (Tau gelas belimbing, kan? kalo gak tau monggo tanya mbah gugel :D)
1 butir telor
1 sdt fermipan
1 sendok makan margarin
2 sendok makan susu kental manis putih
air secukupnya
garam secukupnya

Cara membuat:
Pecahkan telor ke dalam baskom ukuran sedang, aduk-aduk sebentar pake sendok. Setelah itu masukkan tepung dan fermipan, aduk-aduk lagi. Lalu masukkan semua bahan lain (masukin airnya dikit-dikit aja, se-pas-nya). Lalu uleni pake tangan, sampe kalis (kayak mau bikin donat itu. tau, kan?. Setelah kalis, diamkan selama 1 jam dengan ditutup pake kain yg habis dibasahi trus diperes gitu. Setelah satu jam didiamkan di suhu ruang, masukkan ke dalam kulkas selama 1-2 jam.Kalo udah mengembang sempurna, keluarkan dari kulkas, ratakan adonan di dasar magic com, tata topingnya, lalu matangkan dengan cara seperti kalo mau masak nasi gitu (tekan tombol cook). Kalo lampu penandanya udah pindah ke 'keep warm', biarkan sekitar 15 menit. Lalu tekan tombolnya lagi (di cook lagi). Setelah pindah ke keep warm lagi, biarkan 15 menit, dan taraaaaaa..... siap dihidangkan! :D

Oh ya, untuk topingnya sesuai selera. Kalo aku biasanya pake: saos pedas, jamur tiram (sebelumnya udah di tumis dulu. jangan sampe mateng, yg penting layu aja), tomat, sosis, sama keju, mayonese. Oh ya, yang terakhir kemaren pake jagung manis juga.

Oke, itulah resep pizza suka-suka a la rosa. Maaf yaaa kalo bahasanya belibet bikin bingung. Silahkan di lihat resep yang jadi inspirasi utama saya di sini. Sekiaaan, selamat mencobaa :) Happy Cooking :))

Yang Terlihat Remeh

on
Jumat, 15 Agustus 2014
Pulang kantor kemarin sore, saya mampir minimarket yang jumlahnya hanya bisa dikalahin musholla atau masjid itu. Hihi. Terus pas udah keluar, saya lihat mas-mas yang pas dikasir tadi barengan sama saya - sedang minum minuman yang dibelinya: pake tangan kiri, sambil berdiri pula, padahal tepat disebelahnya tuh ada kursi loh. Duhh, saya suka gemeeesss deh lihat yang begitu. Nggak cuma kali itu, tiap lihat temen-temen atau keluarga, sebisa mungkin akan saya ingetin sih. Habis gimana ya, soal itu 'remeh' banget ka, ya, buat dilakukan?

Iya saya memang sedang bicara soal sunnah. Hal remeh-temeh gini, kalo dilakukan dengan niatan menjalankan sunnah, Insya Allah juga akan terakumulasi sebagai ibadah, kan, ya? Emm, saya Insya Allah sama sekali bukan mau sok-sokan, ya, biar terlihat pengamal sunnah banget gitu. Bukan. Kalo sunnah seperti sholat malem itu buat saya masih beraaattt. Jadi kalo yang 'remeh' gini, ya yuk ah kita amalkan.

Saya pernah dibilang lebay soal ini. Eleeuhhh, nggak usah segitunya kali!. Duh duh duh, kadang heran deh sama orang-orang. Kalo ada yang mengusung teman khilafah, jihad dan semacamnya, dibilang ekstrim. Kalo ada yang mengusung tema-tema ringan kayak gini, dibilang lebay. Apa memang kayak gitu ya yang namanya dakwah? Iyalah, Rasulullah saja dilempari kotoran unta, kan, yah?

Pernah saya nemuin orang, yang waktu dibilangin biar minumnya sambil duduk - dia ogah. bener-bener ogah buat ngejalanin. Eehh, pas dia akhirnya nemuin artikel berisi pemaparan fakta medis bahwa minum sambil berdiri itu nggak baik buat ginjal, baru deh dia percaya. Oohh, jadi gitu... kalo Rasulullah yang bilang dicuekin, kalo orang biasa yang bilang malah buru-buru dilaksanakan. Saya jadi inget perkataan seorang kakak di kampus dulu, ada manfaat di balik setiap syari'at.

