Pesan Untuk Orangtua dari Drakor It's Okay To Not Be Okay

on
Selasa, 22 September 2020

Dulu, tiap ada teman yang dengan seru membicarakan tentang drakor, saya nggak pernah bisa relate. Karena nggak pernah nonton dan sama sekali nggak tertarik. Padahal waktu kecil saya termasuk yang beberapa kali bolos ngaji demi biar bisa nonton Full House, hihi. Tapi nggak cuma drakor sih, pada dasarnya saya memang kurang suka nonton apapun, karena pasti langsung ngantuk.

 

Sampai akhirnya pandemi melanda Bumi Pertiwi tercinta, dan keputusan WFH diberlakukan juga di tempat saya bekerja. Seminggu pertama masih aman. Senang bisa di rumah sama anak dan suami dari pagi sampai sore. Bisa mencoba aneka resep yang sudah lama ingin dicoba tapi belum sempat. Dan melakukan hal-hal lain yang biasanya nggak bisa dilakukan karena bekerja di kantor dari pagi hingga sore.

 

Memasuki minggu kedua, mulai oleng. Bukan karena bosan di rumah terus dan pengen jalan-jalan. Tapi seperti merasa linglung gitu. Ini mau ngapain lagi ya di rumah? Kok tiap hari gini-gini terus? Kok monoton banget?

 

Dari situ, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan yang 'baru' untuk mengusir rasa bosan. Kemudian entah dari mana ide itu datang, akhirnya saya mencicipi nonton drakor. Dan saya jadi paham kenapa ada banyak orang yang mengeluh kecanduan drakor, dan begadang semalaman demi drakor. Ternyata nonton drakor memang asyik banget kalau pas nemu yang cerita dan pemerannya klik di hati. Hihi.

 

Beda banget dengan sinetron Indonesia, konflik yang disuguhkan drama Korea cenderung lebih beragam. Meskipun sama-sama dasarnya tentang hubungan asmara pun, tetap ada konflik lain yang mengikuti. Nggak jarang, drama Korea juga mengusung isu-isu tertentu, seperti soal pemerintahan, kesehatan mental, dan lain-lain. 


Jadi gara-gara WFH, saya yang tadinya sama sekali nggak paham dan nggak pernah nonton drakor, tiba-tiba jadi punya drakor favorit dan aktor drakor favorit. Hihi. Siapa? Rahasia ah, malu!


Anyway, beberapa waktu lalu, drakor berjudul "It's Okay To Not Be Okay" lumayan banyak dibicarakan. Drakor ini konon mengangkat tema tentang kesehatan mental. Saya juga agak tertarik untuk menonton, tapi karena sudah mulai kerja dengan normal dari jam 8 pagi hingga 4 sore selama 5 hari kerja, nontonnya jadi nyicil sedikit-sedikit banget. Udah sebulan lebih, saya baru sampai episode 3.

 

drakor-it's-okay-to-not-be-okay

 

Salah satu teman dekat yang gencar mempengaruhi saya untuk menonton drakor, memotivasi saya untuk menyelesaikan menonton drakor It's Okay To Not Be Okay ini, karena di dalamnya ada pesan penting terutama untuk para orangtua.

 

Karena penasaran dengan pesan apa yang ada dalam drakor It's Okay To Not Be Okay, saya memaksa dia -- teman saya yang memiliki akun IG @zulaichah_adiwibowo -- untuk menceritakannya pada saya.

 

Menurut teman saya, dari It's Okay To Not Be Okay, kita sebagai orangtua akan mendapatkan pesan bahwa pola asuh kita terhadap anak-anak akan berefek sangat pada kehidupan mereka. Baik pada sikap, mental maupun kepribadian.

 

Apapun yang kita lakukan, perlakuan kita terhadap mereka, hal-hal yang kita tanamkan, akan mengakar sangat kuat di benak mereka. Terutama yang terjadi di masa anak-anak, yang menurut banyak pakar psikologi sedang ada dalam fase gelombang otak yang sangat mudah mengingat sesuatu.


Hal itu bisa dilihat dari tokoh Ko Moon-young, yang tumbuh menjadi orang yang antisosial, arogan, berkarakter dingin dan sadis. Hal itu lantaran ia dibesarkan oleh seorang ibu yang merupakan seorang psikopat. Sejak kecil, Ko Moon-young dididik untuk bersikap sadis dan dilarang memiliki belas kasihan pada hewan. Salah satu contohnya dengan menyuruh Ko Moon-young tega membunuh kupu-kupu dengan sadis.

 

Parahnya lagi, Ko Moon-young harus mengalami kejadian traumatis saat ia harus melihat jasad ibunya yang penuh darah, lalu tiba-tiba menghilang. Sekaligus sempat hampir dibunuh ayahnya sendiri yang juga tengah menghadapi masalah mental. Kejadian-kejadian traumatis itu semakin membuat jiwa anak-anak Ko Moon-young terluka. Dan seperti yang kita tahu, inner child yang terluka akan membawa banyak dampak negatif bahkan hingga dewasa.

 

Nggak cuma tokoh Ko Moon-young, tokoh utama pria yang bernama Moon Gang-tae juga mengalami pola asuh yang salah, yang berpengaruh sangat besar terhadap kepribadian dan perilakunya. Moon Gang-tae memiliki kakak yang berkebutuhan khusus alias spesial. Hal itu membuat ibunya selalu memprioritaskan kakaknya yang bernama Moon Sang-tae. Sejak kecil, Moon Gang-tae diberikan tanggung jawab untuk menjaga kakaknya.

 

Ibunya pernah dengan tega mengatakan bahwa Moon Gang-tae dilahirkan hanya untuk melindungi kakaknya. Bahkan dia pernah dipukuli oleh ibunya karena tidak bisa melindungi kakaknya saat dibully oleh teman-temannya di sekolah. Huhu, so sad :(

 

Hal itu membuat Moon Gang-tae tumbuh menjadi orang yang terus mengabaikan perasaannya sendiri. Hidupnya tercurah hanya untuk kakaknya. Bahkan ia sering sekali berpindah tempat kerja demi melindungi kakaknya.

 

Dari kisah itu, kita belajar. Bahwa bagaimanapun keadaan anak-anak kita, tidak seharusnya kita membedakan kasih sayang dan prioritas terhadap mereka. Dan tidak seharusnya mereka diberi tanggung jawab untuk menjaga saudaranya yang lain, tanpa mempedulikan perasaan si anak sendiri.

 

Gara-gara mendengar cerita panjang lebar si Cite -- panggilan akrab si teman saya itu -- saya jadi termotivasi untuk melanjutkan nonton drakor It's Okay To Not Be Okay ini. Ditonton sambil nyetrika aja kali ya, biar tetap produktif. Hehe.

 

Kalian sudah nonton drakor "It's Okay To Not Be Okay"? Gimana kesan kalian?

1 komentar on "Pesan Untuk Orangtua dari Drakor It's Okay To Not Be Okay"
  1. Aku udah nonton drama Korea It's Okay to Not Be Okay juga nih, Kak. Kalau di daerahku drama Korea ini banyak ditonton oleh para mahasiswa dan mahasiswi jurusan psikologi.

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)

Signature

Signature