Duhh, kok tulisan saya kayaknya abstrak banget, ya. Atau memang selalu abstrak? Ah, intinya... yuk mulai sekarang berusaha menerapkan sunnah-sunnah yang kelihatannya remeh - kalo memang sunnah yang terasa berat belum mampu kita amalkan. Makan minum sambil duduk, pake tangan kanan. Masuk kamar mandi kaki kiri dulu, keluar kaki kanan dulu, pake sesuatu dari yang kanan dulu. Trus apa lagi ya? ada yang mau nambahin?

Oh ya, tambahan satu lagi. Beberapa iklan minuman di TV kalo saya amatin kebanyakan pake tangan kiri deh kalo nggak salah. Nahh, ati-ati ya.... itu mungkin salah satu yang dulu kakak mentor saya sebut sebagai 'perang pemikiran'. Sekian :)

(Katanya) Ini Salah Satu Ikhtiar Segera Bertemu Jodoh

on
Rabu, 13 Agustus 2014
Hari Minggu dan Senin kemarin, dua temen kantor nikah. Mas Rozak dan Mbak Eva. Yups, itu berarti populasi single semakin menurun. Di divisiku, tadinya yang masih gadis 3 orang - saya, mba iis, mba eva. Sekarang tinggal berdua deh -_-.

Bukan, bukan... tulisan kali ini bukan tentang galau-galauan kayak kemaren-kemaren itu kok :D. Kali ini lumayan serius *halah*.

Pernah denger 'mitos' yang kira-kira: biar segera nyusul (jadi pengantin juga), maka kita harus 'NYOLONG' bunga melati yang dipake sama si pengantin?! Nah, di tempat saya masih banyak banget yang percaya sama begituan. Nyolongnya nggak semua dong yang pasti, nanti yang ada pengantinnya nangis :D. Jadi kita cuma disuruh ambil setangkai gitu, terus disuruh nyimpen atau bawa kemana-mana, dan KATANYA kita bakal segera ketemu jodoh juga.

Yuhuu... salah satu temen ada yang 'menyayangkan sekali' kenapa kemarin saya nggak ambil melatinya Mba Eva. Saya tegas dong, bilang; Enggak mau, Enggak butuh!. Trus beliaunya bilang, lho ya nggak papa dong, namanya juga ikhtiar. Saya jelasin pelan-pelan, dengan kalimat sesederhana mungkin, bahwa itu sejauh pengetahuan saya yang se-uprit ini, sudah mendekati 'syirik' (ato malah sudah?). Karna saat kita ngambil itu bunga melati, sadar nggak sadar kita sudah mengharapkan manfaat dari bunga melati itu, kan? Secara nggak langsung kita percaya bahwa melati itu akan mengantar kita untuk segera bertemu jodoh. Iya nggak, sih? Padahal bukankah nggak ada yang bisa memberi manfaat dan menjauhkan mudhorot selain Allah Ta'ala? Bagi saya ini tentang aqidah. Sekali lagi, ini hanya berdasarkan pendapat dari orang yang ilmunya masih dangkal banget. Semoga ada yang berkenan membenarkan jika sekiranya pemahaman saya salah.

Yang jelas, masa-masa single memang diakui atau tidak merupakan salah satu masa rawan. Masa di mana kita menerima banyaaakkk sekali ujian. Ujian seberapa mampu menjaga diri dari interaksi-interaksi yang di luar batas syar'i, ujian untuk tetep di jalan yang bener dalam berikhitar menjemput jodoh, dll. Nggak terkecuali ujian aqidah seperti di atas itu. Maka, mari berdoa, semoga Allah membuat kita semua (para single) tetap mampu menjaga diri dalam beratnya masa penantian ini. Aamiin :)

Surat Terbuka Untuk Sahabatku :)

on
Selasa, 12 Agustus 2014
Dear, Sahabatku...

Kita barusan ketemu, ya... dan aku tiba-tiba ingin menulis surat ini buat kamu. Kenapa? Karna aku nggak pernah merasa mampu ngomong langsung. Aku cukup sadar diri kemampuan komunikasi verbalku saat berbicara kualitasnya ada di bawah saat aku mengkomunikasikannya melalui tulisan. Yang perlu kamu tau saat membaca surat terbuka ini, aku harap kamu tau motivasi terbesarku adalah perasaan sayangku sebagai sahabat. Mungkin aku akan mengungkapkan perasaan serta pikiranku secara gamblang tentangmu di sini. Sesuatu yang -sekali lagi - nggak pernah mampu aku omongin langsung. Jadi, jika ada kalimat yang nanti sedikit terasa menukik, tolong sediakan dada yang lapang dan maaf yang luas buatku. Ah, tapi aku cukup kenal kamu. Aku tau kamu bukan tipe orang yang mudah marah :))

Sahabat, beberapa bulan terakhir ini pikiranku cukup sering terusik olehmu. Jujur aku sedih melihat 'hidupmu' saat ini. Hidupmu cenderung stagnan. Kalo diumpamakan tumbuh kembang anak-anak, pertumbuhanmu lambat sekali. Aku tau karna apa. Karna kamu ada di zona nyaman -- teramat nyaman malah. Padahal, there is no growth in the comfort zone, kan?

Aku tau, sahabat... zona nyaman itu berat sekali untuk ditinggalkan. Banyak orang yang menginginkan, nggak terkecuali aku. Tapi zona nyaman yang kamu punya sudah sangat nggak sehat - menurutku. Kata banyak orang, hidup adalah perjuangan. Sedang kamu (setauku) hampir nggak pernah tampak berusaha keras memperjuangkan sesuatu. Hidup dimulai dari mimpi - kata banyak orang-orang keren di luar sana. Sedangkan kamu nggak terlihat punya mimpi yang membuat kakimu tegak berlari mengejarnya.

Kamu tau, aku pernah menaruh iri padamu. Betapa hidupmu terasa tanpa riak. Kamu punya keluarga yang amat tentram, berkecukupan, dll. Di mataku dulu, hidupmu seperti di surga. Yang aku tau, kamu hampir selalu mendapatkan apa yang kamu mau tanpa terlebih dahulu berusaha. Contoh kecil, hape, sepatu, baju, dll. Sedang aku? Untuk punya hape yang agak 'layak', aku harus menunggu hingga mampu menghasilkan uang sendiri. Ah, apalagi baju. Aku tau, kamu pasti kadang heran sama aku. Bajuku itu-itu saja, kamu mungkin sampai hafal baju mana saja yang aku pakai. Kamu tau, aku pernah pulang dari rumahmu dengan pikiran tak karuan dan mata yang hampir menangis. Gara-gara saat itu kamu menunjukkan padaku beberapa bajumu yang belum sekalipun kamu pakai sejak membelinya. Saat itu aku merasa kamu keterlaluan -- amat tidak menghargai uang. Sedang kamu tau, sayang... di luar sana masih banyak sekali yang menganggap uang lima ribu rupiah setara dengan makanan sehari. Kamu punya orangtua dan sanak saudara yang tak pernah sungkan 'menyokong' keuanganmu - hingga kamu mungkin tak pernah merasakan tak punya selembarpun uang di dompet. Aku? Jangan ditanya - sering. Orangtuaku nggak pernah memberiku 'uang jajan' cuma-cuma. Waktu kost, ya uang sakuku estimasi 3x makan untuk lima hari, plus ongkos angkot - itu saja. Jadi bagaimana bisa aku beli barang-barang di Citra Land, dll?!

Tapi kini tidak lagi, karna aku punya sudut pandang yang juga tak lagi sama. Alhamdulillah, kini aku justru amat bersyukur dengan hidupku yang penuh riak gelombang, serta serba prihatin dalam hal keuangan. Karna dengan begitu aku jadi merasa lebih mengenal warna-warni dunia. Aku lebih bisa menghargai uang. Aku jadi sangat paham bahwa tidak semua yang aku inginkan harus aku punya. Aku jadi tau bahwa saat ingin mendapatkan sesuatu, maka aku harus mengusahakannya sendiri. Yang paling utama, aku punya kaki yang lebih tegak dan kepal tangan yang lebih erat tergenggam untuk memperbaiki hidupku (mungkin ini dari segi finansial).

Tentu saja aku tau sahabat, hidupku belum seberapa baik untuk dijadikan teladan. Tapi untukmu, mungkin sudah cukup untuk dijadikan bahan pembelajaran di tahap awal. Tentu saja aku tau, hidupmu nggak sepenuhnya baik-baik saja. Setidaknya apa yang aku ulas tentu saja hanya sebatas pengetahuanku tentangmu yang pasti masih sangat minim. Peristiwa kehilangan beberapa saat lalu, sama sekali nggak pernah aku anggap cobaan remeh buatmu. Tapi kamu nggak harus terus-terusan 'bersantai' dengan alasan melipur lara, bukan?

Sahabatku sayang, melalui tulisan ini aku cuma pengen lihat kamu jadi punya mimpi. Punya visi. Hidupmu nggak boleh cuma seperti air mengalir. Jangan lupa, air mengalir itu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, kan? Aku pengen ketika ketemu kamu, kamu berapi-api meceritakan cita-cita dan keinginanmu tentang masa depan. Bukan sekedar mendengarkan kamu berceloteh tentang sepatu sekian ratus ribu yang kamu pengen, model baju terbaru yang kamu suka, tempat-tempat menarik yang pengen kamu kunjungi, dll. Aku pengen kita bisa berdiskusi hangat tentang mimpi-mimpi masa depan dan saling menguatkan langkah untuk menggapai mimpi kita masing-masing. Ingat, hidup ini perjuangan, sayang...

Sahabatku sayang... sekali lagi, semoga kamu tau aku menulis ini semata karna aku sungguh menyayangimu, dan ingin melihatmu menjadi sosok yang lebih mempesona. Sungguh, aku tak ingin melihatmu semakin terlihat 'kosong' karna bagai berjalan tanpa tujuan.

Sekian, semoga kamu berkenan.

Peluk sayang,

Rosa

Mari Bekerja :)

on
Senin, 11 Agustus 2014
Hari ini - 11 Agustus 2014, saya kembali masuk kerja setelah libur lebaran yang cukup panjang (sangat panjang malah kalo dibanding kebanyakan orang :p). Hari pertama, Pak Bos belum ada, rawan males sekali. Gak boleh gak boleh... gak boleh males!!

Oke, saya Rosa... Saya cantik, sehat, pembelajar, bahagia, luar biasa, dan siap berdiri menghadapi dunia!!! Jangan pernah ijinkan hal-hal kecil merusak keindahan harimu dan kebahagiaan hatimu, Rosa.... Semangaaatttt!!! :D

Mari bekerja :)

Kehilangan

on
Jumat, 08 Agustus 2014

Tanggal 4 Agustus - menjelang tengah malam - kemarin, saya dikejutkan dengan berita kematian suami sahabat baik saya saat SMP. Tenggorokan saya seketika tercekat. Benak saya langsung dipenuhi pikiran tentang, 'bagaiman sahabat saya menghadapi ini?, bukankah mereka belum genap tiga tahun lalu menikah?, bukankah anaknya masih sangat kecil?', dll.

Dua hari lalu saya baru sempat datang untuk takziah. Wajah dan tatapan mata sahabat saya... Ah... Sepertinya tidak perlu detail saya ceritakan. Dengan terbata dan suara parau ia berkisah. Tentang suaminya yang tampak sehat-sehat saja selama ini, tentang suaminya yang amat total mencurahkan kasih sayang pada anak mereka yang usianya baru genap dua tahun dibulan agustus ini, tentang suaminya yang tiba-tiba tumbang menjelang dini hari lalu koma beberapa hari, tentang pembuluh darah yang pecah dan pendarahan di otak, tentang dokter yang angkat tangan, dan tentang suaminya yang akhirnya harus menyerah pasrah pada dekap kematian.

Ya Allah...

Ngilu sekali mendengar ia bertutur. Ia juga sempat mengungkapkan betapa ini teramat berat ia lalui. Anak yang tingkah lucunya di satu sisi menjadi pelipur lara, namun di sisi lain seperti mengiris perasaan mengingat ia tak lagi ber-ayah.

Tapi inilah hidup. Inilah dunia. Fana. Tidak ada yang abadi kecuali keabadian itu sendiri.

Dan saya semakin tau. Tidak ada kehilangan yang ringan untuk dirasakan. Tidak pernah ada. Tidak peduli sesering apa kita 'terlatih' merasakan kehilangan. Meski sejatinya kita tidak pernah kehilangan apa-apa. Dunia seisinya, orang-orang yang sepenuh jiwa.kita cinta - sejatinya - cuma titipan, kan? Bukan milik kita. Kalau begitu bukankah berarti kita tidak pernah kehilangan apapun saat mereka enyah dari hidup kita? 'Sayangnya', Allah menitipkan perasaan memiliki, yang seringkali lancang melampaui batas. Perasaan memiliki yang kemudian membuat kita pecah berkeping ketika mereka melangkah pergi.

Gadis Desa Yang Sempat Mencicipi Pahitnya Sekularisme

on
Selasa, 05 Agustus 2014
"Muslim di Indonesia harus banyak-banyak bersyukur lah pokoknya..."

Kalimat itu terucap dari bibir sahabat saya beberapa hari lalu, saat kami tengah silaturahim ke rumah seorang guru SMP kami. Nama sahabat saya itu Utami. Gadis yang di mata saya nggak pernah terlihat berubah seperti sejak pertama kali saya melihatnya di kelas 1B SMP Negeri 1 Pecangaan. Dia tetep gadis yang kalem, anggun, rendah hati, tidak neko-neko. Padahal jalan hidupnya tentu saja telah membentuknya menjadi Utami dengan inner luar biasa -- yang pada beberapa orang seringkali juga turut merubah 'tampilan' luarnya. Jujur saya sering dibuat minder sama dia mengingat pengalaman hidupnya yang blas nggak sebanding sama saya. Tapi ya itu, karna dia tetep Utami yang dulu - yang rendah hati - membuat saya akhirnya tetep merasa nyaman ada di dekat dia.
 
Indri-Utami-Saya

Kami saling mengenal saat sama-sama belum 'mengenal' jilbab. Saat dia masih berangkat sekolah dengan mengayuh sepeda ontel, saat saya masih seorang rosa yang 'nakal' (sekarang juga masih 'agak' nakal sih :p). Alhamdulillah Allah kembali menautkan kami setelah beberapa tahun sempat loss contact. Dan, Alhamdulillah kami kembali bertemu saat kita punya banyak hal 'sejalan' untuk diperbincangkan. Ya, bagi saya perjalanan Utami luar biasa. Sudah lebih dari pantas rasanya untuk dijadikan sebuah buku.

Utami an teman-teman Indonesianya
(Saat dia wisuda) 

Dari seorang gadis desa yang nyambi bekerja tiap pulang sekolah saat SMP dulu, takdir yang diretasnya melalui usaha tak kenal menyerah dan doa, mengantarkannya menjejakkan langkah di negeri indah yang pernah ditaklukkan oleh Muhammad Al-Fatih -- Turki. Saat dia masih di sana, beberapa kali saya minta dikirimi foto saat salju tengah turun. Meminta dia bercerita tentang kehidupannya di sana, juga bertanya tentang nukilan-nukilan sejarah penaklukan Konstantinopel. Tapi justru baru kemarin saya dibuat tercengang saat tau bahwa Utami ternyata pernah mencicipi 'kejamnya' sekularisme di negeri itu. Saya pernah dengar bahwa Turki merupakan negara yang pernah menerapkan sistem sekularisme. Saya pernah membaca kisah para muslimah di sana dalam salah satu artikel di majalah khusus muslimah beberapa tahun lalu. Tapi saya mengira sistem itu sudah berlalu jauh sejak bertahun-tahun lalu. Duh, betapa kupernya saya :((

Lebih tercengang lagi saat Utami bercerita tentang liku terjal dua tahun awal dia hidup di sana. Dia mempertahankan jilbabnya dengan cara yang bikin saya merinding sekaligus ingin menangis membayangkannya: memakai wig! Pakai jilbab, lalu dilapisi dengan wig, leher ditutup dengan syal. Bayangkan! Bayangkan betapa menyiksa pakaian seperti itu saat musim panas tiba. Tapi dia bertahan dua tahun. Demi apa? Apa motivasinya? Ah ya, saya lupa menanyakannya langsung tentang itu kemarin. Tapi saya yakin alasannya adalah perkara luar biasa yang tak ada di dunia: surga. Belum lagi ceritanya tentang 'aksi' sholat diam-diam. Jam praktikum dan kuliahnya nggak jarang menerjang waktu sholat. Dan dia harus pintar-pintar memutar otak untuk mencari 'celah' agar tak harus meninggalkan tiang agamanya itu. Salah satu cara yang dia tempuh adalah dengan meminta ijin ke 'belakang'. Lalu dia harus berlari sekuat tenaga karna tempat sholat ada di gedung yang berbeda dengan tempat praktikumnya. Masya Allah...

 "Muslim di Indonesia harus banyak-banyak bersyukur lah pokoknya...", ucapnya.

Betapa tidak? Kita nggak pernah perlu khawatir kesulitan menemukan tempat sholat bahkan saat perjalanan - kemanapun di Indonesia ini. Musholla dan Masjid tersebar di mana-mana. Nggak perlu ada rasa khawatir bahkan jika harus sholat di tepi jalan atau lapangan, karna nggak akan ada orang yang menghardik. Tapi seberapa sering kita 'mengentengkannya'?! Nggak ada satupun larangan berjilbab di sini. Tapi seberapa sering kita beralibi demi menunda menunaikan kewajiban kita sebagai muslimah itu?! Ah, betapa saya malu mendengar cerita Utami di atas. Sedang saya di sini sering sekali menggerutu saat harus tinggal berdekatan rumah dengan kakak ipar laki-laki. Ia seringkali masuk ke rumah tanpa pernah bisa diduga, yang artinya mengharuskan saya memakai jilbab hanya kecuali saat di kamar.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi. Tapi lebih pada refleksi diri saya sendiri. Saya tau soal jilbab itu berkaitan dengan hidayah (meski saya yakin hidayah itu bukan hanya perkara menunggunya datang). Seberapa besar syukur kita atas banyak sekali kemudahan yang Allah berikan untuk menjalankan setiap perintah-Nya? Mari jawab di hati kita masing-masing :)). Mari ingat juga saudara-saudara kita di Gaza, agar syukur itu semakin menggelembung dalam hati. Lalu sempatkan gumamkan doa untuk mereka, saudara-saudara seiman kita yang tengah tertatih menjaga kehormatan mereka sebagai Muslim.

Ketika Ucapan Maaf Sekedar Formalitas

on
Jumat, 01 Agustus 2014

Beberapa hari menjelang lebaran saya membaca tweet dan tulisan salah satu penulis novel terkenal. Dia mengungkapkan betapa dia rindu romantisme mendapat ucapan selamat lebaran melalui kartu yang dikirim khusus untuknya. Melalui kerinduan itu, ia membuat sendiri beberapa kartu lebaran, lalu ia kirimkan ke beberapa sahabatnya.

Saat itu saya belum benar-benar paham. Ah, hanya soal ucapan. Sebegitu melibatkan perasaan kah??

Tapi kini saya paham. Sangat paham. Setelah beberapa hari lalu, saat lebaran tiba, hape saya digempur serbuan broadcast dari teman-teman berupa ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf lahir batin. Ya Allah... Saya tiba-tiba merasakan kehilangan yang amat menyesakkan.

Dulu, moment lebaran adalah saatnya saling menyapa dengan teman-teman yang biasanya tidak intens komunikasi. Saat kembali saling menyapa dengan teman yang tadinya tak lagi saling sapa. Ya, meskipun sama saja melalui pesan elektronik, setidaknya masih ada sapaan di sana. 'Sa, Cha, Mbak, Dek, dll'. Sekarang? Saya hanya menerima dua atau tiga yang ada sisipan sapaannya. Dan, Wow... Betapa buncah saat membacanya.

Meminta maaf lewat broadcast? Dingin sekali rasanya. Nggak ada hangat sapaan. Entahlah. Apa saya yang terlalu su'udzon?! Tapi saya merasa gempuran BC itu tak lebih hanya semacam formalitas. Jangan-jangan saat mengirim BC permintaan maaf kita bahkan nggak bener-bener sadar siapa saja yang kita kirimi? Ah, entahlah. Tapi sungguh saya merasa kehilangan. Hampa. Bilang saya lebay, tapi saya bahkan menitikkan air mata untuk perkara ini.

Tidak. Sungguh saya tidak sedang nyinyir pada para pengirim BC. Saya hanya tengah mengungkapkan sesaknya kehilangan saya.

Saya lalu teringat tulisan Alit Susanto dan Faris BQ. Tentang betapa mereka merasa hampa di tengah hiruk pikuk manusia yang lebih sibuk dengan gadgetnya. Hampa di tengah dunia maya yang semakin semarak. Ya, dan sekarang saya merasakan itu. Merasakan kehampaan itu.

Signature

Signature